Sabtu, 30 Juli 2011

“GERHANA TUHAN”?




Kisah penampakan Malaikat Gabriel kepada Maria, seorang gadis desa sederhana dari sebuah desa terpencil kala itu, mau melukiskan suatu hubungan langsung Allah dengan Maria. Dengan titik tolak peristiwa inilah kita menemukan identitas Maria.
Setiap orang mempunyai identitas. Setiap kelompok mempunyai identitasnya sendiri juga yang membedakannya dengan kelompok yang lain. Juga setiap negara, bahkan keluarga, paroki, komunitas, juga mempunyai identitasnya sendiri-sendiri. Identitas itu memberi ciri tersendiri untuk mau menggambarkan jati diri yang dari padanya identitas itu melekat.

Ketika suatu saat disebarkan sebuah angket untuk suatu komunitas biara guna menemukan identitas biara tersebut, ditemukan hasil yang kemudian dirumuskan secara sederhana: “Orang-orang yang baik”. Jadi, identitas mereka bukan soal jubah, kalung salib yang besar, rosario yang selalu tergantung di pinggang, akan tetapi lebih pada karakter yang membangun kelompok mereka.

Orang-orang Katolik yang baik adalah orang-orang yang menemukan Tuhan tanpa ada “gerhana” sedikitpun, dan tidak pernah ada kegelapan dalam diri mereka. Mereka tidak menemukan Tuhan secara samar-samar atau kabur. Sikap iman yang demikian sudah dibuktikan oleh Maria. Dengan mengatakan “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu” (Luk 1:38), Maria sudah menjawab YA atas tawaran Allah agar ia menjadi ibu Tuhan.

Memang, seluruh hidup Maria adalah merupakan suatu jawaban YA atas tawaran dan rencana Allah. Maria membiarkan rahmat Allah itu berkarya dalam seluruh hidupnya seturut kehendak Allah. Maria telah mengosongkan dirinya untuk diresapi cinta Allah yang tampak dalam kelemah lembutan, kesabaran dan ketabahan dalam menjalani panggilan hidupnya. YA atas tawaran, rencana, dan kehendak Allah adalah identitas Maria, yang membiarkan rahmat Allah lebih banyak bekerja daripada mengandalkan usaha dan kemmapuannya sendiri. Bukankah ini sikap iman kita baik secara pribadi maupun di dalam keluarga-keluarga, komunitas, dan lain-lain.

Masing-masing kita mempunyai identitas, tetapi baiklah identitas Maria kiranya mampu mewarnai dan memberi arti bagi identitas kita yakni untuk selalu YA atas tawaran kasih Allah, atas rencana dan kehendakNya. Dengan demikian kitapun akan menemukan Tuhan tanpa ada “gerhana”, tanpa ada kegelapan sedikitpun. Tidak ada “gerhana Tuhan” dalam diri kita!!

(c): ice'ony

Rabu, 27 Juli 2011

Lima tahun telah berlalu….




Semuanya nampak baru…begitu cepat kota ini bergeliat. Setelah diterpa gempa yang begitu dasyat, baru kali ini aku kembali menginjakkan kakiku di kota ini. Sisa-sisa kehancuran memang sudah tidak terlihat lagi. Sepanjang jalan solo, yang dulu Nampak begitu porak poranda, sekarang sudah tidak meninggalkan jejak bekasnya. Hanya luka di hati saja mungkin yang masih membekas dalam diri mereka yang mengalaminya waktu itu. Yah…,ibarat luka, bila luka itu di tubuh maka akan dapat dan lebih mudah diobati. Namun, bila yang terluka adalah hati, maka sungguh akan susah mengobatinya.

Ada yang mengatakan bahwa “Tubuh adalah penjara jiwa”. Mungkin benar. Tapi bagiku…tidak selamanya benar. Kadang malah bisa sebaliknya, “jiwa yang memenjarakan tubuh”. Ambil contoh saja, ketika sesorang mengalami luka yang mendalam di hatinya, maka rasa sakit ini akan mampu membuat tubuhnya enggan bertemu dengan orang yang membuatnya terluka. Berhari hari…bahkan juga bisa bertahun-tahun. Atau juga yang paling sering dan gampang ditemukan adalah seringkali kita menjumpai orang yang mengatakan, “Ah…aku lagi tidak mood, malas ni.” Rasa “menyetir” gerak seseorang. Jiwa menghalangi gerak tubuhnya.

Hari ini aku juga merasakan hal yang sama…
Tubuhku rasanya begitu kaku duduk di dalam kendaraan. Begitu banyak hal yang berkecamuk di dalam otakku…rasa-rasanya mereka mencengkeram diriku begitu kuat, sehingga aku tidak mampu berbuat banyak. Serasa ada sesuatu yang membebat tubuhku, mengikatnya begitu kuat.

Kumainkan Hp-ku untuk membuang rasa penat. Aku pegang, aku putar-putar di tangan, aku pencet-pencet keypad -nya tanpa tahu mau ngapain. Timbul keinginan untuk membuka-buka message. Sederet nama lantas muncul dalam kotak inbox-ku. Dengan asal-asalan aku buka satu…namun betapa terkejutnya aku ketika kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tertera di monitor aku baca. Aku menjadi berkeringat, jantungku rasanya berdegup kencang…nafasku tersengal…dan tanganku turut bergetar.

Dari: M’brot
Tong..maafkan aq..
Aq dah bnyak slah ma km..
Aq tau km ga akn prnh
memaafkan aq..
Tp aq brsyukur blh
mengenalmu..blh mencintai
n menyayangi km..


Kata-kata itu begitu menghunjam hatiku. Begitu perih rasanya ketika aku harus membacanya kembali. Ketegaran diriku kiranya tidak bisa menutupi rasa sakit, pedih yang sebenarnya begitu kuat mencengkeram hatiku. Aku ingin marah menumpahkan kejengkelanku, tetapi kenapa hatiku malah terasa teriris-iris. Aku ingin menghilangkan bayangannya dalam benakku..tetapi kenapa malah wajah itu begitu kuat mencengkeram otakku?

Aku ingin berlama-lama dengan bayangan itu…kembali aku baca SMS itu. Tanpa terasa air mata mulai membasahi pelupuk mataku. Dadaku semakin sesak…Semakin lama semakin banyak kenangan-kenangan yang hadir dalam benakku. Peristiwa demi peristiwa bersliweran seolah-olah tidak mau peduli dengan apa yang aku rasakan. Dalam hati aku hanya bisa bergumam,”Aku kangen….” Sudah sekian lama kata itu aku coba singkirkan. Aku coba hilangkan. Tapi entah kenapa, hari itu kata itu tiba-tiba muncul bibirku.

Awalnya memang begitu indah. Seindah sunset di Kuta Bali, atau juga seindah sunrise di puncak Bromo. Seindah anak manusia yang lagi saling memadu kasih. Akan tetapi, benarlah bahwa tidak selamanya dunia ini terang. Ada malam, ada siang. Benar jugalah ada hitam, ada putih. Ada terang, ada gelap. Ada sukacita, ada kesedihan. Dan benar jugalah kiranya kalau hidup ini berputar ibarat roda pedati yang terus berjalan. Kadang nasib kita bisa di atas, tapi tiba-tiba juga bisa di bawah.

Masih lekat dalam benakku, peristiwa yang mengubah seluruh hidupku –lebih tepatnya hubunganku dengannya – terjadi pada akhir bulan Januari tahun ini. Aku dan dia bertemu di sebuah taman, dan ternyata akhirnya itu menjadi perjumpaan terakhirku dengannya. Keegoisan, harga diri, keras kepala membuat kami berteguh dengan sikap masing-masing. Walau sebenarnya kadang menyiksa. Tapi keangkuhan telah membuat kami enggan untuk mengalah. Membuat hubungan semakin buruk dari hari ke harinya.

“Aku mau bicara sebentar.” Katanya waktu itu.

“iya…ada apa? Kok kayake kamu serius amat ta. Ada apa?”

“Aku harap kamu tidak marah ya dengan apa yang akan aku katakana. Aku minta kita menyikapinya secara dewasa.”

Tiba-tiba saja hatiku merasa tidak enak. Tidak seperti biasanya dia berkata seperti ini. Begitu serius. Suasana sore yang sepi membuat situasi serasa semakin mencekam. Hatiku serasa berdebar.

“iya..,” sahutku lirih.

Mulut ini seperti terkunci begitu kuat. Takut sesuatu yang buruk bakal terjadi. Saat ini situasiku sedang jatuh. Aku lagi terpuruk oleh masalahku yang belum selesai. Aku belum siap kalau harus menanggung masalah lagi. Lebih-lebih dari orang yang aku cintai. Orang yang selama ini menjadi satu-satunya temanku berbagi.

“Kamu pasti tahu kalau selama ini aku sayang kamu. Aku juga tahu betapa kamu menyayangi dan mencintai aku. Begitu banyak hal yang telah kamu berikan ke aku. Perhatianmu yang begitu besar. Kasih sayangmu…...”

Dia berdiam sejenak.

“Iya…aku tahu,” sahutku. “Kamu juga sudah menjadi bagian dari diriku. Di saat orang lain, bahkan kedua orang tuaku belum aku beritahu, kamu sudah lebih dulu tahu segala-galanya. Kamu sudah menjadi tempat berbagiku.”

“Aku tahu…,” dia berhenti sejenak. Nampak bahwa ada sebersit keraguan dalam dirinya untuk meneruskan kata-katanya.

“Tong…maafkan aku. Aku belum bisa mengatakannya sekarang,” lanjutnya lantas mendekapku erat. Air mata mulai membasahi pelupuk matanya. Ia mulai menangis menjadi-jadi. Tubuhnya berguncang-guncang dalam dekapanku. Nafasnya menjadi tersengal-sengal. Jantungnya berdetak kencang.

“udah-udah..,” kataku meredam gejolak emosinya.

“Tidak enak diliat atau didengar orang. Dikira ada apa-apanya entar. Kalau kamu memang belum siap ya tidak apa-apa. Aku bersedia kok menunggunya. Aku cukup sabar untuk menantinya.”

Kembali aku dekap erat dia. Dalam hatikupun sebenarnya aku sudah tidak sabar, pengen tahu apa yang akan dikatakannya. Tapi aku juga tidak bisa memaksa. Dia kelihatan berat sekali untuk mengatakannya. Aku coba menutupi kegalauan diriku. Aku bersikap tegar. Sejenak kami berdiam. Membiarkan angan kami terbang bersama semilir angin di sore itu.

***

(c):malang, 2006

Selasa, 26 Juli 2011

dalam sebuah bus2




M A A F K A N A K U….

Seuntai bunga kembali tergeletak di lantai depan kamar kost Rany, entah sudah yang keberapa kalinya dalam seminggu ini, Rany sendiri sepertinya sudah bosan mengingatnya, atau malah sudah tidak peduli lagi. Dan sama seperti hari-hari kemarin, segera diambilnya bunga itu dan dimasukkan ke dalam tempat sampah di samping pintu. Setangkai bunga mawar merah dibalut selembar pembungkus kado, dengan disertai sepucuk surat yang kata-katanya tidak pernah berubah….

Untuk Rany tersayang,
Aku sungguh mencintaimu,
Aku tidak bisa hidup tanpamu di sisiku
Dengan apa lagi aku harus membuktikan cintaku ini?
Kamu adalah segala-galanya bagiku.

Singkat memang kata-katanya. Dari situ sepertinya Rany sudah bisa menebak siapa pengirimnya. Seseorang yang belakangan ini menunggu-nunggu jawaban darinya. Seseorang yang dulu adalah teman baiknya, dan sekarang ingin menjadi orang pertama di hatinya. Untuk menjadi sekedar teman, Rany memang tidak keberatan, ia adalah tipe orang yang supel, banyak kenalannya, banyak temannya. Banyak orang yang menjadi “adiknya”, entah yang berumur lebih muda maupun yang lebih tua juga. Begi teman-temannya Rany adalah sosok yang begitu dewasa. Ia mampu menjadi figur kakak yang baik, ia begitu care dengan mereka. Keakrapan inilah yang sering disalahmengerti oleh orang lain. Namun harus bagaimana lagi, karena memang begitulah tipe dirinya.

Beberapa bulan yang lalu, Rany sepertinya adalah sosok wanita biasa. Wanita yang sudah merasa cukup usianya, pergi merantau mengadu nasip di luar pulau. Tak ada yang istimewa sepertinya. Mungkin orang yang mengenalnya hanya akan heran, mengapa orang sepertinya mempunyai tekat yang bulat untuk merantau sejauh ini? Jauh dari orang tua maupun sanak saudara? Tinggal sendirian jauh dari rumah? Wanita muda lagi, apa tidak takut? Dan seabrek pertanyaan lagi yang mungkin terlintas di benak orang yang baru pertama kali mengenalnya. Keheranan-keheranan yang terus menjadi misteri, karena dia selalu menolak untuk menceritakan alasan kenekatannya itu. Sepertinya ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya. Sesuatu yang hanya ingin dimilikinya sendiri saja, entah sampai kapan.

