Minggu, 28 Agustus 2011

Renungan Hari Minggu Biasa XXIIA

Yesus & Petrus

Suatu ketika ponakan saya dengan begitu polosnya berkata demikian kepada mamahnya, "Mah...mamah itu sudah tua, tapi kenapa tidak mati-mati ya?" Sebuah pertanyaan yang tentu saja membuat kaget mamahnya, dan juga setiap ibu yang mendengar kata yang serupa dari anaknya. Marah...bisa saja. Mangkel...tentu saja. Tapi, sebagai orang dewasa kita juga bisa mencoba memahami kata-kata anak kecil tersebut. Dia sebenarnya tidak bermaksut jahat, apalagi sampai berharap bahwa mamahnya agar segera mati. Namun kalimat itu diungkapkan karena memang pemahamannya yang hanay sampai di situ. Pemahamannya yang hanya sampai pada pengertian bahwa orang yang tua, akan mati. Titik, Tidak lebih dan tidak kurang. Batasan pemahaman membuat maksut dan arti ungkapan anak itu dipahami secara berbeda.

Hal yang kurang lebih mirip juga dialami oleh para murid dalam kisah Injil hari ini. Para murid merasa tidak bisa menerima, ketika Yesus menyampaikan bahwa diriNya akan menderita, mengalami penganiayaan. Para murid berpikir, bagaimana hal itu terjadi, karena Yesus bagi mereka adalah sosok yang datang untuk membawa pembebasan. Masak sang pembebas itu malah akan menderita, dianiaya, 'dikalahkan', bahkan sampai menemui ajal? Pikiran para murid tidak sampai pada apa yang Yesus kehendaki. Pada apa yang Tuhan telah rencanakan.

Reaksi yang sangat keras muncul dari sosok murid yang bernama Petrus. Dalam beberapa kesempatakan memang Petrus hadir sebagai sosok yang spontan, sedikit reaktif. Petrus diceritakan segera menarik Yesus ke samping dan berkata, "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau!"

Namun jawaban Yesus kiranya juga tidak kalah keras, Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus, "Enyahlah iblis! Engkau suatu batu sandungan bagiKu, sebab engkau memikirkan bukan yang dipikirkan Allah, melainkan yang dipikirkan manusia."  Perkataan Yesus memang terasa keras. Tapi, perkataan Yesus selanjutnya menjelaskan mengapa Yesus menegur Petrus begitu kerasnya. Petrus ditegur karena ia menghalangi kehendak Allah. Ia ditegur karena tidak mendengar kehendak Allah, ia menuruti apa yang dipikirkan oleh manusia. Ia mau lebih tahu dari pada Allah sendiri. Sikap-sikap seperti inilah yang seringkali diperbuat oleh iblis.

Selanjutnya Yesus lantas mengajar para murid, apa syarat untuk dapat mengikutiNya. Untuk dapat mengikutiNya, orang harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan kehilangan nyawanya.

Injil hari ini berbicara tentang misteri penderitaan Kristus dan maknanya bagi kita. Salib yang telah Yesus pikul menjadi tanda penolakan yang radikal dari kekuasaan politik dan agama (Yesus mati di tangan bangsa Yahudi dan ahli-ahli Taurat). Salib adalah tanda kemauan untuk mengabdi, memberikan diri, sekaligus juga penolakan atas segala macam egoisme. Egoisme memikirkan diri sendiri, salib mengajak kita untuk memiliki sikap altruis, memikirkan - peduli pada orang lain.

Kita mengikuti Yesus Kristus yang ditolak (salib itu merupakan tanda penolakan). Kita tahu dan dapat merasakan bagaimana jika kita mengikuti, hidup bersama dengan mereka yang ditolak itu. Kita mungkin (atau pasti lebih sering) akan ikut ditolak, atau setidak-tidaknya disingkiri. Namun, kita juga perlu membuka mata bahwa salib telah menjadi tanda yang mengubah dunia. Lihatlah para martir, yang rela memberikan nyawa demi Kristus. Theresia dari Kalkuta yang memberikan seluruh hidupnya untuk orang miskin. Petrus yang bertobat setelah perjumpanan denga Yesus.

Protes Petrus mungkin juga menjadi protes kita bersama. Ketidak mengertian Petrus, mungkin juga menjadi ketidak mengertian kita. Mungkin Tuhan juga akan menegur kita dengan keras. Tapi syukur kepada Allah karena kita hari ini sekali lagi mendengar injil ini, sehingga kita masih dapat bertobat. AMIN.

Selamat hari minggu
Tuhan memberkati.

Sabtu, 27 Agustus 2011

nenek...

memandang ke luar kamar
beberapa bulan yang lalu, aku bersama dengan 2 orang teman berkunjung ke sebuah rumah. ketika mobil berhenti di depan sebuah pagar rumah, yang nampak adalah bahwa pagar itu tertutup, dan pintu terkunci. sepi. sepertinya rumah kosong. tidak ada tanda-tanda kehidupan.

temanku segera turun dari mobil. membuka pagar. nampak sekali kalau dia sudah cukup akrap dengan rumah ini. sejenak kemudian dia mengambil kunci pintu dari suatu tempat, dan membukanya serta masuk ke dalam. memang benar-benar sepi. tidak terlihat maupun terdengar suara seorangpun. nampak ada beberapa kamar, namun pintu juga tertutup rapat. temanku lantas teriak memanggil sebuah nama. bergegas ia menuju ke pintu sebuah kamar dan membukanya. ketika dibuka, nampak sesosok tubuh wanita yang sudah renta terbaring di tempat tidur. sendirian. bertemankan seonggok buku-buku tua di samping tenpat tidurnya. di atas kasur yang ditempatinya.