Tinggal di sebuah kota pusat industri sendirian adalah suatu hal yang sepertinya kurang menguntungkan, apalagi bagi wanita secantik dia. Bahaya setiap saat bisa saja menghantuinya. Cerita-cerita kriminalitas yang menyeramkan sudah menjadi hiasan rutin setiap halaman surat kabar di kota itu. Namun harus bagaimana lagi, ini sudah menjadi pilihan hidupnya. Keinginannya sudah bulat, hatinya sudah mantap, ia harus pergi jauh dari kotanya, meninggalkan semuanya. Situasilah yang membuatnya menjadi sosok wanita yang sangat tegar, dan hal inilah sepertinya yang menjadi daya tariknya sehingga banyak teman-teman kerjanya yang suka padanya.

Hari ini Rany dapat jam pagi, dia harus sudah siap di tempat kerja sebelum jam tujuh. Seperti biasa, setelah beres-beres rumah dan segalanya telah siap, ia segera berangkat kerja. Jarak tempat kerja dari rumahnya memang lumayan jauh. Sekitar 20 menit kalau dia memakai angkutan kota. Kelihatan jauh memang, namun kalau sudah dijalani setiap hari pasti akan terasa begitu dekat. Datang ke tempat kerja, berjumpa dengan teman-temannya merupakan sebuah penghiburan baginya. Kepenatan kerja seharian akan sedikit tidak terasa ketika bertemu dengan mereka. Orang-orang yang saat ini cukup membuatnya tidak merasa sendirian, asing di perantauan. Rasa senasib bahwa mereka berada di tanah orang semakin membuat mereka akrab saja.

“Hai Ran, ada surat nih buatmu, “ kata Dewi teman sekerjanya,” Hayo, dari siapa lagi? Dari pacarnya ya?” goda Dewi.

Rany tertegun sejenak menerima sepucuk amplop putih polos di tangannya siang itu. ia heran dari siapa surat ini? Di depan tertera namanya. Ah…, Rany masih ingat tulisan siapa ini. Ya, tidak salah lagi! Segera ia mencari sebuah nama di baliknya, namun ia tidak menemukan apa-apa, yang ia temukan hanya tulisan Dari temanmu.

Sudah tidak sabar ingin segera dibukanya surat itu. Beruntung jam istirahat sudah tiba. Segera dia duduk di sudut ruangan, sengaja menjauh dari teman-temannya yang mungkin akan berbuat usil mengganggunya. Sejenak masih terus ditatapnya amplop putih itu. hatinya berdegub kencang, aliran darahnya seolah-olah mengelir begitu deras, sehingga jantungnya terasa semakin cepat terpacu. Pelan-pelan dirobeknya ujung amplop, seolah tidak ingin melihatnya nampak tercabik-cabik. Ditariknya kertas putih di dalamnya. Setengah terperanjat dia melihat gambar sebuah wajah konyol mengintip dari balik kertas,

He…he…, sebelum baca, senyum dulu dong!

Yah, tidak salah lagi. Kali ini Rany begitu yakin seratus prosen bahwa ini adalah tulisan yang selama ini dinanti-nantikannya. Gambar kocak wajah seorang anak kecil di balik kertas itu tidak bisa menipu lagi, ini benar-benar darinya.

Dear Rany yang caem….(duile, awas kalau GR lho!)
Sorry ya, aku baru sekarang bisa membalas suratmu. Bukannya aku lupa, cuman akhir-akhir ini penyakitku rada kambuh. Kamukan pasti sudah tahu sendiri kalau aku punya penyakit kronis…. Eit, jangan salah mengerti dulu, maksudku penyakit malasku itu lho. Gak tau ada apa, mungkin karena pergantian “cuaca” kali ya? Tapi ya sudah, yang jelas sekarang akukan sudah nepati permintaanmu, bahwa aku harus membalas suratmu (walau tidak sesegera mungkin, he…, he…)
Gimana kabarmu? Masih tetap seperti dulu kan? Masih agak gemuk (ha..ha…, membuat aku ingat waktu SMP dulu, saat kita harus ikut gerak jalan. Kulihat kamu agak kepayahan harus jalan sekitar empat kilometer, ha…ha, rasanya pengen aku gendong aja, tapi sayang aku agak langsing sih…) murah senyum? Dan satu lagi, masih tetap cerewet? Satu hal yang membuat banyak orang tertarik, termasuk aku kali ya? Ha…ha…, jangan GR gitu dong. Awas kalau tersenyum sendiri, ntar dikira gila lho?


Rany baru sadar, ternyata dia barusan tertawa sendiri. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada yang melihatnya. Namun untunglah, rupanya tidak ada yang memperhatikannya. Semuanya lagi sibuk menikmati makan siangnya. Kembali matanya tertuju ke secarik surat yang masih ada di genggamannya.

Aku lama ngebalasnya karena jujur aja, banyak hal yang harus aku kerjakan di sini. Ya tugas ini itulah. Biasa, dosen-dosen sekarang rupanya rajin-rajin, maksudku rajin memberi tugas mahasiswanya. Balas dendam kali ya? Di samping itu, aku juga merasa bahwa berat sekali aku harus menjawab pertanyaanmu waktu itu.. aku tak tahu harus berkata apa….
Sebelas tahun memang bukan waktu yang singkat untuk membangun suatu persahabatan (maaf aku menggunakan kata persahabatan saja). Waktu yang cukup panjang untuk saling mngenal satu sama lain. Aku sangat bahagia karena kelanggengan persahabatan ini. Siapa to orangnya yang tidak ingin seperti kita? Semua orang pasti akan iri melihatnya. Dan semua orang yang mengalaminya seperti kita pasti tidak akan mau persahabatan yang telah lama terjalin itu kandas di tengah jalan, demikian juga dengan aku, dan tentunya kamu juga sependapat denganku.


Sejenak dihentikannya membaca surat itu. Nafasnya ditarik dalam-dalam. Seolah segala kesesakan di dada ini ingin segera dibuangnya bersama dengan hembusan udara yang keluar dari hidungnya.

Namun aku ingin mencoba melihatnya lebih jelas, tanpa dihantui oleh emosi. Dan semoga kamunya mau menerima segala keputusan yang telah aku buat ini, walau berat memang, namun aku telah berusaha membuat yang terbaik bagi kita berdua, bagimu dan juga bagiku.
Aku berterima kasih atas persahabatan yang telah kita lalui selama ini, dan aku tidak ingin persahabatan kita putus di tengah jalan. Aku ingin kamu bahagia. Yah…, kebahagiaan itulah yang aku inginkan dan juga tentunya kamu juga. Waktu sepertinya memang telah membawa kita ke jalan kita masing-masing. Aku telah memutuskan untuk mengambil jalanku sendiri (maaf kalau aku sebelumnya tidak memberi tahumu akan keputusanku itu), maka saatnya juga kamu mengambil keputusan terpenting dalam hidupmu. Aku tidak ingin dibilang pria yang egois, yang semaunya sendiri, yang mau menang sendiri. Bagiku, lebih baik kamu terima saja cintanya. Aku tidak tega kalau kamu harus terkatung-katung terus, tidak punya kepastian. Sepertinya memang sudah tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Memang keputusan sebenarnya ada di tanganmu. Kamu yang lebih mengenalnya. Apakah dia benar-benar mencintaimu ataukah dia hanya lelaki bejat yang ingin mempermainkanmu, aku tidak tahu. Sekali lagi semuanya aku kembalikan kepadamu, ambillah yang terbaik bagimu, namun jangan sia-siakan hal yang terbaik itu hanya karena emosi belaka. Aku ingin kamu memutuskannya dengan kepala dingin. Jangan kawatir dengan persahabatan kita. Aku masih seperti dulu, tetap dan akan terus menjadi sahabatmu. Aku harap, kamu bisa menerima keputusanku ini, maaf aku tidak bisa merangkainya dengan kata-kata yang indah.


Terima kasih atas persahabatan kita selama ini, semoga kita masih bisa bertemu di lain waktu. Aku tetap menanti kabar darimu. Ingat,ini semua demi kebaikan kita. Selamat tinggal.
Dari seseorang yang selalu menyayangimu


Tanpa terasa air mata telah membasahi mukanya. Tangannya masih menggenggam erat secarik kertas itu. tiba-tiba tubuhnya terasa berat untuk bergerak. Tak kuasa ia menggerakkan kedua tangannya, kaki-kakinya juga terasa tidak mempunyai kekuatan untuk membuatnya beranjak dari kursi. Makan siang dan sebotol aqua di depannya tidak disentuhnya. Dunia seolah berputar, dan menjadi gelap.

“Ran, yok udah habis.”

Tiada terdengar jawaban, Rany masih terpaku di tempat duduknya. Suara Dewi temannya yang mengajak kembali bekerja rupanya tidak didengarnya.

“Kok nggak makan? Lho, matamu sembab gitu, habis menangis ya?” tanya Dewi.

“Ah tidak,” sahut Rany tergagap. Segera diusap wajahnya dengan sapu tangan.

“Yuk,” lanjutnya.

“Makanmu?”

“O iya.” Segera Rany beranjak dari duduknya.

Waktu rasanya berjalan makin lambat aja. Sisa waktu tiga jam terasa bagai seharian. Sudah tidak sabar Rany pengen segera pulang dan tidur, membuang segala perasaan yang menumpuk di hatinya. Ya kecewa, marah, bingung… dan seabrek lagi yang tidak dapat terkatakan. Ah, mengapa surat itu harus nyampai di tangannya? Apakah tidak lebih baik kalau surat itu nyasar ketangan orang lain biar Rany tidak membacanya?

88888888

Ah sial, baru enak-enaknya tidur kok diganggu. Segera diraihnya HP di atas meja. Rupanya ada sms yang masuk. Dari siapa ya? Apa Dewi mau ngajak Dugem, tapi dia kan udah punya pacar? Pasti dia akan pergi dengan pacarnya. Lagian kalau aku diajak, aku juga tidak akan mau, nggak enak, pikir Rany. Dari Bagas? Mau apalagi orang satu ini.

Hai Ran.
Ada acara tak mlm ini?
Ke Grj bareng yok?
Tak jpt jam 6 ya.
Bye.


Kalau sudah begini, bagaimana bisa menghindar lagi? Orang itu pasti datang, dan tidak mungkin tidak. Rany tak tahu harus buat alasan apa lagi. Sudah terlalu sering ia menolak ajakannya Bagas. Kekecewaan setelah membaca surat yang baru saja diterimanya membuat dia semakin tidak mampu menolak ajakan Bagas lagi. Toh sudah tidak ada yang perlu ditunggu lagi, semuanya sudah jelas bagi Rany. Dengan harapan akan mendapatkan obat penghibur lara, segera Rany beranjak dari tempat tidurnya menuju ke kamar mandi. Yah, mungkin sudah menjadi jalan hidupku? Desah Rany dalam hati.

“Masuk dulu yuk?”

“Dah siap?”

“Ntar tunggu sebentar lagi, aku belum sisiran.”

“Oke, tapi jangan lama-lama ya, ntar terlambat.”

Tanpa perlu menjawab lagi Rany sudah ngeloyor masuk ke kamar. Sebenarnya sudah tidak ada lagi yang perlu dikerjakannya, cuman Rany pengen menghindar aja dari Bagas. Saat ini dia masih malas kalau harus ngobrol berdua sama Bagas. Rany menerima ajakan Bagas hanya karena tidak tega aja sama maksud baiknya Bagas yang selama ini sudah terlalu sering ditolaknya. Lagian Rany memang lagi sebel hari ini.

“Yuk kita berangkat.”

Segera mereka meluncur di atas motor Bagas, menerobos dinginnya malam kota Malang. Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka. Bagas sendiri seolah tidak ingin memancing keributan. Berhasil mengajak Rany pergi malam itu saja sudah merupakan kemenangan yang luar biasa baginya. Kemenangan yang barangkali akan menjadi jalan bagi terbukanya kemenangan-kemenangan lainnya.

“Kita makan malam di mana?” tanya Bagas membuka pembicaraan malam itu sepulang dari Gereja.

“Kamu belum makan kan ?” lanjutnya.

“Terserah kamu aja”, jawab Rany singkat. Hatinya rupanya masih sakit, sakit atas sesuatu yang selama ini ditakutinya akan terjadi, dan siang tadi hal itu benar-benar terjadi.

“Kalau ke Pulosari aja gimana? Ayam gorengnya enak lho. Lagian malam ini pasti ramai, kan malam minggu.”

“Yah…, ikut aja.”

Kembali tidak terdengar pembicaraan di antara dua insan ini. Mereka terbawa oleh pikirannya sendiri-sendiri. Nampak di kanan-kiri jalan keramaian kota Malang semakin nampak. Di sepanjang jalan terlihat berpasang-pasang muda-mudi naik sepeda motor menuju ke arah pusat kota atau ke arah Batu. Memang kedua tempat ini biasa menjadi tujuan mereka untuk menghabiskan malam minggunya.

“Kamu mau pesan apa?” kata Bagas sambil menyodorkan daftar menu.

“Soto Kudus aja. Trus minumnya Juice Alpukat.”

“Dah itu aja?”

Hanya anggukan yang Bagas dapat. Malam itu suasana cafe di pinggir jalan Pulosari itu memang sangat ramai. Sangat pas bagi mereka yang ingin menghabiskan malam minggunya. Banyak berjajar cafe-cafe kecil yang menata suasanannya begitu asri, sangat bernuansa romantis, dengan dihiasi lampu yang berwarna-warni dan ditambah dentuman musik. Makanan dan minumannyapun relatif terjangkau oleh koceknya mahasiswa yang merupakan konsumen tetap tempat ini. Semua nampak beragam, namun ada yang sama dan menjadi ciri khas bagi tempat ini, yaitu menu jagung dan roti bakarnya. Kedua menu ini pasti tidak akan terlewatkan.