ketika kami masuk, dia nampaknya tidak bergeming, namun matanya segera terbuka. wajah penuh tanda tanya nampak jelas pada mimiknya. bibirnya mulai bergetar, nampak hendak mengatakan sesuatu. tak lama terdengar suara yang keluar dari bibir renta itu, "Siapa ya?".

temanku lantas dengan sedikit berteriak menyebutkan namanya di telinga nenek itu. namun, rasa ragu dan bingung terlihat masih nampak jelas di mimiknya yang keriput.

tidak dikenal, tidak masalah. demikian akhirnya kesimpulan kami semua. yang jelas niat kami baik. setelah lama ngobrol, baru nenek itu menjadi ingat, siapa kami. nampak wajahnya berubah menjadi ceria. dia lantas bercerita banyak sekali tentang keluarganya, tentang karya-karyanya jaman dulu. dia juga lantas menunjukkan surat-surat yang pernah dikirim oleh kerabatnya. foto-foto masa lampau juga ditunjukkannya kepada kami.

suatu saat kemudian dia berkata demikian, "Kalau boleh, saya pengen makan semangka. rasanya segar. sedikit saja." hati kami tersentak karena iba. teman saya lantas pamitan ke luar sebentar untuk mencari semangka. ternyata tidak gampang juga mendapatkan semangka waktu itu. setelah sekian lama, akhirnya semangka itu datang juga.

segera kami mencari pisau. tapi tidak kunjung ketemu juga.yah...terpaksa harus cari pinjaman.setelah mendapatkan pisau pinjaman, semangka segera kami belah, dan kami antar ke nenek itu sebagian untuk dimakannya. ia nampak begitu lahapnya. begitu menikmatinya. dalam hati aku sungguh teriris. membayangkan berapa lama nenek telah memendam rasa ingin makan semangkanya ini. berapa lama dia harus menanti seseorang datang dan bisa membawakannya sepotong semangka yang telah di inggini sekian lama. secuil semangka rasanya telah mampu mengobati kerinduannya ini

selesai memakan sepotong semangka, dia minta agar yang lain disimpannya di kulkas. katanya buat anak kecil anak ibu penjaga yang merawatnya. Ya Tuhan...di tengah keterbatasannya, di tengah ketidak berdayaannya...ketika apa yang dia inginkan sekian lama terpenuhi, dia masih ingat orang lain. betapa dia tidak mementingkan dirinya sendiri...betapa masih ada perhatian yang dia sisakan buat orang lain....mungkin inilah sekeping uang yang janda miskin berikan dalam kotak persembahan jaman Yesus waktu itu?

hari itu aku sungguh belajar banyak dari nenek itu. bagaimana ia mampu bertahan dalam pengharapannya, di tengah ketidak berdayaan yang harus dia hadapi. bagaimana dia bisa mensyukuri hal kecil yang telah dia terima. bagaimana nenek itu masih mampu 'membagi' apa yang diterimanya. ingat orang lain saat apa yang ia harapkan telah didapatnya. mampu membagi apa yang dia miliki, bahkan hal yang paling dia inginkan selama ini. TUHAN jagalah nenek itu. Temanilah dia dalam kesendiriannya. Biarlah kasihMu senantiasa memenuhi hatinya. Menghangatkan jiwanya. Nenek, doakanlah kami anak-anakmu ini.

Minggu, 21 Agustus 2011

Hari Minggu Biasa XXI A

Yesus di Kaisare

Ada seorang pastor yang bertanya kepada umatnya, "Menurut kalian, siapakah saya?" Umat berebut menjawab, "Pastor itu ganteng orangnya, selalu rapi berpakaian, kalau bicara santun." Karena belum puas dengan jawaban itu, lantas sang Pastor bertanya kepada kosternya hal yang sama. Sang koster lantas menjawab, "Pastor itu  tidak bisa makan yang pedas-pedas, kalu membuat kopi, gulanya 1 sendok kecil, waktu tidur siang tidak bisa diganggu." Koster itu mengenal pastor lebih mendalam. Lebih mendalam karena ia hidup bersama pastor itu. Ia tinggal bersama, menjumpainya setiap hari.

Injil kari ini mengisahkan bagaimana ketika di Kaisarea Yesus bertanya kepada para murid, "Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?" Dengan kata lain, Yesus mau mengatakan, siapakah Aku menurut orang-orang? Para murid lantas menjawab, "Ada yang mengatakan Yohanes Pembaptis, ada yang mengatakan Elia, ada yang mengatakan salah seorang dari nabi yang lain." Mereka ini adalah tokoh-tokoh besar, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Tapi, mereka hanya memiliki jabatan kemanusiaan, karena mereka hanyalah seorang nabi, tidak lebih. Dengan menyamakan Yesus dengan mereka, berarti orang-orang belum mengenal Yesus, karena mereka tidak mampu menangkap status illahi Yesus. Karena itu Yesus sekali lagi bertanya kepada mereka, "Menurut kamu, siapakah Anak manusia itu?" Yesus tidak lagi bertanya berdasarkan pendapat orang, tapi berdasarkan pendapat mereka sendiri. berdasarkan pengenalan mereka sendiri. Simon Petrus bereaksi begitu cepat, "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup." Jawaban Petrus inilah yang ungkapkan keillahian Yesus.

Melalui Injil ini Yesus menghendaki agar pengenalan kita akan Dia lahir dari sebuah pengenalan pribadi. Bukan kata orang. Bukan berdasarkan perbuatan Yesus terhadap orang lain. Tapi yang lahir dari pengalaman pribadi kita denganNya. Karena kita sendiri mengalami hidup bersama Dia. Yesus menghendaki pengakuan yang bukan sekedar berasal dari pengetahuan saja, tetapi pengakuan yang lahir dari hubungan  pribadi kita dengan Yesus.