“Nih, makan ini dulu. Rugi kalau gak beli, udah nyampai sini”, kata Bagas sambil menyodorkan sebatang jagung bakar.

“Kamu sakit ya? Kok dari tadi gak banyak omong. Ntar aku ajak periksa aja…”

“Nggak-nggak,” serobot Rany, “ Aku baek aja.”

“Ya udah kalau gak apa-apa. Aku cuman takut kalau-kalau kamu kecapekan kerja. Tapi bener ya?”

“Bener”, jawab Rany sambil menatap Bagas, mencoba meyakinkannya bahwa ia baik-baik aja. Mata tajam yang begitu indah di bawah temaramnya lampu cafe.

“Ran, sebenernya aku mau minta maaf kalau perbuatanku kemarin membuatmu marah aja. Itu semua aku lakukan untuk membuktikan cintaku, kalau aku benar-benar mencintaimu. Tidak ada maksud lain. Bener.”

Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Bagas, dan hal ini membuat Rany terperanjat. Ia tidak mengira Bagas akan seberani dan secepat itu mengatakannya. Belum pulih benar kesadarannya karena kaget, tiba-tiba Bagas kembali mengatakan sesuatu yang membuat wajah Rany makin memerah.

“Aku sungguh mencintaimu Ran.”

Untung lampu ruangan itu begitu temaram, kalau tidak barangkali Bagas akan melihat perubahan yang terjadi pada mimik Rany.

“Maukah kamu menerima cintaku?” kata Bagas yang semakin berani.

Tiba-tiba saja Rani merasakan seolah-olah ada kayu berat yang menindih tubuhnya. Tak kuasa ia untuk menggerakkan mulutnya. Seluruh tubuhnya terasa lemas lunglai tak berdaya.

“Yuk makan dulu, aku udah lapar”, kata Rany mengalihkan pembicaraan ketika pesanan mereka datang. Untung saja, mungkin sudah diatur oleh yang di atas sana, pikir Rany.

Seolah tidak menghiraukan Bagas yang menungu-nunggu jawaban darinya, Rany segera menyantap soto yang ada di depannya. Rany tidak tahu harus berbuat apa kalau waktu itu pesanannya tidak datang. Untuk menerima Bagas ia masih merasa berat, namun bila harus menolaknya ia juga tidak kuasa menyakiti hatinya. Selama ini Bagas sudah mau menjadi teman baiknya di kala ia menjadi orang asing di tempat ini. Tidak mau menyakiti hati orang lain adalah salah satu kelebihannya, ataukah kebodohannya, khususnya untuk situasi seperti ini?

“Kalau kamu ada cuti, boleh gak aku maen ke tempatmu? Ya sore-sore aja, aku abis kerja juga. Hitung-hitung nemenin ngobrol, yah dari pada tidur sore. Katanya gak baik tidur sore-sore, banyak setannya,” kata Bagas mencoba memecah suasana.

Rany tetap diam saja. Ntah apa yang sedang dipikirkan anak ini. Seolah-olah ia tidak mendengarnya. Dengan santainya ia habiskan soto Kudus yang ada di depannya. Sekali-kali diusapnya keningnya yang mulai berkeringat karena kepedesen sambal.

“Mau nambah lagi?”

“Ah nggak, dah cukup. Terima kasih.”

“Ran, aku pengen ngatakan sesuatu padamu. Kamu keberatan nggak?”

“Em…, gimana ya. Ya udah ngomong aja,” jawab Rany ragu-ragu.

“Aku Cuma pengen dengar jawabanmu Ran. Udah terlalu lama aku menunggumu. Udah tidak sabar aku pengen denger jawabanmu. Please Ran. Kamu tentunya juga tidak ingin membuatku terkatung-katung kan? Membuat perasaanku tidak menentu? Aku tau benar itu bukan sifatmu. Aku ingin segera bisa bersamamu. Tolong aku, aku pengen dengar itu dari mulutmu malam ini,” kata Bagas memohon.

Rupanya Rany sudah menduga bahwa Bagas tidak akan mudah menyerah begitu saja. Dia pasti meminta jawaban darinya malam ini.

“Sorry Gas, aku belum bisa memutuskannya malam ini. Sungguh aku …. Aku masih belum bisa. Hari ini aku baru saja melalui hal terberat dalam hidupku. Aku masih bingung, tak tau harus bagaimana. Aku tidak ingin merusak semuanya. Kalau sudah siap pasti aku akan mengatakannya. Aku pengen keputusanku nantinya adalah yang terbaik bagi kita, ya bagiku dan bagimu. Sekali lagi sorry Gas, aku tau kamu pasti mau ngerti perasaanku.”

Bagas terdiam, perasaan kecewa karena harus kesekian kalinya ia harus mendengar kata-kata itu. Namun ia tidak mudah putus asa, karena memang itulah sifatnya. Kalau mudah menyerah, bukanlah Bagas namanya.

“Yuk, kalau gak pesan apa-apa lagi. Mau ke mana lagi abis ini? Masih sore nih, sayang kalau harus tidur duluan. Gimana kalau ke Payung aja, malam minggu gini pasti ramai.”

“Ah gak usah. Thanks. Lagian hari ini aku agak gak enak aja. Aku mau langsung pulang aja, kalau kamu gak keberatan. Mungkin lain kali aja.”

Gagal mengajaknya malam ini tidak begitu menjadi persoalan bagi Bagas. Ia masih tetap punya keyakinan bahwa suatu saat ia pasti berhasil. Bagas percaya bahwa maksud baiknya selama ini pasti akan bisa meluluhkan hati Rany. Sekeras dan setegar apapun itu.

*********

Malam semakin dingin. Jam di dinding sudah menunjukkan jam sepuluh malam, namun Rany masih nampak gelisah di pembaringan. Ia telah melalui hari ini dengan sangat berat. Kata-kata Bagas masih terngiang dengan sangat jelas di telinganya. Ah orang yang begitu baik. Di jaman sekarang mungkin akan sulit mencari orang sebaik Bagas. Mungkin banyak gadis yang sudah meliriknya. Namun mengapa malah aku yang dikejarnya? Tanya Rany dalam hati. Orangnya juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Rumah juga sudah punya. Usianyapun sudah cukup untuk berumah tangga. Kurang apalagi? Wajah juga lumayan. Penampilannyapun tidak kalah dengan anak-anak kota, walau sebenarnya ia asli kampung. Gadis yang bisa mendapatkannya pasti akan sangat beruntung. Tapi, mengapa harus aku yang dikejarnya? Kembali tanya Rany pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba Rany bangkit dari tidurnya. Perlahan ia melangkah ke arah almari di samping tempat tidur. Dibukanya laci almari itu, lantas diambilnya sebuah album kecil berwarna hijau dari dalamnya. Sejenak ditatapnya dalam-dalam album itu. Agak ragu, kemudian dia duduk di pinggir tempat tidur. Wajah Rany nampak tersenyum ketika ia melihat seraut wajah yang nongol di lembar pertama. Terlihat wajah seorang anak kecil berusia sekitar belasan tahun. Agak kabur memang, karena sepertinya foto itu diambil dari jarak yang sangat dekat, sehingga nampak seperti di close-up saja. Seraut wajah yang sedang memakai blangkon.

Yah, foto yang mengingatkannya akan pada siapa cinta pertamanya berlabuh. Cowok yang di foto itu bernama Boy. Waktu itu mereka masih sama-sama di bangku SLTP, Rany satu tahun di atas Boy. Masa-masa di mana kata orang cinta antara dua insan mulai tumbuh bersemi, cinta yang sungguh suci. Banyak yang mengatakan itu semua hanyalah cinta monyet, cinta anak-anak. Tapi tidak begitu sepertinya dengan apa yang mereka alami. Sebelas tahun sudah setelah masa-masa itu, namun mereka ternyata masih bersama. Bukan waktu yang singkat bagi sebuah pertemanan. Banyak godaan dan cobaan yang telah mereka hadapi, tapi kesetiaan dan ketulusan cinta telah membuktikan bahwa mereka tidak dapat terpisahkan.

Masih teringat jelas dalam benak Rany saat-saat indah mereka bersama. Saat-saat bersama yang tidak mungkin terlupakan, sampai kapanpun. Mulai dari awal perkenalan mereka di dekat wc sekolah, saat pertama kalinya Boy apel dan harus menjawab pertanyaan Rany yang sampai sekarangpun Rany tidak tahu dengan pasti apa jawabannya. Saat Boy dengan malu-malu harus menjawab pertanyaan Rany apakah ia mencintainya? Ah…, masa-masa kecil yang menggemaskan.

Terlintas juga di benak Rany, saat-saat bersama di terminal Umbulharjo Jogjakarta. Saat ia harus ngrelain bolos kuliah demi ngantar sang kekasih kembali ke tempatnya untuk kuliah. Sudut-sudut terminal yang seolah-olah menjadi saksi hidup kisah mereka dan akan mematrinya entah sampai kapan. Keramaian Malioboro, jalan Mangkubumi, romantiknya suasana Jogja, sampai dengan depot kecil penjual Soto Kudus itupun juga terus terlintas dalam anggannya. Semua tempat, peristiwa, dan suasana yang tak mungkin terlupakan begitu saja. Bukan karena peristiwa atau suasananya pertama-tama, melainkan karena mereka yang ada di dalamnya. Kembali yang hadir adalah pengandaian-pengandaian. Seandainya waktu bisa berubah, seandainya ini, seandainya itu, seandainya…., seandainya…..

Bagi Rany, Boy adalah lebih dari pada sekedar seorang teman yang menyenangkan. Agak pendiam memang, tapi begitu mengenalnya ia akan enak diajak bicara. Waktu pertama kali melihatnya Rany memang sempat mengiranya orang yang sombong, namun setelah lama berlalu, ternyata tidak. Ia penuh pengertian, perhatian, dan setia lagi. Pernah suatu kali Boy harus bolos karena ia sudah terlanjur janji ketemu Rany di Jogja. Yah…, walaupun Rany harus menunggunya sendirian lama, namun ternyata Boy tetap memenuhi janjinya. Jauh-jauh ia rela pergi ke Jogja demi sebuah janji yang telah dibuatnya.

Rany tidak bisa mengingkari kata hatinya. Walaupun hari ini ia telah dibuat sakit hati setelah membaca surat Boy, namun ia masih tetap merasa sayang sama Boy. Sebenarnya Rany pengen marah, tapi tidak tahu harus melepas kejengkelan pada siapa? Pada Boy? Sangat sulit sekali, dia adalah tetap orang yang mampu mengisi hati Rany selama ini. Bagaimanapun juga, melupakan Boy setelah sekian lama bersama bukanlah hal yang mudah. Setiap kali Rany mencoba menghilangkan bayangan Boy, akibatnya malah akan semakin menyakitkan. Bayangannya akan semakin kuat terlintas. Ah…, apakah ini yang namanya cinta?

Tak terasa jam di dinding sudah menunjukkan tengah malam. Dentuman jarum jam terdengar keras memecah senyapnya malam. Semua orang sepertinya sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Binatang-binatang malampun seolah-olah sudah payah untuk bersuara. Mata Ranypun mulai terasa berat. Perlahan dibaringkannya tubuhnya di tempat tidur. Alunan lagu Cinta Sejati milik Ary Laso seolah-olah mengiringinya tidur.

*******************
bersambung……..

Senin, 25 Juli 2011

DI DALAM SEBUAH BUS 1



Bus yang aku tumpangi baru saja keluar dari terminal Tirtonadi Solo, rasa kantuk yang menyerangku sepertinya sudah mulai tidak tertahankan lagi. Kebetulan waktu itu sudah tidak ada lagi orang yang duduk di sebelahku, jadi aku bisa seenaknya sendiri. Matakupun mulai terpejam, deru bus semakin lama semakin sayup-sayup kudengar. Udara dingin yang keluar dari AC buspun kian membuat aku terlelap. Dalam keadaan yang setengah sadar itu terdengar seorang atau dua orang pengamen menyanyikan lagu, setelah sebelumnya berbasa-basi sejenak. Entah apa yang mereka nyanyikan, aku tidak memperhatikan, yang terdengar cuman deru bus bercampur klakson yang sekali-kali terdengar dan suara gitar yang rasanya kurang pas, entah karena stemnya atau karena memang sudah tua dan tidak layak lagi untuk dimainkan, cuman layak untuk digunakan mencari sesuap nasi. Tiba-tiba aku tersentak dari setengah tidurku, ya… aku mengenal lagu ini. Lagu ini tidak asing lagi bagi teliangaku karena memang aku suka menyanyikannya, dan lebih-lebih karena punya makna tersendiri bagiku. Akupun mulai membuka mata, pendengaranku mulai kutajamkan, dan memang benar ini adalah lagu kesukaanku.

…pulang ke kotamu,
ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu,
tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna…


Tanpa kusadari mulutkupun bergerak mengikuti setiap kata dari lagu itu, bayang-bayang indah sekaligus tidak mungkin kulupa melintas di kalbuku. Ah…, mengapa harus muncul sekarang? Pikirku. Di saat aku tidak mengharapkannya, bayang-bayang itu malah kembali muncul. Kucoba untuk menghilangkannya, namun hanya kesia-siaanlah yang aku temui. Semakin aku coba singkirkan, semakin kuat pula ia melintas dalam benak dan nuraniku.

…ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagi,
bila hati mulai sepi tanpa terobati…


Syair lagu itu begitu tajam menusuk kalbuku, mungkin yang menyanyikannya sendiripun tidak tahu kalau ada yang cukup tersiksa oleh syair lagunya. Hanya aku dengan diriku sendiri yang mengetahuinya, sedangkan Tuhan? Entah, aku juga ragu apa Ia mengetahuinya. Dan kalaupun Ia tahu, apakah Ia akan tahu dan mengerti keinginanku?
Aku sekarang memang sedang rindu, sepi menghantui jiwa. Entah di mana akan kutemukan obatnya, mungkin dengan kepulangan ini aku akan menemukannya, namun sekali lagi aku juga tidak tahu pasti. Seseorang mungkin sedang menungguku, tapi apakah masih ada kesempatan untuk saling bertemu? Ataukah masing-masing sudah malu dengan dirinya sendiri? Merasa tidak pantas untuk ditemui sehingga benar-benar tidak bertemu? Haruskah gelora hati terbendung oleh rasa malu? Tidak bisakah masa itu terulang lagi? Atau memang segala-galanya telah lain sekarang?
“Mas.’
“Numpang ngamen mas!”
“Eh…”, kataku tergagap. Segera kurogoh sakuku dan kusodorkan uang lima ratusan ke dalam dompet kumal yang disodorkannya.
“Makasih mas”, katanya tanpa diikuti oleh jawaban yang terlontar dariku.
Mulutku terkatup rapat, seolah terkunci tidak dapat bersuara lagi. Kota Jogja mulai kumasuki. Geliat kehidupan malam mulai terasa. Di pinggir-pinggir jalan nampak orang-orang mulai menata dagangannya. Di sudut lain nampak seorang anak gadis belasan tahun sedang menyapu trotoar, mungkin sedang menyiapkan tempat untuk menjajakan dagangannya. Tak jauh darinya nampak sepasang suami istri sedang mendorong gerobak, entah apa yang dijualnya. Sekilas kulihat segerombolan tukang becak sedang duduk-duduk di dalam sebuah warung. Tampak beberapa orang sedang makan, entah makan malamnya ataukah makan pagi, karena memang setelah seharian, baru sekarang bisa membeli makan. Di tengah-tengah gedung-gedung megah yang berdiri di kanan-kiri jalan, ternyata masih ada orang yang memperhatikan mereka, ya pedagang makanan itu sendiri. Orang kecil yang melayani orang kecil. Dengan uang sebesar lima ratus rupiah orang masih bisa mendapatkan nasi kucing, cukuplah untuk menenangkan perut. Namanya juga nasi kucing, isinya ya cuman sesentong nasi ditambah dengan sesendok sayur kacang dan secuil ikan asin atau tempe goreng. Tak banyak bedanya memang dengan mereka yang menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk makan di restoran mewah dengan mereka yang makan di emperan jalan maupun toko itu, mereka toh akhirnya sama-sama mengejar rasa kenyang, memuaskan sang perut.

Senja yang baru saja datang seolah-olah menyambut kedatanganku di terminal Umbul Harjo. Segera kulangkahkan kakiku keluar dari bus yang seharian telah membawaku. Semua terasa masih nampak sama, hanya waktu dan peristiwa-peristiwa yang memngiringinya sajalah yang membuatnya berbeda. Sejenak aku berdiri di samping pilar-pilar terminal, membuang kepenatan karena telah duduk seharian. Rasa capek dan pegal sepertinya belum terobati dengan hanya tiduran di atas sebuah kursi. Kucoba hilangkan kepenatan dengan berjalan ke arah ruang tunggu, sesampainya di sana segera kusandarkan tubuhku ke pilar. Sengaja aku nggak mau duduk, karena memang rasanya sudah terlalu capek pantat ini untuk duduk, sudah tiada kuasa lagi untuk menyangga tubuhku. Ah… megapa bayangan itu kembali muncul? Tiang pilar ini sepertinya memantulkan peristiwa beberapa bulan lalu yang aku alami di sini. Semuanya terasa begitu jelas, dan nyata.
“Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku mau ke wc dulu”. Segera kulangkahkan kakiku ke sudut terminal, mencari wc umum.
“Lama banget, banyak ya?”, tanyanya sambil diiringi dengan ketawanya yang begitu renyah.
“Enak aja, emangnya buang apa? Pas kebetulan lagi banyak yang antre, jadi harus nunggu agak lama.”
“Bawaanmu banyak amat sih, mau pindah rumah ya?”
Aku diam saja. Mataku menerawang bus-bus yang keluar masuk terminal, orang-orang yang berduyun-duyun ke luar masuk bus. Entah apa yang mereka pikirkan, mungkin ingin lekas bertemu dengan keluarganya masing-masing. Mungkin rasa gembira yang ada dalam hati mereka. Ah, seandainya aku dapat merasakan hal yang sama.
“Hayo… melamun aja ya? Udah susah-susah ditemani, eh malah melamun. Aku tinggal pergi lho!”
“Eh..”, sahutku terbata,”Sorry, aku nggak bermaksud demikian kok. Swear, aku cuman lagi…”.
“Tahu nggak, aku belain ngebolos demi nganter kamu. Tahu nggak?”
“Iya deh, aku yang ngaku salah. Yok duduk di situ sebentar, masih terlalu pagi sih, ntar aja berangkatnya. Di sana juga mau ngapain. Mendingan di sini nemani kamu, tul nggak?”
“Sialan lu”, jawabnya sambil mencubit pinggangku. Aku Cuma mengernyitkan bibir, menahan sakit.
“Kapan kamu pulang lagi?”, katanya membuka pembicaraan.
“Entahlah, aku juga nggak tahu. Mungkin nanti kalau liburan semester lagi.”
“Wah, lama banget. Bisa mati ntar aku karena kangen kamu.”
“Enaknya aja mau mati. Ntar kalau kamu mati, trus yang nganter aku ke sini lagi siapa? Kalau aku ngajak cewek lain emangnya kamu rela?”
Kembali bukan kata-kata yang keluar dari mulutnya, melainkan cubitan keras yang mendarat di lengankulah yang dia berikan.
“Sakit tahu! Emangnya aku ini Tyson, dicubit pake guntingpun tak merasa sakit?”, kataku sambil menarik lengan.
“Biarin aja. Kalau aku mati dan kamu selingkuh, aku bakalan jadi hantu yang selalu nakut-nakuti kamu. Biar kamu nanti nggak bisa tidur. Kalau ada cewek yang jadian sama kamu, pasti akan aku ganggu, biar dia ngacir. Rasain kamu!”, katanya dengan penuh kemenangan.
“Tapi kamu janji akan selalu sayang aku ya? Cuman aku aja ya?”, katanya dengan nada melemah dan penuh iba.

Aku hanya diam saja, kupandangi matanya, kucoba meyakinkannya bahwa dia bisa memegang kata-kataku. Kujabat tangannnya, dia hanya tertunduk diam. Sejenak kami diam, terbawa oleh pikiran kami masing-masing.

“Kamu tahu nggak, kadang aku takut. Takut kalau suatu saat nanti kita harus berpisah. Aku nggak tahu harus bagaimana?”, katanya dengan mata menerawang jauh. Bola matanya yang biasanya bersinar, sekarang nampak mulai sembab. Butiran-butiran air mata mulai menetes di pelupuk matanya. Raut mukanya berubah menjadi sendu. Kepalanyapun mulai tertunduk pelan. Terasa begitu berat beban yang harus ia tanggung. Tak ada kata yang bisa aku ungkapkan. Untuk beberapa saat aku terhanyut oleh kesedihan hatinya. Tanpa kusadari, matakupun mulai terasa berat. Tak kuasa aku pandangi matanya.
“Eh, mau beli koran nggak?’, kataku mencoba mengalihkan pembicaraan setelah beberapa saat aku bisa mengusai kembali keadaan.
“Ndak”, jawabnya singkat. Rupanya dia masih terbawa oleh perasaannya.
“Udah ya, aku nggak ingin kepergianku kali ini diiringi oleh kesedihanmu. Aku ingin senyummulah yang mengiringinya. Aku berjanji akan selalu setia. Kamu bisa memegang kata-kataku ini, swear. Dah, jangan menangis lagi”, kataku sambil mencoba meyakinkannya.
“Tuh ada anak kecil ngliatin, masak nggak malu?”, kataku disambut pukulan tangannya di pundakku. Ah…, ternyata aku bisa meyakinkannya. Sejenak aku merasa lega.
“Aku ada titipan barang sedikit, mungkin bisa kamu pakai buat bekal di perjalanan nanti.”
“Makasih ya, wah… kok kayaknnya semakin menambah jumlah kerepotan yang aku berikan padamu.”
“Nggaklah, malahan aku merasa mempunyai kesempatan untuk membuktikan cintaku. Kalau kamu menolaknya, mungkin…”
“Udah-udah,” kucoba menghentikan katanya,” Makasih ya. Aku nggak bakal deh menolak pemberian seseorang yang selama ini aku kagumi, aku cintai, aku…”
“Ha! Mau merayu ya?”, katanya sambil menyeringai.

Ternyata suasana telah kembali seperti biasa. Dan seperti biasa, ia mulai banyak ngomong, cerita sana-sini. Dengan setia kucoba mendengarkannya. Kesenduan yang beberapa saat yang lalu hinggap di hatinya rupanya telah hilang. Dia telah kembali seperti semula. Seorang gadis manis yang banyak omong, murah senyum dan….
“Hayo! Mulai mikirin siapa lagi”, sergahnya membuyarkan lamunanku, ”Pasti ngelamunin ceweknya di Malang ya. Ayo, ngaku terus terang aja!”
“Ah… ndak, ada aja kamu ini. Mulai cari gara-gara ya?”
“Sapa tahu udah ada yang nunggu di sana, akukan tidak tahu”.
“Udah siang ya,” kataku sampil berpaling melihat jam tangan yang melilit di tangan mungilnya, “ Aku berangkat sekarang aja ya, takut kalau kemalaman nih?”
“Takut kemalaman atau takut yang nunggu ngambek?”
“Huh mgacau”, jawabku sambil mencoba memasang tampang marah. Tapi rupanya jurusku tidak berhasil. Dengan senyum mungilnya ia seolah-olah mau mengerjaiku habis-habisan.
“Dah ya, aku berangkat sekarang? Lagian pas tuh ada bus yang ber AC”, kataku setengah meminta.

Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Kedua matanya menatap jauh kedepan, memandangi setiap orang yang turun masuk ke dalam bus. Kembali yang terdengar hanyalah deru mesin bus dan orang yang lalu lalang. Aku tidak berani menyapanya, sengaja aku biarkan ia terbawa oleh bayangannya. Aku tidak ingin kepergianku ini membawa luka yang mendalam baginya.
“Yah…,” katanya di antara desah nafas panjang dan berat,” Aku cuma ingin kamu mengingat-ingat kata-kataku ini, bahwa aku sangat takut kalau harus kehilanganmu. Aku rela kalau kamu harus pergi, tapi aku tidak rela kalau harus kehilanganmu.”
“Kamu bisa memegang kata-kataku”, hanya kata itu yang bisa aku lontarkan. Segera aku beranjak berdiri, meraih tasku dan memandangnya sejenak. Tak ada kata yang keluar, hanya mata yang saling berpandangan, membawa sejuta bahasa yang mungkin tidak bisa diungkapkan lagi oleh kata-kata. Dunia seakan berhenti dari peredarannya, suara-suara mesin sekan pula tenggelam dalam kegalauan hati. Semua menyanyikan kidung sendu perpisahan.
“Selamat tinggal”, kataku memecah keheningan sambil mencoba meraih tangannya. Kugenggam erat, tak ingin kulepaskan lagi.

Segera kulangkahkan kakiku memasuki bus, dengan perasaan yang sengaja kutegar-tegarkan aku melangkah. Dari dalam bus kulihat ia masih setia menunggu di luar, berdiri mematung. Bus segera berangkat. Kulambaikan tanganku kearahnya, iapun membalasnnya dengan secuil senyum yang menghias di bibirnya. Pelan tapi pasti bus melaju meninggalkan terminal, ia semakin jauh dan tidak kelihatan. Selamat tinggal Jogjakarta, selamat tinggal kawan, semoga lain hari kita akan bersua lagi, membawa kisah kita masing-masing.