Pengenalan mempengaruhi jenis kita berelasi atau bersikap. Saat kita mengenal orang lain sebagai pemarah, maka kita akan cenderung menjauh, menghindar darinya. saat kita mengenal seseorang sebagai pribadi yang hangat, ramah, maka kita akan merasa nyaman dekat dengannya. Saat kita mengenal Tuhan sebagai yang mencintai kita terlebih dahulu, maka kita akan melakukan banyak hal sebagai ungkapan cinta kita pada Tuhan. hari ini kita disadarkan bahwa semakin sering kita berelasi: dalam doa, ekaristis, dalam sakramen tobat, melalui sabdaNya; maka semakin dalam kita mengenalNya. Tuhan memberkati anda. Selamat berhari Minggu.

Minggu, 14 Agustus 2011

SINODE KEUSKUPAN BANJARMASIN



Pada tanggal 19 Oktober 1938 yang lalu Prefektur Apostolik Banjarmasin didirikan. Hal ini menandakan sebuah pengakuannya sebagai sebuah Gereja Katolik Partikular yang mandiri. Maka, nanti pada tahun 2013, Keuskupan Banjarmasin akan merayakan 75 tahun sebagai Gereja Partikular yang mandiri. Untuk menyambut 75 tahun berdirinya Prefektur Apostolik Banjarmasin, kita bersama akan mengadakan Sinode Keuskupan.

Apa artinya Sinode?
Kata "sinode" berasal dari kata Yunani συνοδος yang berasal dari kata συν (sun=bersama-sama) dan üδος (hodos = jalan) yang berarti "berjalan bersama". Dengan demikian, kata "sinode" juga berarti "persidangan" atau "pertemuan" yang menekankan kebersamaan. Kata ini sinonim dengan kata Latin concilium - "konsili".

Sinode Keuskupan adalah sebuah persidangan (pertemuan) yang tidak permanen dari para rohaniwan dan awam dari suatu Gereja di wilayah tertentu, yang diundang oleh Uskup diosesan sebagai suatu dewan penasihat tentang masalah-masalah pastoral dan legislatif. Hanya seorang Uskup (Uskup diosesan) yang mempunyai hak suara deliberatif, yang memiliki kewenangan untuk memutuskan kebijakan pastoral dan legislatif. Para anggota lain dari sinode keuskupan, termasuk para uskup pembantu yang hadir, hanya bertindak sebagai penasihat (hak suara konsultatif), sementara segala keputusan untuk mengeluarkan keputusan hukum diserahkan kepada Uskup diosesan (bdk. KHK Kan 466).

Siapa yang mengundang Sinode Keuskupan?
Sinode Keuskupan terjadi oleh karena Uskup diosesan yang mengundang, memanggil umat untuk mengadakan sinode. Dan tidak pernah diperkenankan terjadi oleh pimpinan sementara keuskupan seperti administrator diosesan (bdk. Kan 462, § 1). Akan tetapi Uskup diosesan jika berhalangan dapat memberi delegasi kepada Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal untuk memenuhi tugas itu (bdk. Kan. 462, § 2).

Siapa saja yang diundang dalam Sinode Keuskupan Banjarmasin?
Mereka yang diundang mengambil bagian dalam Sinode Keuskupan Banjarmasin adalah (bdk. Kan 463):
1.      Uskup Auksilier
2.      Vikaris Jenderal
3.      Para Kanonik Gereja Katedral
4.      Para anggota dewan Imam
5.      Orang beriman Kristiani awam
a.       Wakil tiap paroki
b.      Anggota tarekat hidup bakti
6.      Rektor Seminari
7.      Para Deken
a.       Imam dari setiap dekenat
8.      Pemimpin tarekat religius
a.       Pemimpin Serikat hidup kerasulan
9.      Wakil dari kelompok kategorial gerejawi maupun sosial kemasyarakatan (Ormas Katolik), beberapa pejabat pemerintahan sebagai pengamat, anggota Gereja atau komunitas gerejawi yang tidak berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik.
a.       PMKRI
b.      WKRI
c.       Dll.

Apa tujuan diadakan Sinode Keuskupan Banjarmasin?
Tujuan dari diadakan Sinode Keuskupan Banjarmasin adalah membantu Uskup diosesan dalam mengambil kebijakan pastoral demi kesejahteraan seluruh komunitas diosesan. Kebijakan pastoral meliputi rencana strategis pastoral dan rencana aksi yang jelas, bertahap dan terukur, efektif dan efisien dalam pelaksanaannya sesuai dengan Visi dan Misi keuskupan yang telah ditetapkan dalam Sinode (bdk. Kan 460). Semua masalah yang diajukan hendaknya diserahkan kepada pembahasan bebas para anggota sidang Sinode, namun hanya Uskup diosesanlah satu-satunya legislator dalam Sinode tersebut (bdk. Kan. 466).

TAHAPAN SINODE KITA
PRA-SINODE
Beberapa proses yang  terjadi dalam tahap ini adalah:

Pertama, reqruitment dan kepastian personalia untuk SC dan OC dengan kejelasan kompetensi dan kapasitas masing-masing sesuai kebutuhan bidang garapan dan pekerjaan yang ada dan dibutuhkan. Kelengkapan personalia dipertegas dan dibantu dengan penyusunan jobdis.

Kedua, ada Tim yang menyiapkan “DATA” Konteks Keuskupan Banjarmasin lengkap dengan analisis yang mengarah pada paparan rekomendasi. Data ini diperoleh dengan menyebarkan quisioner ke seluruh umat Katokik yang ada di Keuskupan Banjarmasin. Karena harus memetakan seluruh konteks Keuskupan Banjarmasin maka juga dibutukan support informasi dari seluruh pihak di Keuskupan selain dari Lembaga atau instansi di luar Gereja. Umat diminta peran sertanya untuk mengisi dan mengembalikan quisioner yang telah diedarkan. Mekanisme pembagian quisioner akan memakai jalur Paroki dan Komunitas maupunn juga Kategorial.