“Permisi mas” , kata seorang ibu tua sambil menggendong dagangannya di pundak.
Ah…, ternyata aku telah hanyut dalam perasaanku. Kulihat jam di tanganku, ternyata sudah jam enam sore, berarti aku sudah cukup lama duduk termangu di situ. Diiringi temaramnnya lampu terminal aku melangkah keluar, melanjutkan perjalananku, meninggalkan kenangan yang pernah bersamaku di terminal ini, menuju kehidupan nyata yang telah menunggu di sana. Selamat malam masa lalu.



seperti yang kutulis 5 tahun yang lalu.
This entry was posted on Monday, October 6th, 2008 at 8:14 pm

Selasa, 19 Juli 2011

DI SEBUAH SENJA



Pagi ini aku sengaja bangun agak siang, karena memang badanku masih terasa sangat capek setelah kemarin seharian duduk di dalam bus. Udara dingin pegunungan terasa masih menusuk tulang, sebuah sweater warna putih yang aku kenakan rupanya tidak juga mampu untuk mengusir dinginnya udara pagi itu. Sinar sang surya yang mulai menembus masuk ke dalam kamarku lewat sela tirai-tirai seakan membawa kabar yang lebih baik bagiku pagi itu. Dua ekor burung gereja yang sedang bercengkrama di atas pohon mangga di sebelah kamar kiranya menggodaku dengan mengatakan,” Hai anak manusia, bangkitlah dari tidurmu. Lihat, sang surya telah menampakkan sinarnya, kehidupan telah dimulai, dunia telah siap menyambutmu.” Dan bila mereka dapat berkata-kata, mungkin mereka akan semakin mengejekku dengan kata-kata yang akan mengurangi kebahagiaanku pagi itu. Dan untunglah, mereka tidak dapat berbicara.

Hari yang sangat cerah, gumanku dalam hati. Belum ada rencana yang aku buat untuk mengisi hari pertamaku ini. Yang ada di dalam benakku adalah menghilangkan segala kepenatan bangku kuliah dengan segala tetek bengek tugas-tugas yang mengiringinya. Untuk menghilangkan rasa capek yang berlarut-larut aku segera mandi. Guyuran dinginnya air pegunungan rasanya membawa kesegaran yang baru dalam diriku. Selesai mandi, segelas teh panas telah menungguku di ruang makan. Ah, kebetulan sekali, aku memang sudah lama merindukan teh buatan ibuku. Belum selesai aku minum teh, ibuku datang menemuiku.
“Gimana tidurnya? Kayaknya pulas banget ya?”
“Ya bu, capek banget rasanya. Tak tahulah, biasanya ya ndak kok.”
“Tapi janjinya gimana? Jadi ndak? Adikmu udah menunggu lho dari tadi.”
O iya, aku baru sadar. Semalam aku telah berjanji dengan adikku untuk mengantarnya kembali ke tempat kostnya pagi ini. Sejenak kulihat jam tanganku. Sekarang udah jam sepuluh, artinya aku molor satu jam dari yang aku janjikan semalam. Wah gawat!
“Ya udahlah bu, aku akan ngantar adik dulu. Dia di mana sekarang?”
“Tuh udah menunggu dengan wajah cemberut di depan sana. Nggak sarapan dulu?’, tanya ibuku.
“Nggaklah, ntar dia menunggu lama,” kataku sambil menyambar jaket dan helm terus berlari keluar menemui adikku yang sudah menunggu.



Siang itu udara terasa begitu panas, apalagi matahari barusan melintas tepat di atas kepala. Udara yang terasa kering di awal musim kemarau ini semakin membuat kepala ini pening. Tak ada banyak pembicaraan yang terjadi, rupanya aku dan adikku sama-sama terbawa oleh pikirannya sendiri. Entah apa yang dipikirkannya, aku nggak tahu, atau malah nggak mau tahu ya? Aku sendiri sibuk dengan pikiranku sendiri, sesuatu yang terus membayang di batinku semenjak aku pulang kemarin, malahan semenjak aku memasuki kota Jogjakarta.

Selesai mengantar, aku tidak segera pulang. Sengaja aku putar-putar dulu, mencoba menyegarkan ingatanku lewat sudut-sudut jalan yang aku lewati, yang rasanya hanya aku saja yang dapat memaknai setiap sudutnya. Semua masih nampak sama, tidak banyak yang berubah. Mungkin hanya waktu dan peristiwa yang mengiringinya saja yang banyak berubah. Sudut makam, tempat aku duduk-duduk menunggu adikku kalau pas menjemput juga masih nampak sama. Di depannya sebuah Sekolah model Belanda masih berdiri megah, masih menampakkan kejayaannya. Dan mungkin memang benar, banyak orang yang sampai sekarangpun masih mengakui kehebatannya. Banyak orang dari penjuru pulau ini, bahkan dari luar pulau yang menyekolahkan anak atau kerabatnya di sana. Warung dawet pun masih ada di sana. Ah, memang tidak banyak yang berubah.

Matahari sudah nampak mulai melintas ke arah barat, namun panasnya masih terasa menyengat. Ah…, terlalu siang untuk segera pulang, pikirku. Mendingan aku putar-putar dulu, siapa tahu dapat kenalan baru, hitung-hitung bisa untuk dijadikan teman mengisi hari-hari liburku. Tapi siapa yang libur ya? Semua masih pada masuk, yang libur ya cuman kampusku aja. Di luar kebiasaan memang. Segera kupacu sepedaku membelah ramainya kendaraan yang hilir mudik memadati jalan-jalan siang itu. Waktupun terus berjalan seiring dengan berputarnya roda sepeda motorku. Panasnya matahati yang tadi menyengatpun lama-lama menampakkan kelembutannya. Cahyanya yang merah meronapun mulai nampak, menandakan bahwa ia akan segera berangkat ke peraduannya, setelah seharian menemani insan di bumi dengan sinarnya.

Ah, kok sembrono banget aku ini? Seperti tersentak dari lamunan aku baru sadar bahwa aku pasti sudah dinanti-nanti kedua orang tuaku di rumah. Mereka pasti bertanya-tanya mengapa aku tidak segera sampai rumah? Tak ingin membuat hati mereka cemas, akupun segera mengarahkan sepedaku menuju rumah.
“Dari mana saja?” tanya ibuku sesampainya aku di rumah.
“Muter-muter dulu bu, sekalian liat-liat kalau-kalau ada yang berubah. Eh…ternyata semuanya kok masih nampak sama”.
“Ya sudah kalau tidak ada apa-apa. Mandi dulu sana, makan malamnya juga belum siap ini”.



Malam baru saja datang. Simponi malam mulai menggema di ujung-ujung jalan. Dunia yang setelah seharian diisi oleh bisingnya suara manusia sekarang telah diganti oleh suara-suara alam dan binatang-binatang malam. Rembulan mulai menampakkan sinarnya, memasuki peredarannya menggantikan sang surya. Bintang-bintang yang bertebaran di angkasa, semakin menambah semaraknya malam. Mereka seolah berseru, mengagungkan begitu dasyat dan mengagumkan karyaMu, wahai Sang Pencipta!

Kusandarkan tubuhku di atas tempat tidur. Hari memang masih terlalu sore untuk tidur, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dari sini terus kupandangi ujung langit, mencoba menangkap setiap titik cahaya yang nampak di pelupuk mataku. Di tempat ini, ya beberapa tahun yang lalu aku menghabiskan hari-hariku, bergelut dengan buku-buku pelajaran. Kamar ini adalah sahabat yang paling setia menemaniku, saksi di kala aku sedih maupun senang. Di tempat ini kadang aku tumpahkan segala perasaanku.

Kutatap sebuah cermin yang terpampang di salah satu sudut kamar, kupandangi diriku yang nampak di dalamnya. hei kau, apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu menjadi seperti ini? Masih ingatkah kamu denganku? Cermin itu seolah mengajakku berbicara. Lihatlah, ada apa? Apa kamu lupa, hanya aku yang dapat mengerti dirimu? Hanya aku yang dapat melihat dirimu seutuhnya? Aku tidak bisa kamu tipu! Aku bisa melihat semuanya! Ah…, segera kubuang wajahku dari cermin itu. Kugapai radio tape yang ada di atas tempat tidur. Hai sobat, kita jumpa lagi, gumanku.

Satu persatu mulai kuputar canelnya, kucari yang pas dengan hatiku. Sejenak kuhentikan ketika terdengar lagunya Katon, entah judulnya apa, tapi yang jelas aku sepertinya kenal. Dan tanpa dikomando lagi, segera mulutku komat-kamit mengikuti setiap penggalan syair lagu tersebut.

Di relung-relung kamarku
Kulihat kau tersenyum
Berangkaian kata rindu
Puisiku untukmu
Kasih … adakah waktu tersisa
Untuk dapat saling bicara
Tentang …

Ah, syet…, gila! Aku kan malam ini ada janji untuk bertemu dengan temanku. Ah…, mengapa begitu bodohnya aku ini? Mengapa sampai bisa lupa? Jangan-jangan dia sudah pergi karena menungguku terlalu lama. Atau, dia akan marah atas perlakuanku ini? Apa yang harus aku perbuat? Di tengah kekalutan, segera kulangkahkan kaki keluar kamar, yah… aku tidak tahu apa yang bakal terjadi, tapi yang jelas aku harus ke sana. Aku yakin ia masih setia menungguku. Aku tahu betul bagaimana dia, dan dia pasti akan menunggu. Aku begitu yakin. Kulangkahkan kakiku melewati temaramnya jalan, dan bayangan lagu itu terus terlintas di benakku, seolah telah terpatri di dalamnya.
………
Tidakkah kau tahu
Kuselalu mencari waktu
Tuk bertemu denganmu
Lihatlah kedua mataku
Bersinar resah dan jiwaku tlah lelah
Ataukah karna
Slalu kubersikap seperti adanya
Yang lemah dan berhias kesalahan
Tiada sempurna



“Udah lama menungguku?”
Tak terdengar jawaban, yang ada hanya suara burung malam diiringi angin lembut menerpa wajah ini.
“Sendiri saja?”
“St…, jangan berisik. Aku sedang mengamati kedua burung itu.”
Segera kulayangkan pandanganku ke samping. Tak jauh dari tempatku ada sepasang burung sriti yang sedang bertengger di dahan pohon beringin. Rupanya mereka sedang asyik menikmati buah-buah beringin yang mulai berwarna hitam, pertanda sudah tua. Aneh memang, jarang bisa ditemui burung sriti mau bertengger diam begitu lama. Biasanya ia dengan lincahnya bergerak ke sana ke mari, hinggap di satu ranting, dan kemudian pergi ke ranting lainnya.
“Udah liatnya?” Tanyaku.
“Malam ini rasanya kok begitu dingin ya?”
“Biasalah kalau musim kemarau,” jawabku sekenanya saja. Sepertinya saat ini hujan masih sering turun, tapi…ah, dia sepertinya juga tidak memperhatikan itu.
“Kapan pulang? Jadi kemarin?” Tanyanya.
“Jadi…, sorry ya, nggak ada oleh-oleh.”
“Uh!”
“Acara week end-nya?”
“Yah lancar. Aku pulang duluan, udah nggak sabar ingin ketemu kamu,” kataku mencoba menggodanya.
“Aku ada fotonya kalau kamu mau lihat apa aja yang aku lakukan. Asik juga lho, banyak kenal sama orang.” Segera kukeluarkan sebuah album kecil yang memang sudah aku persiapkan dari tadi, hitung-hitung sebagai oleh-olehlah.
Lembar demi lembar mulai dibukanya album itu. suasana yang temaram di bawah pohon asem itu seakan tidak menghalanginya untuk terus membalik setiap lembaran foto yang ada di tangannya. Sekali-kali dia berhenti sejenak, menatap cukup lama, terus tersenyum sendiri sambil menatapku. Entah apa yang ada di benaknya waktu itu.
“Ini siapa?”
“Yang mana?”
“Ini lho, yang duduk di sampingmu waktu kamu niup lilin.”
“O…, itu anak sana. Pas waktu mereka ngerayain ulang tahunku. Aku sebenarnya nggak ngomong juga lho kalau aku ulang tahun, tapi…, yah dasar anak muda, mereka masuk seenaknya ke kamarku, liat-liat bukuku, trus ketahuan kalau….”
“Kalau ini pas ngapain lagi?”
“Kalau itu sih pas lagi rujak-an, waktu itu kan ada yang….”
“Yang ini?” Dia kembali bertanya.
“Mana?” Kudekatkan wajahku untuk melihatnya.
“Orangnya kok terus sama ya? Aku jadinya malah curiga, jangan-jangan ada apa-apanya nih?” Katanya dengan disertai tatapan mata yang penuh selidik. Temaramnya lampu taman kiranya tidak bisa menyembunyikan pancaran matanya yang pengin tahu. Sejenak aku tidak menjawab, malah aku tertawa sendiri.

“Kok tertawa, apanya yang lucu? Apa pertanyaanku salah? Apa aku salah bertanya demikian? Kalau salah ya udah, lebih baik aku pulang saja….”
“Lho…, kok malah marah. Aku ketawanya karena geli melihat sikapmu itu. Kamu ngawur deh!” Kataku membela diri.
“Malah marahin lagi, udah tahu bersalah masih aja membela diri.”
“Eit…, yang salah itu siapa?” Kataku nggak mau kalah, “Aku kan ngatakan yang sebenarnya. Yang ngalami kan aku, jadi aku yang tahu. Masak kamu sudah tidak percaya lagi sama aku?”
“Hei, mulai merayu ya?”

Tak ada jawaban yang keluar dari bibirku. Sengaja aku mendiamkannya saja, aku tidak ingin suasana malam yang begitu indah ini menjadi rusak oleh kesalah pahaman saja. Pertemuan yang sudah lama kunantikan ini, dan mungkin dia juga menantikannya.

Malam terus berlalu, gumpalan awan hitam bergelayutan di langit, di antara gemerlapnya taburan bintang-bintang. Dinginnya malam kembali menusuk tubuh ini, selembar kaos dagadu ternyata tidak dapat menahan dinginnya. Burung-burung sriti terus beterbangan ke sana-ke mari, seolah-olah berlomba dengan kelelawar untuk mendapatkan biji-biji buah beringin yang mulai hitam karena tua.

“Kamu sudah mantap ya untuk ngelanjutin sekolah di Malang?” Tiba-tiba dia mulai membuka pembicaraan.
“Ya jelaslah, khan aku udah di Malang. Kamu ini gimana sih, mulai ngelantur ya…?” Jawabku sekenanya.

Kembali sunyi yang terdengar, hembusan angin malam yang kian dingin terasa menyapu wajah ini. Belaiannya cukup membuat hati ini bergetar merasakan begitu agung dan indahnya karya Sang Pencipta. Begitu dalam rahasia alamnya.

“Aku serius nih”, katanya tiba-tiba membelah kesunyian. Duduknya semakin didekatkan ke arahku, seolah-olah ingin agar aku serius memperhatikannya. Kedua matanya menatapku tajam, seakan-akan ingin menembus hatiku yang paling dalam, ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya.

“Yah…,” kataku diiringi desah nafas yang panjang,”Aku tidak tahu apakah itu pilihan terbaikku saat ini. Aku juga tidak tahu apakah hatiku juga ada di sana. Aku sendiri juga bingung.”
Sejenak tidak kulanjutkan kata-kataku, tidak tahu lagi apa yang mesti kukatakan.
“Yang aku sadari betul adalah bahwa apa yang aku jalani sekarang rasanya semakin membuatku jauh saja darimu. Tapi entah kenapa, semakin jauh darimu, aku malah semakin tidak bisa melupakan dirimu”.
Kembali aku terdiam, menyusun untaian kata yang telah hilang, mencoba merajutnya kembali.

“Aku kadang juga heran, mengapa aku memilih jalan ini. Mungkin kamu tidak menyetujuinya, dan hal itu bisa aku pahami. Aku dulu juga telah lupa tidak memberitahumu mengenai keputusanku ini. Secara sepihak aku telah memutuskannya, dan ini tentu saja menyakitkan hatimu. Tapi sekedar kamu tahu saja, bahwa aku juga merasa sakit. Sakit atas keputusanku sendiri, atas apa yang telah aku pilih. Semuanya terasa berat bagiku, sungguh aku sebenarnya tidak bisa memilih di antara keduanya. Kalau sekarang aku di jalan ini, mungkin hal ini terjadi karena aku tidak berani memutuskan, memilih yang mana. Aku sungguh tidak mampu, semuanya terasa berat bagiku”, kembali tidak kulanjutkan kata-kataku.

Kata-kata yang meluncur dari mulutku seakan telah kembali habis. Aku terdiam, namun hatiku telah sedikit lega karena telah mengatakan itu semua. Apa yang telah aku pendam selama ini akhirnya dapat aku ungkapkan malam itu.

“Yah.., kadang aku mengatakan inilah takdir. Kata yang begitu mudah diungkapkan, yang kadang hanya sekedar untuk menutup luka, tidak lebih dari membohongi diri sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, karena aku juga sadar bahwa demikianlah yang terjadi.”
“Tapi, apa kamu tidak ingin merubahnya?”
“Sulit”, sautku semakin larut dalam suasana,”Aku merasa tidak mampu. Sungguh aku tidak mempunyai kekuatan untuknya. Kadang aku sadar juga bahwa aku telah membohongi diriku, menipu diriku sendiri, mengingkari suara hatiku. Namun harus bagaimana lagi?”

…………………………………………………………….. Bersambung: entah sampai kapan?
This entry was posted on Monday, October 6th, 2008 at 8:12

Senin, 18 Juli 2011

Mama, Papa, Selamat Paskah!



Mama, Papa, Selamat Paskah! Gerimis terus turun membasahi pertiwi. Yah…, seperti sudah menjadi sebuah tradisi yang terus terjadi setiap menjelang malam Paskah. Entah, sebuah fenomena alam ataukah ada pesan illahi yang terkandung di dalamnya. Mungkin Tuhan sedang berbicara kepada kita, dan entah…kitanya yang sudah bebal termakan oleh segala kebingungan akal kita ataukah hati kita yang juga mulai tumpul untuk mengenalnya, yang membuat kita tidak mengerti. Hawa segar dan dingin seolah ingin meredamkan segala prahara yang berkecamuk di dunia ini. Prahara yang muncul lantaran manusia saling menjatuhkan, saling menyakiti. Nyawa yang sedari semula hanya menjadi milik Tuhan, dengan seenaknya dipermainkan oleh tangan-tangan manusia.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.00, namun aku masih terpekur di dalam kamar memandangi derai air hujan dari balik cendela. Aku belum tergerak untuk melangkah ke kamar mandi. Udara dingin semakin membuatku betah berlama-lama di tempat tidur. Benar barangkali apa yang dikatakan oleh dosen psikologiku, bahwa pada dasarnya setiap manusia ingin selalu mencari kehangatan. Ha…ha.., itu barangkali yang membuat aku dulu sempat selalu mencari perhatian waktu ia mengajar. Orangnya manis, smart, dan kelihatan dewasa banget sih. Ah.., itu kan katanya dosenku. Hanya teori saja. Toh, manusiakan sangat kompleks, tidak bisa direduksi pada teori-teori saja. Dalam dirinya ada sesuatu yang transenden, sesuatu yang mengatasi daya ratio manusia. Ada sisi terdalam, ada yang namanya…. Uh.., sudahlah! Aku kok malah berteori sana-sini. Yang jelas, aku masih malas mandi. Itu saja.

30 menit telah berlalu. Aku masih bimbang untuk beranjak. Satu setengah jam lagi misa malam Paskah dimulai. Yah, kemeriahan akan segera dimulai. Mulai dari koor yang meriah. Terop di depan gereja. Hiasan yang sangat mengagumkan, entah habis berapa ratus atau malah jutaan untuk dekorasi semeriah itu. Belum lagi makanan yang disediakan untuk semua umat selesai misa. Wow…, benar-benar pesta yang sangat besar. Orang-orang berdatangan dengan busana terbaik mereka. Di mana-mana tercium semerbak harum bau parfum mahal. Tapi, apa mereka yang datang ke gereja itu tahu artinya Paskah ya? Bagiku, Paskah tak lebihnya sarana reuni saja. Berjumpa dengan teman-teman lama. Ngobrol sana-sini. Sudah, habis.

Makna Paskah kiranya telah hilang bertahun-tahun yang lalu. Kadang kerinduan itu kembali muncul. Pergi ke gereja bersama mama, papa, dan kedua adikku. Usiaku saat ini memang sudah tidak muda lagi, karena sudah seperempat abad. Tapi, rasa kasih sayang, rasa cinta yang harusnya aku miliki, telah terambil dari padaku di saat aku belum puas menerimanya. Di waktu aku, dan tentunya juga kedua adikku, masih membutuhkan kasih sayang mereka berdua. Masih teringat jelas dalam benakku, di saat menjelang malam Paskah, kami disibukkan untuk menyelesaikan tugas yang seolah-olah telah menjadi bagiannya masing-masing. Mama seharian pasti di dapur mempersiapkan segalanya untuk pesta keluarga sepulang dari misa Paskah. Sedangkan papa sibuk dengan mobil tua kesayangannya. Aku sendiri menemani mamaku di dapur, dan kedua adikku bermain kesana-kemari, seolah-olah tidak mau ketinggalan untuk terlibat dalam kesibukan hari itu. Hari itu memang hari yang istimewa, karena kami bekerja sendiri secara bersama.
“Inilah yang namanya Paskah nak. Jadi, Paskah itu tidak hanya sebatas perayaan ekaristi di gereja, terus selesai. Paskah itu ya seperti ini. Ada canda, ada tawa, ada kegembiraan, ada cinta, ada kebersamaan, ada …”
“Ada makan,” sahut papa dari garasi.
Ha…ha…, kami semua hanya bisa tertawa bersama. Dan memang, saat-saat seperti itu aku merasakan bahwa kekuatan cinta sungguh hadir di dalam keluargaku. Sebuah kekuatan yang membuat Yesus mau memberikan nyawaNya untuk kita. Yang membuatNya mampu mengalahkan maut. Itulah kekuatan cinta.

Ya Tuhan, mengapa kenangan itu selalu muncul di saat-saat seperti ini? Tak jarang, aku hanya bisa menangis sendiri, ketika kenangan-kengan itu kembali muncul. Hatiku berontak, ingin kembali ke masa lalu, dan merubah segalanya. Kenangan indah itu hilang ketika kedua orang tuaku tiba-tiba memutuskan untuk bercerai delapan tahun yang lalu. Mulai saat itu, rasanya dunia menjadi kelam. Aku sendiri sampai saat ini belum mengerti juga mengapa mereka berdua mengambil keputusan seperti itu. Mama bercerita padaku katanya papa ada maen dengan wanita lain. Sedangkan papa menerimanya saja, karena baginya buat apa mempertahankan keluarga kalau sudah tidak ada rasa saling mempercayai lagi. Sampai sekarangpun aku masih belum mengerti. Papa sampai sekarang toh juga tidak menikah lagi, dan mama juga masih tetap hidup sendiri juga. Apa yang ada dipikiran orang dewasa memang tidak mudah dimengerti. Kedua adikku masing-masing ikut dengan papa dan mama. Sedangkan aku sendiri ikut dengan nenek, karena memang sejak awal aku tidak setuju dengan perceraian mereka. Pilihanku hidup dengan nenek sebenarnya mau menunjukkan sikapku itu.
“Maafkan kami ya nak.” Hanya kata itu yang masih terngiang di benakku saat mama meninggalkanku.
“Mama percaya kamu sudah dewasa, dan tahu mana yang terbaik.”
Aku memang sudah dewasa, sudah tujuh belas tahun. Sudah punya SIM dan KTP. Tapi, apakah cinta, kasih sayang yang harusnya aku terima hanya diukur oleh SIM atau KTP? Setelah orang dianggap dewasa lantas dianggap sudah tidak membutuhkannya lagi? Betapa egoisnya mereka waktu itu. Tapi, kembali gerundelan itu tak mampu kukatakan karena lidahku terasa kelu, dan mulutku terkatup, masih belum percaya akan apa yang sebenarnya terjadi.

Malam ini, kembali aku untuk pergi ke gereja seorang diri. Dan untuk yang kedelapan kalinya aku pada malam Paskah ini kembali berdoa: Tuhan, satukanlah keluargaku. Doa yang selalu aku ulangi setiap malam Paskah. Tidak ada hal lain yang aku kehendaki, selain kami berkumpul bersama kembali. Merayakan Paskah bersama lagi. Entah sampai kapan aku harus bertahan. Sampai tahun depan, depannya lagi, depan depannya lagi….., ataukah sepulang misa malam Pakah ini semuanya akan kembali baik? Tuhan, malam ini Engkau telah bangkit. Maut Kaukalahkan. Kuasa jahat hancur oleh kuasaMu yang mahaagung. Sukacita keselamatan Kauberikan. Aku mohon, berilah sukacita itu dalam hatiku, dalam keluargaku. Bangkitlah dalam hati mamaku, papaku. Mama…, Papa…, Selamat Paskah!

malang, 03-2006

Senin XVI/ I, Mat 12:38-42



Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda


Mat 12:38-42


“Pada waktu itu berkatalah beberapa ahli Taurat dan orang Farisi kepada Yesus: “Guru, kami ingin melihat suatu tanda dari pada-Mu.” Tetapi jawab-Nya kepada mereka: “Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Sebab seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal di dalam rahim bumi tiga hari tiga malam. Pada waktu penghakiman, orang-orang Niniwe akan bangkit bersama angkatan ini dan menghukumnya juga. Sebab orang-orang Niniwe itu bertobat setelah mendengar pemberitaan Yunus, dan sesungguhnya yang ada di sini lebih dari pada Yunus! Pada waktu penghakiman, ratu dari Selatan itu akan bangkit bersama angkatan ini dan ia akan menghukumnya juga. Sebab ratu ini datang dari ujung bumi untuk mendengar hikmat Salomo, dan sesungguhnya yang ada di sini lebih dari pada Salomo!” (Mat 12:38-42),demikian kutipan Warta Gembira hari ini.

dari Bacaan Injil ini ada beberapa hal yang bisa kita renungkan:
1. Manusia membutuhkan suatu kepastian.kepastian itu seringkali hadir dalam tanda yang diterimanya.bdk dengan Thomas yg tidak percaya sebelum ia mencucukan tangannya di bekas luka Yesus (Yoh 20:25).
2. Namun, seringkali manusia tdk mampu menangkap tanda yang telah hadir di hadapannya, seperti orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dalam Injil ini.Mereka meminta tanda kepada Yesus (Tanda kuasa/ kehadiran Allah), padahal Allah itu sendiri telah hadir di hadapan mereka dalam diri Yesus, yang seringkali mereka tentang, mereka cobai, mereka musuhi, bahkan pada akhirnya mereka salibkan.
3. Masih perlukah tanda bagi ahli Taurat dan orang Farisi yang tidak mau percaya kepada Yesus? Banyak tanda dan mukjizat telah dibuat Yesus, namun ternyata hati mereka semakin keras membatu. Mereka menganggap diri paling benar, sehingga mereka senantiasa menjebak Yesus untuk mencari kesalahan- Nya.