Ketiga, karena rancangan outputnya adalah arah dasar untuk 10 tahun ke depan maka dibutuhkan Tim khusus (Tim Perumus) yang akan membentangkan potret Keuskupan Banjarmasin 10 tahun yang akan datang.

Keempat, hasil “Data” yang telah diolah lantas dipetakan tiap paroki sebagai bahan Pra Sinode tingkat Paroki. Diharapkan tiap Paroki mengadakan proses Pra Sinode untuk mendapatkan gambaran Gereja mendatang. Jadi dalam tahap ini umat di masing-masing Paroki akan bergelut dengan data yang telah dihasilkan melalui quisioner yang telah disebar di Parokinya dan telah “dirumuskan” oleh team. Dari sini diharapkan muncul harapan-harapan apa akan potret Gereja kita sekarang serta potret Gereja kita ke depannya. Hasil dari Pra Sinode tingkat Paroki ini akan dibawa sebagai bahan Sidang Sinode nantinya.

SIDANG SINODE

Akan ada beberapa hari Sidang, dengan mengahadirkan peserta seperti yang telah diuraikan di atas. Dalam hari-hari sidang itu akan ditampilkan Peta dan Konteks Keuskupan Banjarmasin berdasarkan hasil rekap quisioner yang telah diedarkan maupun juga dari hasil ber- Pra Sinode di tingkat Paroki yang telah dijalankan.

Dari wajah Keuskupan yang didapat, Sidang akan membahas Arah Dasar (Ardas) Keuskupan 10 tahun ke depan. Ardas akan memberi arah kemana Keuskupan ini akan dibawa. Wajah Gereja seperti apa yang akan ditampilkan.

Hasil Ardas akan dilengkapi pula dengan rancangan Rencana Strategis tiap tahunnya sebagai penjabaran Ardas.

Hasil Sidang ini akan diserahkan kepada Uskup diosesan sebagai bahan untuk ditetapkan sebagai Ardas Keuskupan, yang akan mengungkapkan Visi – Misi Keuskupan ini, karena hanya Uskup diosesanlah yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan (lih. KHK Kan 466)

PASCA SINODE
Akhir Sinode Keuskupan
Pada akhir Sinode Uskup Diosesan akan menyampaikan hasil keputusan (dekret) Sinode kepada Uskup metropolit dan juga kepada Konferensi para Uskup (bdk. Kan. 467).

Sinode tidak berakhir dengan Sidang tersebut. Kehidupan Sinodal tetap berjalan. Karena itu pasca Sidang Sinode perlu diangkat Tim yang mengawal arah dasar. Perlu juga diagendakan RAKER membreak down dari arah dasar menjadi program beserta dengan segala instrumennya (Time schedule, finance, PIC, dll.).

Akhir Kata
Sinode merupakan “pekerjaan” kita bersama sebagai umat beriman yang hidup di Keuskupan ini. Sebagai sebuah karya bersama, maka peran serta seluruh umat sungguh menentukan: entah dengan sunggguh-sungguh terlibat mengisi quisioner, terlibat dalam kepanitiaan, dukungan pemikiran, financial, maupun dukungan-dukungan lainnya. Ini semua diperlukan demi terciptanya sebuah arah dasar bersama bagi karya penggembambalaan di Keuskupan ini. Kebersatuan, kesehatian, keterbukaan pada Roh, seperti yang dihidupi oleh Gereja Perdana perlu senantiasa menjiwai seluruh proses Sinode ini. Selamat bersinode.

Bahan:
Alur Sinode yang digagas oleh SC dan pendapat pribadi.
Mo_ni, Pr
dibuat untuk BUPAR

Sabtu, 13 Agustus 2011

Surat Gembala Mgr Petrus Boddeng Timang Uskup Keuskupan Banjarmasin Dalam rangka mempersiapkan dan menyambut Sinode Keuskupan.



Dibacakan pada waktu Perayaan Ekaristi Hari Minggu, tanggal 14 Agustus 2011, di seluruh Gereja Katolik Keuskupan Banjarmasin.


Surat Gembala Mgr Petrus Boddeng Timang Uskup Keuskupan Banjarmasin
Dalam rangka mempersiapkan dan menyambut Sinode Keuskupan.

Para Pastor, Frater, Suster serta Saudara-saudari yang terkasih,

Pada tanggal 19 Oktober 1938 yang lalu Prefektur Apostolik Banjarmasin didirikan. Hal ini menandakan sebuah pengakuannya sebagai sebuah Gereja Katolik Partikular yang mandiri. Maka, nanti pada tahun 2013, Keuskupan Banjarmasin akan merayakan 75 tahun sebagai Gereja Partikular yang mandiri. Usia ke 75 tahun bukanlah usia yang pendek, karena itu inilah saat yang istimewa bagi kita untuk kita rayakan dan menjadikannya sebagai momen untuk merefleksikan perjalanan hidup menggereja kita.

Untuk menyambut 75 tahun berdirinya Prefektur Apostolik Banjarmasin, kita bersama akan mengadakan Sinode Keuskupan. Senode keuskupan adalah himpunan imam-imam dan orang-orang beriman kristiani yang terpilih dari Gereja partikular, untuk membantu Uskup diosesan demi kesejahteraan seluruh komunitas diosesan (KHK kan 469). Ini merupakan kesempatan yang baik untuk melihat dan merefleksikan kembali seluruh kehidupan Gereja di keuskupan kita ini dalam keunggulan dan kelemahannya serta dalam kontribusinya untuk membangun kesejahteraan umum. Setelah itu kita akan mengambil satu tekad yang menjadi arah dasar pastoral yang jelas bagi Keuskupan Banjarmasin dan menjadi derap langkah semua pihak di Keuskupan ini.

Sinode Keuskupan akan dilalui dalam beberapa kegiatan yang meliputi tahap Pra-Sinode, Sidang Sinode, dan Pasca-Sinode. Tahapan Pra-Sinode akan diawali dengan penyebaran angket yang berisi data dan quisioner ke seluruh umat. Data dari quisioner ini akan membantu kita untuk melihat gambaran wajah Keuskupan kita. Gambaran ini nantinya akan diolah dan akan dikembalikan ke Paroki sebagai bahan ber-Sinode pada tingkat Paroki dan pada akhirnya berpuncak pada Sidang Sinode KeuskupanHasil dari refleksi bersama ini akan menjadi arah dasar hidup menggereja kita.

Sinode adalah sebuah perayaan iman umat, karena itu keterlibatan seluruh umat sungguh diharapkan. Kami mengimbau para imam, biarawan-biarawati dan segenap umat beriman di Keuskupan Banjarmasin, agar berdoa bagi keberlangsungan dan kesuksesan sinode ini, dan terlibat secara aktif mengikuti segala kegiatan dan proses dalam perencanaan dan pelaksanaan sinode ini.

Mari kita meneladan jiwa dan semangat hidup Gereja Perdana. “Dengan bertekun dan sehati mereka berkumpul” (Kis 2:46). Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan” (Kis 2:42). Ketekunan, kesehatian, dan persekutuan kiranya menjadi jiwa kita semua di dalam bersinode. Kita ingin meneladan Gereja perdana yang bertekun dalam pengajaran, merenungkan bersama, berdoa bersama, dan melaksanakannya bersama. Dalam kesadaran bahwa kita adalah satu persekutuan, kita akan berproses bersama dengan satu hati dan satu tubuh (1Kor 10:17).

Akhirnya, bersama Bunda Maria yang hari ini kita rayakan bersama, kita berseru, “Bicaralah ya Tuhan, hambaMu mendengarkan”. Semoga di dalam berproses bersama ini kita sungguh menghadirkan Gereja yang mendengarkan, sehingga pada akhirnya nanti kita dapat menghadirkan Gereja yang sungguh menjadi kota di atas gunung dan cahaya di atas kaki dian bagi dunianya (Mat 5:13).

Selamat bersinode, Tuhan memberkati.



Banjarmasin, 14 Agustus 2011
Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke Surga


Mgr Petrus Boddeng Timang
Uskup Keuskupan Banjarmasin

Iman: Menjadi senantiasa lebih berakar dalam Yesus Kristus, “Sumber dan Model segala Kasih”



Musyawarah Umum dalam “Sirkuler 2 Februari 2011” mengambil tema “Iman” sebagai jalan refleksi bersama untuk persiapan kaul. Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap dirinya, manusia menyetujui Allah berkarya dalam hidupnya.

Karena iman, Abraham taat ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri asing yang akan menjadi milik pusakanya (cf. Kej 12:1-4). Karena iman, Abraham tinggal di negeri asing itu (cf. Kej 23:4). Karena iman, Sara mengandung seorang putera yang dijanjikan. Karena beriman, maka Abraham mempersembahkan puteranya yang tunggal (cf. Ibr 11:7). Iman menjadikan Maria menerima dan menjalani kehendak Allah dalam hidupnya (cf. Luk 1:38). Abraham dan Maria (si samping juga Yesus tentu saja) adalah dua tokoh di dalam Kitab Suci yang ditampilkan sebagai contoh ketaatan iman. Mereka telah mewujudnyatakan definisi iman yang diajukan oleh surat Ibrani: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1).

Bagi St Vinsensius, iman telah membuat ia membaktikan dirinya bagi orang-orang miskin. Iman itu mengubah hidupnya, memberi daya pada tindakannya, dan memberi energi yang tidak pernah habis (cf. 15 Days of Prayer with Saint Vincent de Paul: p.33-35). Bagi St Louisa, iman telah mendorongnya untuk memberikan diri secara total kepada Allah dan menyerahkan seluruh hidupnya pada kehendak Allah (cf. Saint Louise de Marillac, Spiritual Writings, A15b, p.692). Iman ini yang lantas membawa St Louisa sampai pada sebuah kesadaran, “Jadi, tak ada lagi kehendak diri! Semoga kehendakMu sendiri yang menjadi peraturan bagi hidupku!” (cf. Saint Louise de Marillac, Spiritual Writings, A15,p.713).

Lantas, bagaimana dengan kita? Sejauh mana iman itu hadir di dalam hidup dan karya pelayanan para Suster?

Allah Itu Setia

Ada sebuah pengalaman. Suster “Maria” (M) saat merayakan pesta 50 tahun hidup membiara, merayakannya dengan sangat gembira dan penuh syukur. Ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Suster, apa yang paling mengesan dalam hidup suster selama ini? Apakah karena karya-karya yang hebat-hebat? Relasi yang banyak?” Suster M itu menjawab, “Yang sangat mengesan bagiku bukanlah karya-karyaku yang besar. Bukanlah jumlah relasiku. Tapi yang sangat mengesan adalah kesetiaan Tuhan kepadaku. Meski aku sering mencari jalanku sendiri, tetapi Tuhan tetap setia.” Suster M merefleksikan bahwa Tuhan itu setia mendampingi. Tuhan yang telah memanggilnya dialami setia dan tidak meninggalkan dia sendirian. Maka dia bertahan hingga 50 tahun dan menjalaninya dengan bahagia.