Saat itu mereka memanggil Yesus sebagai Guru (Rabbi), suatu panggilan awal yang sopan untuk menyelubungi maksud yang jahat. Mereka senantiasa mencari cara yang mereka anggap paling jitu untuk menjebak Yesus. Dalam bacaan ini, mereka meminta tanda dan bukan mukjizat, karena tanda merupakan pengesahan yang bersifat illahi. Mereka berpikir bahwa Yesus tidak mungkin memberikan tanda karena Ia adalah manusia biasa, anak seorang tukang kayu. Mereka berharap ketika Yesus tidak mampu memberikan tanda, maka terbukti bahwa apa yang dikatakan-Nya selama ini tidak benar. Bagaimana respons Yesus? Ternyata Yesus tidak terpancing dengan tantangan mereka, Ia tidak membuktikan Keillahian-Nya dengan cara manusia, tetapi dengan kuasa Illahi Ia menyingkapkan siapa mereka dan siapa Diri-Nya.

Dengan kata-kata sangat keras dan pedas Yesus menegur mereka sebagai angkatan yang jahat dan tidak setia, karena mereka tidak mau terbuka kepada kebenaran-Nya. Kepada mereka Yesus tidak menunjukkan tanda yang spektakuler, tetapi Ia memfokuskan kepada misi kedatangan Anak Manusia ke dunia, seperti tanda nabi Yunus. Yesus menyebut Diri-Nya sebagai Anak Manusia, karena sebutan Kemanusiaan-Nya inilah yang diterima mereka. Namun Yesus jauh melebihi nabi Yunus. Orang-orang Niniwe bertobat karena pemberitaan Yunus, tetapi orang- orang yang mendengar dan mau percaya, bertobat, karena Ia sendiri jalan keselamatan itu. Kemudian Yesus mengkaitkannya dengan kedatangan ratu Syeba dari ujung bumi untuk melihat keagungan dan kekayaan raja Salomo. Ia jauh melebihi Salomo, karena itu banyak orang dari segala penjuru akan datang kepada-Nya untuk mendapatkan keselamatan daripada-Nya.

Renungkan: Tanda apa pun tidak dibutuhkan bagi orang yang mengeraskan hati kepada kebenaran-Nya. Hanya hati yang mau terbuka yang akan melihat bahwa segala perbuatan Yesus merupakan bukti bahwa Dialah Mesias sejati

Ro_ni 18 Juli 2011

Minggu, 17 Juli 2011

Renungan Hari Minggu Biasa XVI A

dalam sebuah keluarga sering kali kita melihat, sekalipun berasal dari orang tua yang sama, namun perangai dan sifat anak tidaklah sama.ada kalanya ada yang berbudi baik, tapi ada juga yang berbudi buruk.mengapa begitu?bukanlah setiap orang tua akan memberikan pengajaran dan teladan yang baik? di mana perubahan buruk ini? atau lebih jauh, bukankah Allah pencipta semesta menciptakan manusia sungguh amat baik? tetapi mengapa ada kejahatan?
dalam Injil kita mendengar kisah tentang seorang penabur yang menaburkan benih yg baik – benih gandum.Saat semua tdr – dtg musuh: taburkan benih lalang – saat berbulir: nampak jelas bedanya. Ketika hamba2 melapor & minta ijin untu mencabuti – dilarang o/ tuannya: “Jangan, sebab mungkin gandum it ikut tercabut”.Tuan tdk ingin mengorbankan gandum, krn it: “Biarkanlah keduanya tumbuh bersama sampai wktu menuai tiba” – saat it ilalang akan dikumpulkan – diikat – dibakar.

Setelah itu Yesus sendiri yg menerangkan arti perumpamaan it: Penabur : Anak manusia – gelar yg dikenakan pd Yesus. Tuhan menaburkan yg baik ke dunia – atas manusia, tetapi iblis juga menaburkan benih2 yg jahat. Benih kebaikan & kejahatan it tumbuh bersama. Tuhan tdk mencabut benih kejahatan it – tetapi membiarkan tumbuh bersama – agar benih kebaikan tdk ikut tercabut. Inilah misteri A
. BARU pada akhir jaman, Tuhan akan mengutus malaikat2Nya untuk memisahkan yg jahat dr yg baik – melemparkannya ke dlm dapur api, saat akhir jaman inilah orang akan menerima penghakiman. Orang2 yg melakukan kebenaran akan bercahaya spt matahari – (tansfigurasi: kemuliaan)

Perumpamaan mengenai benih lalang yang ditaburkan musuh di ladang gandum menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan gelap/ kejahatan masih tetap membayangi orang-orang yang sudah menerima kehadiran ilahi. Sekaligus ditegaskan bahwa keadaan ini nanti akan berakhir. Satu saat yang gelap akan dipisahkan dari yang terang. Saat org akan dhakimi atas tindakannya. Mungkin orang skr bisa bersorak atas kejahatannya – tp suatu saat nanti ia akan menerima penghakiman.

Bagaimana kita dapat hidup di tengah situasi “peperangan yang baik dan yang jahat ini”? Mari kita belajar beberapa hal:
1.Allah dalam Yesus Kristus atau Anak Manusia senantiasa menabur yang baik untuk tumbuh di dunia agar tercipta kembali taman Eden—situasi yang damai sejahtera (Matius 13:37-38).
2.Kita harus sadar bahwa iblis atau kuasa jahat senantiasa mengganggu, baik melalui penyakit, kenikmatan dunia atau tata hidup yang menekan, (Roma 8:18; 13:1-7. berjaga.
3.Janganlah lemah! Roh Allah yang membangkitkan itu membantu kita di dalam kelemahan kita. Roh Allah, Ialah yang menyampaikan keluhan-keluhan kita yang tak terucapkan dalam doa kepada Allah (Roma 8:26-27). Dan yakinlah: Allah telah bertindak!
4.Fokuslah untuk selalu berbuat baik! Rasul Paulus menasehati jemaat Roma (12:9-21) untuk hidup dalam kasih, meskipun mungkin tidak mendapatkan balasan dari orang lain yang baik (ayat 17-19).

Allah tdk tdr, Allah senantiasa bekerja dan memelihara umat-Nya. Dalam keyakinan itu kita diajak untuk tetap berpikir, berbuat dan berkata-kata yang baik di tengah hal-hal yg tdk baik.

Selamat berjuang dengan Allah dikancah dunia ini. Roh Kudus menyertai.

Ro_ny,
minggu, 17 Juli 2011
SanMar

Sabtu, 16 Juli 2011

Pendidikan :Proses Hominisasi dan Humanisasi Sekaligus

Demikianlah salah satu pandangan Driyarkara tentang pendidikan (Driyarkara: 1980, hal. 80-90). Pendidikan itu membuat manusia semakin manusiawi, yaitu mencapai tingkat hidup yang lebih tinggi (humanisasi).

Setiap kali memasuki bulan Juni dan Juli, maka bisa dipastikan bahwa masyarakat kita akan selalu disibukkan dengan masalah pendidikan, atau lebih tepatnya masalah sekolah. Mulai dari bagaimana memilih sekolah yang berkualitas –yang sesuai dengan “koceknya”- sampai dengan kesibukan untuk mencari segala kelengkapan sekolah, mulai dari seragam sampai dengan buku-buku yang nyaris tiap tahun berganti dan semakin mahal. Bisa kembali dipastikan juga berapa besar tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Tentu saja pengeluaran yang begitu besar ini dibarengi dengan harapan akan pendidikan yang lebih baik bagi putra-putrinya. Namun, kita bisa bertanya dan berefleksi bersama: benarkah para orang tua sudah mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang telah mereka korbankan?

Industrialisasi Pendidikan
Fenomena tersebut ditandai dengan berkembangnya konsep pengelolaan sekolah layaknya sebuah pabrik. Sebenarnya konsep semacam ini sudah ada semenjak pertengahan abad ke 19, bersamaan dengan berkembangnya industri-industri. Ide di balik konsep ini adalah menjadikan sekolah layaknya sebuah pabrik. Sistem kontrol melalui supervisi berkesinambungan atas perilaku dan kinerja sebagaimana terjadi dalam dunia industri, misalnya, lantas dipakai sebagai model bagi administrator sekolah. Siswa menjadi semacam bahan dasar. Guru-guru sebagai semacam teknisinya dengan kurikulum sebagai alat produksinya. Sehingga lantas orientasi seluruhnya adalah kelulusan siswa sebagai hasil produksi yang ingin dicapai. Pelajaran yang tidak menunjang hasil akhir (kelulusan lewat UN) – seperti sejarah, Geografi, Seni, Olah Raga, dan lain-lain – disingkirkan diganti mata pelajaran-mata pelajaran yang keluar dalam UN. Maka tak ayal lagi biaya pendidikan (lebih tepatnya biaya sekolah) dari tahun ke tahun semakin tinggi. Pendidikanpun lantas tidak mengenai, atau bahkan lebih tepatnya tidak mengembangkan, sisi hidup anak didik secara utuh.

Pendidikan: menurut seorang Driyarkara
Ada berbagai macam bentuk dan nama pendidikan, namun pada hakekatnya pendidikan adalah satu, yaitu mengembangkan semua potensi daya manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan jamannya. Dengan kata lain, pendidikan adalah mengembangkan human dignity, yaitu harkat dan martabat manusia, atau humanizing human, yaitu memanusiakan manusia. Proses inilah yang oleh Driyarkara disebuat sebagai proses humanisasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa melalui pendidikan yang diterimanya manusia tidak hanya mengetahui kebutuhan akan makanan sebagai pemenuhan rasa laparnya, akan tetapi ia juga mampu sampai pada bagaimana mengolah makanan (seni memasak), bagaimana mengusahakannya (seni bertanam atau juga berdagang), bagaimana mengembangkan tanaman (teknologi), bahkan juga sampai pada cara bagaimana makan yang baik (etiket makan).

Tiga Tanggapan
Masyarakat kita mengalami gerak globalisasi, masa yang ditandai dengan perkembangan yang pesat dalam bidang teknologi dan informasi. Kemajuan teknologi komunikasi telah membuka batas-batas yang mengisolasi manusia. Lantas lahirlah masyarakat terbuka di mana terjadi aliran bebas informasi, manusia, perdagangan dan aktivitas-aktivitas global lainnya. Muncullah apa yang disebut sebagai kebudayaan global.
Manusia di tengah budaya global ini perlu mempunyai identitas diri yang kuat agar mampu memasuki globalisasi dengan baik. Semua ini menuntut suatu pendidikan yang sesuai, yang mampu mempersiapkan manusia sebagai warga Negara yang punya identitas diri yang kuat sekaligus mempunyai visi global untuk membangun dunia.

Pertama, perlu digagas konsep pendidikan yang sungguh mampu melepaskan diri dari konsep-konsep industrialisasi. Memang sebuah pekerjaan yang berat, karena menyangkut sistem pendidikan nasional kita. Akan tetapi kita bisa memulainya dari sekolah-sekolah katolik yang ada di keuskupan ini. Identitas katolik yang dikenakan sebagai identitas sekolah perlu senantiasa digali dan disadari. Prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas perlu dijalankan lagi. Konsep konsep yang gampang dalam tataran wacana dan pengertian, akan tetapi menjadi susah ketika memasuki ranah praksis, lebih-lebih bila sekolah tersebut telah kuat secara finansial. Perlu di sadari peran sekolah katolik sebagai pusat pembentukan manusia dan dalam tugasnya mewartakan penyelamatan Allah (Gravissimum Educationis).

Kedua, menggagas kembali peran dan fungsi sekolah. Pendidik yang pertama dan utama adalah orang tua (Familiaris Consortio art 36). Sekolah adalah lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, bersifat formal dan tidak kodrati. Disebut demikian karena dalam sebuah keluarga tidak selamanya tersedia kesempatan bagi orang tua untuk terus mendidik anaknya, sehingga orang tua lantas menyerahkan tanggung jawab ini kepada sekolah.

Sekolah harus senantiasa menyadari perannya sebagai lembaga yang bertugas mengembangkan akal budi anak didik (penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi) sekaligus menumbuhkan kemampuan untuk memberi penilaian yang cermat dan meningkatkan kesadaran akan tata nilai (seni, budaya, etika/moral, religi). Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hasil dari buah pikiran manusia, yaitu daya-daya manusia yang mulia. Oleh karena itu perlu dijaga agar ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa mengabdi kesejahteraan manusia sedalam-dalamnya dan tidak di pergunakan untuk merosotkan martabat manusia. Dalam hal ini sekolah-sekolah katolik perlu kembali menggagas ide pastoral sekolah yang selama ini mungkin telah dilupakan.

Ketiga, para guru perlu menjalankan peran mereka sebagai seorang pendidik. Pendidikan adalah sebuah proses pemberian ilmu dan sekaligus juga proses pemberian nilai (nilai hidup). Tugas guru yang semakin berat cenderung memberlakukan prinsip “manusia (guru) untuk kerja” bukan “kerja untuk manusia (guru)”. Aktualisasi diri guru sebagai subyek yang mendidik dan mengajar bisa tertekan. Sebagai seorang pengajar ia dituntut untuk dapat menyampaikan bahan ajar kepada anak sebaik mungkin. Sedangkan sebagai seorang pendidik ia dituntut untuk menjadi motivator, inspirator, korektor atas tingkah laku anak didik. Guru bukan hanya obyek kurikulum, penyampai kurikulum yang berinteraksi secara kaku dan tidak hidup, tetapi dia adalah subyek berpribadi yang mengungkapkan cita rasa, harapan, keprihatinan, dan refleksinya dalam aktivitas mengajar.