Tujuan hidup para rohaniwan-rohaniwati adalah untuk diubah ke dalam hidup Kristus dengan ambil bagian dalam hidupNya. Menjadi sebuah saksi (bahkan sebenarnya juga “Sarana”) inkarnasi yang begitu jelas. St Yohanes dari Salib menggambarkan hidup para biarawan-biarawati laksana sebuah kaca.  Semakin jernih sang kaca, semakin banyak sinar yang mampu menembusnya, dan memancarkan mutu terang beserta keistimewaannya. Namun, kaca ini tidak dapat berubah menjadi sinar sendiri. Ini mengatakan bahwa kodrat kemanusiawian kita tidak akan berubah menjadi kodrat ilahi dan tetap terbedakan di antaranya. Kita semata-mata hanya ambil bagian dalam hidup Kristus.

Jelas bahwa dalam diri kita ada dua dimensi: dimensi rahmat sebagai ajakan (Yohanes  15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.) dan kehadiran yang adikodrati, dengan dimensi manusiawi sebagai sarana untuk menanggapi dan menyerahkan diri pada rahmat.

Karena keinsanian yang tetap melekat, maka hidup kitapun tidak bisa dilepaskan dari yang namanya pencobaan, dosa. Tubuh kita adalah lemah (Mrk 14:38). Akan tetapi, perjumpaan dengan Kristus hendaknya mengubah hidup kita, membawa kita pada suatu pertobatan semangat dan hati yang mendalam (cf. Mat 15: 19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat).

Menghidupi iman berarti  menyambut rahmat Allah, yang diwujudkan dalam panggilan membiara yang telah Saudari terima, dengan rendah hati dan senantiasa memupuk sikap membaharui diri. Hal ini berarti juga kita menyatukan diri kita dengan Yesus sahabat, guru dan Tuhan kita. St Vinsensius dalam suratnya kepada Sr Marie-Madeleine di Valpuiseaux mengatakan bahwa Yesus sendirilah yang akan menjadi teman Suster tersebut (SV IV, 232-233).

Iman adalah suatu anugerah yang menuntut suatu tanggapan yang terus menerus dan diperbaharui. Setiap hari iman mengundang kita untuk membuka diri terhadap hembusan Roh. Iman bertumbuh, menjadi lebih kuat melalui masa-masa gelap dan terang, seperti dalam contoh iman St Louisa.

Kehidupan yang dipenuhi dengan kelimpahan iman perlu dibagikan. Para Suster PK diajak untuk melihat suatu keagungan mesianis Yesus yang mewahyukan Kerajaan Allah kepada mereka yang dipandang paling kecil (cf. Luk 10:21). Orang-orang kecil, miskin itulah dengan caranya sendiri mereka menginjili kita. Dokumen antar Musyawarah menegaskan agar para suster menjadikan komunitas lokal juga sebagai komunitas di mana para Suster sungguh-sungguh mensharingkan pengalaman iman (cf. Inter-Assemblies Document 2009-2015, p.11).

Karena dan melalui iman inilah kita akan mampu merasakan kesetiaan Allah di dalam hidup panggilan kita. Merasakan kesetiaan iman akan menghantar kita kepada sebuah komitmen hidup, konsisten dengan anugerah yang diterima.

Membangun Keberakaran dalam Yesus: Relevansinya dalam Pembaharuan Kaul

Kehidupan iman perlu diperdalam dan disuburkan (bahasanya Paulus: ditanam – disiram – diberi pertumbuhan  1Korintus  3:6). Dokumen antar Musyawarah menganjurkan para Suster untuk menyuburkan iman dengan menjadikan Sabda Allah sebagai pusat, untuk “mengakui bahwa Tuhan berbicara kepada kita melalui Kitab Suci …untuk menemukan kembali kekuatan Sabda yang bekerja di dalam diri kita.” (Inter-Assemblies Document 2009-2015, p.9). Paus  Benediktus XVI menegaskan bahwa Pembaharuan Hidup Bakti secara mendalam, mengalir dari Sabda Allah sebagai pusat. “Injil yang dihidupi setiap hari adalah elemen yang memberi keindahan dalam hidup bakti…”. “Masyarakat dan Gereja jaman sekarang ini membutuhkan dan mengharapkan anda menjadi Injil yang hidup.” (Benedict XVI, General Superiors November 26, 2010).

St Louisa dan St Vinsensius memberi para Suster sebuah spiritualitas di mana Kristus adalah pusat panggilan dan misi para Puteri Kasih. “…menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan Dia; mencintai apa yang Dia cintai, memuji apa yang Dia puji ….” (Saint Vincent, November 2, 1655, Coste X, p. 121).

Bagi St Louisa, mengikuti Yesus Kristus adalah berusaha terus menerus menjadi seperti Dia sehingga hidup kita adalah kelanjutan hidupNya (Saint Louise to Sr. Jeanne Lapintre, L.328, Spiritual Writings, p.371). Dan Konstitusi menunjukkan kepada anda sekalian pelayanan kepada orang miskin sebagai “visi iman dan ekspresi cinta yang konkret, yang sumber dan modelnya adalah Kristus” (C.16b).

Selanjutnya, kemurnian seorang Puteri Kasih dihayati sebagai “tanggapan cinta pada panggilan Sang Cinta, kemurnian melibatkan partisipasi dalam misteri Paskah, misteri kematian dan kehidupan” (C.29b). Konstitusi ini menegaskan kepada para Puteri Kasih bahwa persembahan dirinya secara total dalam pelayanan sebagai suatu partisipasi iman, partisipasi dalam kesatuan dengan Yesus. Sangatlah indah kita merenungkan perkataan Paulus ini, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia  2:20). Paulus menolong kita untuk memahami letak kesatuan itu: dalam ‘representasi’ Allah dalam hidup dan karyaku, dalam pengalaman akan kasih Allah bagiku.

Kemurnian menuntut hidup rohani yang mendalam: dikuatkan oleh Sabda Allah, Ekaristi, dan Sakramen Rekonsiliasi, serta doa dan askese, menjamin kesetiaan para Suster (C.29d).