Menghadapi globalisasi dan industrialisasi dalam bidang pendidikan dewasa ini, maka masih relevanlah kita kembali merenungkan ide Driyarkara tersebut: pendidikan adalah proses hominisasi sekaligus humanisasi. Karena hal ini tidak hanya berimplikasi kepada guru dan siswa sebagai subjek langsung, tetapi juga sistem pendidikan dan pengelolaan sekolah secara menyeluruh. Semoga pendidikan kita dapat menjadi semakin baik.

Ro_ni

Agama menjadi sebuah tontonan?




“Menjadi orang Katolik itu harus berani menunjukkan identitasnya, walau ia hidup sendirian”, demikian kata Pak Paulus Suwandi Suryo Atmojo, atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Paulus, seorang umat Katolik Paroki St Theresia Pelaihari, yang tinggal di Tanjung Dewa, sekitar 1 jam perjalanan dari Pelaihari arah pantai Batakan. Papan nama “Paulus S S” di pintu masuk dan sebuah topeng raksasa dengan tulisan “Singo Yuda” di bawahnya nampak mencolok serta menjadi ciri tersendiri ketika orang datang ke rumahnya.

Perawakannya boleh dikata kurus dan agak jangkung dengan otot tubuh yang kekar. Gigi sudah mulai ompong termakan usia. Namun sorot matanya sangat tajam, nada bicaranya masih lantang dan berapi-rapi di usianya yang sudah 60 th ini. Lebih-lebih kalau sudah ditanya soal agama dan iman.

Di Tanjung Dewa ini beliau satu-satunya keluarga Katolik. Hidup bersama dengan isteri dan 4 orang anak (dari 5 anak). Pengalaman hidupnya sungguh kaya. Baik yang kelam maupun yang telah mendapat pencerahan. Hampir seluruh pulau di Nusantara ini pernah dia tempati. Di tempatnya yang sekarang ia hidup dengan mengandalkan menggarap tanah yang tidak luas juga. “Berilah rejeki kami hari ini. Kalau dikasih Tuhan banyak, kami ya makan enak. Kalau tidak, kami ya prihatin. Yang penting anak-anak bisa lebih enak,” demikian katanya.

Pada tanggal 9 Februari yang lalu, bersama dengan anggota legio saya berkunjung ke sana. Seperti biasa kami disambut dengan ramah. Kebetulan waktu itu bapak lagi kerja di kebun, padahal sudah sekitar jam 17.300 WITA. Tidak selang berapa lama beliau sudah pulang, karena dijemput anaknya yang paling kecil.

Dengan duduk di atas tikar, kami lantas sudah terlibat dalam percakapan yang hangat. Mulai dari soal pertanian, mendidik anak, sampai dengan soal iman. Pembicaraan memang selalu menarik dan hangat. Ini adalah kedatangan saya yang ketiga.

Agama: antara Tuntunan dan Tontonan

“Dunia sekarang ini sudah kebalik Romo,”katanya.
“Kalau dulu agama itu menjadi tuntunan dan sinetron itu menjadi tontonan, sekarang ini dibalik. Agama menjadi tontonan, sedangkan sinetron menjadi tuntunan,” lanjutnya, yang disambut dengan gelak tawa spontan kami.
“Lihat saja. Di tv itu, orang rame-rame merusak atas nama agama. Jadi tontonan banyak orang. Menarik. Disiarkan berkali-kali. Agama tidak lagi menjadi tuntunan umatnya. Bagaimana menjadi tuntunan kalau yang terjadi adalah perusakan, penindasan, bahkan pembunuhan? Sedangkan sinetron, yang sebenarnya adalah tontonan, sekarang malah menjadi tuntunan. Berapa banyak orang saja yang lebih suka melihat sinetron/ tv dari pada ke Gereja, atau doa? Berapa orang saja yang bahkan juga meniru gaya hidup orang-orang yang ada dalam sinetron?”

Betul juga kata saya dalam hati. Betapa gampang anak-anak kecil sekarang bicara, “Menurut kata Bapak TB ….”, meniru salah satu dialog dalam sinetron, daripada mereka mengatakan, “Puji TUhan”. Orang juga tahan berjam-jam di depan televisi dari pada duduk tenang satu jam mengikuti Misa. Atau 20 menit mendoakan rosario. Atau 10-15 menit mendengarkan kotbah pastor. Lantas bagaimana?

Agama merupakan the way of life. Jalan hidup. Kata Yesus: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup…” (cf Yoh 14:6). Agama memberikan tuntunan dalam hidup. Agama, khususnya Gereja (umat Allah), dipanggil untuk memberikan corak manusiawi dan krisitiani kepada dunia (cf Paus Yohanes XXIII, MM no 256).

Panggilan Gereja (Umat Kristiani) untuk memberikan warna manusiawi dan kristiani inilah yang kalau dalam Injil dikatakan sebagai: “Kamu adalah terang dunia”, “Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13-14). Hidup kita sendiri inilah sebenarnya sarana bersaksi yang paling efektif. Kita telah diselamatkan oleh Kristus, kita juga dipanggilnya untuk ambil bagian dalam penyelesaian karyanya bagi keselamatan dunia. Kita tidak boleh menyembunyikan diri di tempat yang aman, jauh dari keramaian dunia. Bukankah pelita harus diletakkan di kaki dian, bukan di bawah gantang? Bukankah terangmu hendaknya bercahaya di depan semua orang sehingga mereka dapat memuliakan Bapamu yang ada di surga?

Kembali belajar dari seorang Pak Paulus. Kesaksian dirinya berangkat dari keberaniannya untuk mengakui di depan masyarakat bahwa dia adalah seorang katolik, bukan kristen “saja”. Pemasangan nama “Paulus” di pintu rumah. Pemasangan patung Yesus dan salib, serta gambar Maria dan Hati Kudus Yesus di dalam ruang tamu, menjadi sebuah tanda. Mungkin terasa sederhana. Atau mungkin dipandang dangkal. “Yah…itukan sangat artificial,” mungkin demikian penilaian sementara orang. Tapi bukankah dengan hal-hal yang sederhana dan “kecil” itu iman kita diungkapkan? Ditandai? Bukankah St Theresia dari Kanak-Kanak Yesus juga menunjukkan kepada kita bahwa jalan kekudusan itu juga melalui hal-hal yang kecil dan sederhana? Betapa sering orang membuat tanda salib saja malu atau malah takut ketika makan di warung. Memasang salib di rumahnya sendiri saja juga takut, takut tidak ada yang bertamu.

Keberanian untuk memberi kesaksian, sekecil apapun, kiranya lahir dari pribadi yang sungguh-sungguh menjadikan Agama sebagai sebuah tuntunan, bukan tontonan. Ketika kita membangun hidup dengan doa, tobat, sabda, Ekaristi, kita menjadikan Agama kita sebagai tuntunan. Tapi ketika kita bengong saja di Gereja, membiarkan Kitab Suci di rak buku, menghabiskan waktu dengan kesibukan, maka kita menjadikan Agama sebagai sebuah tontonan saja.

Selamat berjuang Pak Paulus. Terimakasih atas pelajaran kehidupannya. Dan juga kepada “Pak Paulus-Paulus” yang lain. Yang hidup jauh dari komunitas, dari Paroki, sendiri di tengah umat agama lain. Terimakasih atas kesetiaan iman Anda-Anda semua. Anda-Anda inilah pelita-pelita Kristus yang telah Tuhan sendiri sebarkan ke ujung-ujung bumi. Senantiasalah tetaplah bernyala. Biarlah kemuliaan Allah semakin dinampakkan di muka bumi ini.

“Bekerjalah bagi Yesus dan Yesus akan bekerja bersamamu. Berdoalah dengan Yesus, dan Yesus akan berdoa melaluimu.” (Beata Teresa dari Kalkuta)



Dipersembahkan bagi Saudara/I kita yang hidup jauh dari komunitas dan tetap setia kepada Kristus.
(Ro_ny)

Membangun Iman Keluarga: Membangun Iman Gereja Universal



Ada ungkapan bijak yang mengatakan, “Kalau engkau mau mengubah dunia, ubahlah dirimu sendiri dulu.” Atau dengan ungkapan yang lain, dalam Kitab Suci dikatakan, “… engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25:21). Atau juga seorang kudus, St Theresia dari Kanak-Kanak Yesus, mengajarkan tentang “Jalan Kecil”. Hal-hal sederhana sehari-hari sebagai jalan menuju kekudusan diri. Semuanya bagi saya menyiratkan satu hal yang sama, bahwa segala hal yang besar dibangun dari hal-hal yang kecil.

Hakekat Keluarga (Katolik)
Allah telah menciptakan manusia sejak awal mula (Kej 1) karena cintaNya yang mahabesar. Cinta Allah yang besar itu juga memanggil setiap manusia untuk membagikannya kepada sesama manusia dan segala makhluk. Sebuah bahtera keluarga merupakan wujud konkret dari persekutuan cinta antara dua pribadi, pria dan wanita, yang saling mau memberikan diri seumur hidup. Hidup mereka diikat oleh apa yang dinamakan ikatan perkawinan.

Perkawinan Katolik, sebagai sebuah dasar yang membangun suatu keluarga Katolik mempunyai sesuatu yang khas. Dalam KHK (Kitab Hukum Kanonik) 1983 Kanon 1055 dikatakan: “Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perkawinan itu terarah pada kesejahteraan suami isteri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen”.

Cinta Kristus sendiri yang menjadi dasar suatu perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Dalam sebuah keluarga Katolik, cinta Kristus itu nampak dari cinta antara suami isteri dan anggota keluarga yang dibangun secara timbal balik, total, maupun juga menyeluruh.

Dalam membangun hidup berkeluarga, keluarga-keluarga Katolik harus sungguh-sungguh berusaha memberi kesaksian hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah. Keluarga-keluarga hendaknya menciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan berkurban (bdk. FC 47).

Keluarga Katolik sebagai sebuah “Domus Ecclesiae”
Sebagai sebuah persekutuan orang-orang beriman yang hidup serumah, keluarga-keluarga Katolik sebenarnya kembali menghadirkan kelompok umat seperti itu yang sudah ada dan berkembang sejak abad-abad pertama dan pada masa penganiayaan. Mereka selalu berkumpul di rumah-rumah keluarga dan menyebut dirinya “Umat Baru” (Rom 16:5, 1Kor 16:19, Kol 4:15).

Setiap keluarga Katolik adalah Gereja yang hidup, karena Kristus berada di tengah-tengah mereka, ketika mereka makan bersama, berdoa dan berusaha menyesuaikan hidup mereka dengan kehendakNya. Iman Katolik dengan segala keutamaannya ditanam dalam hati putra-putri melalui kebiasaan-kebiasaan yang berlangsung dalam keluarga (doa bersama, perayaan ekaristi, makan bersama, memasang salib dan gambar orang kudus, pembicaraan-pembicaan, bantuan-bantuan bagi yang memerlukan).

Dalam dokumen “Familiaris Consortio”, Paus Yohanes Paulus II sangat menekankan pentingnya “Gereja Rumah Tangga” ini.

Iman Keluarga, Basis Iman Gereja Universal
Sebagai sebuah “Gereja”, maka keluarga-keluarga Katolik dipanggil untuk memperhatikan dan meningkatkan mutu iman di tengah keluarga. Peningkatan mutu iman keluarga ini bisa diraih dengan senantiasa menyadari hakekat perkawinan Katolik, membangun kesatuan antar pribadi, menghormati dan mengabdi kepada kehidupan, menciptakan suatu suasana kerasan “at home”.

Di dalam keluarga Katolik hendaknya juga ditanamkan dan ditumbuhkan semangat misioner Gereja. Orang tua wajib membangun semangat berdoa anak sejak dini dan membangun jalinan hati dengan Allah dalam doa-doa bersama, misalnya di meja makan maupun doa malam. Semangat mewartakan Injil juga perlu mulai ditumbuhkan sejak di keluarga. Dengan membiasakan mereka mendengarkan, membaca maupun berdoa melalui Kitab Suci.

Keluarga merupakan sekolah dan tempat pendidikan dasar yang paling utama. Di tengah-tengah keluarga anak-anak diajari disiplin diri, ketekunan serta ketabahan dan tanggung jawab, nilai-nilai keadilan dan kejujuran, sikap toleransi dan saling menolong, dan lain sebagainya. Pada dasarnya keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pendidikan dan penanaman nilai-nilai kehidupan. Sedangkan pendidikan di rumah itu akan menjadi lebih bernilai ketika dibarengi dengan teladan orang tua. Ada pepatah Latin yang mengatakan: “verba movent, exempla trabunt”, kata-kata mendorong dan teladan menarik.

Akhirnya, dengan membangun iman di tengah keluarga, maka kitapun sudah turut serta membangun wajah iman Gereja Universal. Laksana sel-sel kehidupan yang membangun sebuah organisme hidup, maka keluarga-keluarga Katolik itu juga laksana sel-sel iman yang membangun Gereja. Mulailah membangun iman putra-putri di tengah keluarga anda, maka anda akan telah turut serta membangun wajah Gereja masa depan.