Kemurnian mengarahkan kita mempunyai sikap lepas bebas: tidak mementingkan diri sendiri, total dalam pelayanan, tidak berpusat pada diri sendiri (kebutuhan akan perhatian, penghargaan).

Kemiskinan Puteri Kasih sebagai sebuah ‘peneladanan’ akan Yesus Kristus sendiri, “Putera Allah yang telah memilih kemiskinan dengan semangat penyerahan diri kepada Bapa dan sebagai tanda perutusanNya ke dalam dunia” (C30a). Hati yang miskin adalah hati yang gembira, bebas, dan bersyukur.

Ketaatan seorang Puteri Kasih berpola pada sikap Yesus sendiri, yang melaksanakan rencana Kasih Bapa dengan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib (c. 31a). sebuah ketaatan yang terungkap dalam sebuah pemberian total terhadap rencana Allah. St Vinsensius menekankan bahwa satu-satunya cara untuk mempunyai ketaatan seperti ini adalah dengan senantiasa memohonnya dari Yesus Kristus sendiri (St Vincent, Conference of August 7, 1650, Coste IX, p.428).

Pertanyaan Refleksi (tertulis):
1.    Renungkan dan hadirkan kembali pengalaman – pengalaman akan “kesetiaan Tuhan” dalam hidupku selama ini.
2.    Tindakan konkret apa yang akan aku buat untuk mewujudkan Kaul “pelayanan Kristus dalam diri orang miskin” selama setahun ini?
3.    Sikap penyangkalan diri, lepas bebas apa yang akan aku wujudkan tahun ini, agar aku mampu memberikan diri secara total pada Allah?
4.    Tindakan konkret apa yang akan aku lakukan setahun ini agar aku lebih setia pada Kaul Ketaatan?

“Ya Allahku, kami memberi diri sepenuhnya kepadaMu. Berilah kami rahmat agar kami hidup dan mati dalam kemiskinan sejati …hidup dan mati dalam kemurnian … hidup dalam menghormati ketaatan secara sempurna. Kami memberi diri kepadaMu juga, ya Allahku, untuk menghormati dan melayani, sepanjang hidup kami, majikan-majikan kami, orang-orang miskin” (S. Vincentius, 19 Juli 1640, “Tentang Panggilan Puteri Kasih”, [SV. IX, Konf. 3]).

“Apakah ada yang mau menjadi kaya, setelah Anak Allah sendiri rela menjadi miskin! … Puteri-puteriku, kalian telah memilih Dia semenjak masuk dalam Serikat, kalian sudah mengungkapkan janji kepadaNya, dan seperti Dia telah memilih cara hidup yang miskin, perlu diteladani dalam hal ini” (S. Vinsentius, 20 Agustus 1656, “Tentang Kemiskinan”, [SV. X, Konf. 76]).

“Yesus Kristus telah menunjukkan kasih yang besar terhadap ketaatan, yang telah diikrarkanNya kepada BapaNya, karena akan dimanfaatkanNya untuk keselamatan dunia. Maka saya mau mencintaiNya sebagai sarana untuk mengikuti teladan guru ilahi ini” (S. Louisa, Gabillon, ed. 1676, Buku V, bab 5 § 4, hal. 289]).


Tulisan ini hanyalah sedikit pemantik untuk merefleksikan hidup panggilan dan pelayanan Anda. Selamat berefleksi – selamat memperbaharui diri – Berkat Allah menyertai Anda Semua.

19 Maret 2011 Hari Raya St Yusuf suami Maria
Salam Dalam kasih Kristus.
Ro_ni pr
Sumber:
Sirkuler 2 Februari 2011
Buku Konstitusi
Surat-surat St Vinsensius
KAUL (sr joyce Ridick SSC)

Selasa, 09 Agustus 2011

Ke Gereja: membawa Alkitab atau Puji Syukur? (Merenungkan peran Sabda Allah dalam Ekaristi)



Dulu, ketika masih mahasiswa, saya sering bertanya kepada teman saya,”Apa yang membedakan orang Katolik dengan orang Kristen lainnya?” Ada banyak jawaban teologis yang sering disampaikan oleh teman-teman saya, namun dengan sedikit guyon tanpa maksud merendahkan salah satunya saya katakan bahwa yang membedakan adalah apa yang mereka bawa saat hari minggu pergi ke Gereja. Orang Katolik biasanya membawa Puji Syukur, sedangkan orang Kristen membawa Alkitab di tangannya.
Mungkin itu adalah nampak sebagai joke saja, namun bila kita amati secara jujur, kenyataannya adalah memang demikian. Hal ini lantas membuat kita bertanya,”Konon Alkitab adalah kitab sucinya semua orang Kristen (termasuk juga orang Katolik). Kok orang Katolik menggantikannya dengan Puji Syukur?” Bukankah menjadi lebih baik ketika berlangsungnya misa kudus, umat Katolik mengikuti bacaan-bacaannya langsung dari Alkitab. Alasannya memang cukup masuk akal. Diharapkan bahwa dengan membawa kitab suci ke Gereja, umat akan semakin mengenal buku itu dan terbiasa dengannya.
Akan tetapi, bila hal tersebut didalami secara serius, permasalahannya akan menjadi lebih dalam. Apa si nilainya Puji Syukur bila dibandingkan dengan Alkitab? Bukankah Alkitab bernilai abadi, bahkan ilahi, sedangkan Puji Syukur hanyalah sebuah buku yang pada suatu saat pasti akan diganti dengan buku yang lain (seperti nasibnya Madah bakti)? Bukankah sudah waktunya umat Katolik mengubah kebiasaan mereka, dan mulai membawa Alkitab ke Gereja, seperti umat Kristen lainnya?
Menjelang akhir-akhir tahun kuliah, hal tersebut saya tanyakan kepada dosen Kitab Suci saya. Jawabannya membuat saya semakin yakin untuk tetap tidak tertarik membawa Alkitab ke Gereja pada waktu Ekaristi. Saya juga malah semakin bersyukur saat hal ini tidak diharuskan, dan mudah-mudahan tetap demikian. Puji Syukurpun sebenarnya kurang menarik bagi saya, tetapi kadang saya tetap membawanya. Bukan karena lebih baik atau lebih bernilai, tetapi karena memang dibutuhkan untuk dapat mengikuti beberapa lagu yang saya belum tahu.
Mengapa beberapa umat Katolik tertentu menghendaki agar Alkitab dibawa ke dalam perayaan Ekaristi? Salah satu alasannya sudah disampaikan di atas: agar umat lebih memperhatikan dan akrab dengan Alkitab. Alasan ini memang nampak positif sekali.
Kita perlu melihatnya secara seksama. Persoalannya adalah bukan soal boleh tidaknya membawa Alkitab pada waktu Ekaristi, akan tetapi persoalannya yang tepat adalah perlu atau tidak membawa Alkitab dalam Ekaristi. Konteksnya adalah “dalam Ekaristi”!
Misa kudus pada hakekatnya adalah sebuah perjamuan.
Bila seseorang diundang untuk menghadiri suatu perjamuan, apakah ia membawa buku-buku? Ibadah Kristen non Katolik lain sama sekali dari perayaan Ekaristi, dan hal ini kiranya yang kurang begitu disadari oleh umat Katolik. Ibadah mereka hampir selalu bukan perjamuan, melainkan ibadah sabda semata, dan karena itulah maka peran Alkitab sangat penting bagi mereka.
Allah hadir dalam Sabda.
Dalam perayaan Ekaristi-pun ibadah sabda berperan sangat penting, bahkan nilainya sama dengan ibadah Ekaristi/ Perjamuan. Hampir semua teks Ekaristi dikutip dari Alkitab, atau setidak-tidaknya diilhami olehnya. Namun, peranan sabda dalam Ekaristipun perlu dipahami dengan tepat. Semua teks Alkitab yang dibacakan dalam Ekaristi lebih berperan sebagai pemberitaan daripada bacaan belaka. Konstitusi Liturgi (SC) no 7 menandaskan bahwa Allah hadir dalam SabdaNya, karena Ia sendirilah yang berbicara bilamana di dalam Gereka Kitab Suci dibacakan. Maka teks-teks itu pertama-tama perlu didengarkan sebagai sabda Tuhan, bukan dibaca. Gereja bukan ruangan baca, melainkan tempat mendengarkan dan meresapi sabda Tuhan.
Hal tersebut sesuai dengan dokumen Gereja Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Illahi (Dei Verbum) no 21 yang menyatakan: “Di dalam Kitab Suci Bapa yang ada di surga dengan penuh kasih sayang menjumpai putera-puteriNya dan berbicara kepada mereka. …” Dokumen ini dengan jelas kembali menekankan peranan Sabda Allah (=pembacaan Kitab Suci dalam Ekaristi) sebagai sebuah jalan Allah untuk menyapa/berbicara dengan kita. Sabda Allah yang lantas memberi kekuatan iman, santapan jiwa, serta sumber murni dan abadi kehidupan rohani putera-puteri Gereja. Karena Sabda Allah itu hidup dan berdaya guna (Ibr 4:12). Ia mampu membangun dan menganugerahkan warisan kepada semua yang telah dikuduskan (Kis 20:32).
Yesus sendiripun tentu saja akan lebih senang bila umatNya dengan penuh konsentrasi mengikuti perjamuan suci yang diadakan atas undanganNya, daripada umat itu membaca buku, termasuk Alkitab pada waktu menghadiri undangan perjamuanNya. Bila setiap orang yang menghadiri perjamuan Ekaristi membaca sesuatu, sejauh manakah mereka sungguh bersatu? Mungkin mereka bersatu karena membaca teks yang sama, namun tidak adakah jenis persatuan yang lebih tinggi nilainya daripada persatuan karena membaca teks yang sama? Kita harus senantiasa menyadari bahwa kedatangan kita ke dalam perjamuan Ekaristi adalah sebagai tamu-tamu yang menerima undangan Yesus. Sebagai tamuNya, umatNya, seharusnya kita bersatu denganNya dan dengan umat yang lain. Umat adalah layaknya sebuah keluarga, dan sebuah keluarga tidak bersatu karena membaca teks yang sama.
Lantas bagaimana dengan alasan yang tadi dinilai “positif”? Memang  kita juga harus mengakui bahwa dengan membiasakan umat membawa dan membaca Alkitab di dalam Gereja, umat akan lebih cepat mengenal Alkitab. Namun membaca Alkitab dalam perayaan Ekaristi kiranya bukanlah hal yang tepat dan pas. Ekaristi adalah sebuah liturgi. Seluruh liturgi-pun adalah sabda Allah dan seharusnya dihargai sebagai Allah yang bersabda. Maka, sudah sepatutnya kita berdiam dan memperhatikan serta mendengarkan dengan seksama Allah yang sedang bersabda, Allah yang sedang berbicara kepada kita melalui seluruh perayaan Ekaristi. Mendengarkan dengan baik berarti memperhatikan setiap kata, menyimpan kata-kata itu dalam hati dan terus merenungkannya. Hal itu dilakukan oleh Maria, ibu Yesus. Ia jago sebagai seorang pendengar. Iapun tumbuh tahap demi tahap. Tepatlah kalau kita bersikap seperti Samuel yang menjawab sabda TUHAN dengan mengatakan, “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengarkan.” (1 Sam 3:9-10).

 (c):Mo_ny