Sabtu, 13 Agustus 2011

Iman: Menjadi senantiasa lebih berakar dalam Yesus Kristus, “Sumber dan Model segala Kasih”



Musyawarah Umum dalam “Sirkuler 2 Februari 2011” mengambil tema “Iman” sebagai jalan refleksi bersama untuk persiapan kaul. Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap dirinya, manusia menyetujui Allah berkarya dalam hidupnya.

Karena iman, Abraham taat ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri asing yang akan menjadi milik pusakanya (cf. Kej 12:1-4). Karena iman, Abraham tinggal di negeri asing itu (cf. Kej 23:4). Karena iman, Sara mengandung seorang putera yang dijanjikan. Karena beriman, maka Abraham mempersembahkan puteranya yang tunggal (cf. Ibr 11:7). Iman menjadikan Maria menerima dan menjalani kehendak Allah dalam hidupnya (cf. Luk 1:38). Abraham dan Maria (si samping juga Yesus tentu saja) adalah dua tokoh di dalam Kitab Suci yang ditampilkan sebagai contoh ketaatan iman. Mereka telah mewujudnyatakan definisi iman yang diajukan oleh surat Ibrani: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1).

Bagi St Vinsensius, iman telah membuat ia membaktikan dirinya bagi orang-orang miskin. Iman itu mengubah hidupnya, memberi daya pada tindakannya, dan memberi energi yang tidak pernah habis (cf. 15 Days of Prayer with Saint Vincent de Paul: p.33-35). Bagi St Louisa, iman telah mendorongnya untuk memberikan diri secara total kepada Allah dan menyerahkan seluruh hidupnya pada kehendak Allah (cf. Saint Louise de Marillac, Spiritual Writings, A15b, p.692). Iman ini yang lantas membawa St Louisa sampai pada sebuah kesadaran, “Jadi, tak ada lagi kehendak diri! Semoga kehendakMu sendiri yang menjadi peraturan bagi hidupku!” (cf. Saint Louise de Marillac, Spiritual Writings, A15,p.713).

Lantas, bagaimana dengan kita? Sejauh mana iman itu hadir di dalam hidup dan karya pelayanan para Suster?

Allah Itu Setia

Ada sebuah pengalaman. Suster “Maria” (M) saat merayakan pesta 50 tahun hidup membiara, merayakannya dengan sangat gembira dan penuh syukur. Ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Suster, apa yang paling mengesan dalam hidup suster selama ini? Apakah karena karya-karya yang hebat-hebat? Relasi yang banyak?” Suster M itu menjawab, “Yang sangat mengesan bagiku bukanlah karya-karyaku yang besar. Bukanlah jumlah relasiku. Tapi yang sangat mengesan adalah kesetiaan Tuhan kepadaku. Meski aku sering mencari jalanku sendiri, tetapi Tuhan tetap setia.” Suster M merefleksikan bahwa Tuhan itu setia mendampingi. Tuhan yang telah memanggilnya dialami setia dan tidak meninggalkan dia sendirian. Maka dia bertahan hingga 50 tahun dan menjalaninya dengan bahagia.

Tujuan hidup para rohaniwan-rohaniwati adalah untuk diubah ke dalam hidup Kristus dengan ambil bagian dalam hidupNya. Menjadi sebuah saksi (bahkan sebenarnya juga “Sarana”) inkarnasi yang begitu jelas. St Yohanes dari Salib menggambarkan hidup para biarawan-biarawati laksana sebuah kaca.  Semakin jernih sang kaca, semakin banyak sinar yang mampu menembusnya, dan memancarkan mutu terang beserta keistimewaannya. Namun, kaca ini tidak dapat berubah menjadi sinar sendiri. Ini mengatakan bahwa kodrat kemanusiawian kita tidak akan berubah menjadi kodrat ilahi dan tetap terbedakan di antaranya. Kita semata-mata hanya ambil bagian dalam hidup Kristus.

Jelas bahwa dalam diri kita ada dua dimensi: dimensi rahmat sebagai ajakan (Yohanes  15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.) dan kehadiran yang adikodrati, dengan dimensi manusiawi sebagai sarana untuk menanggapi dan menyerahkan diri pada rahmat.

Karena keinsanian yang tetap melekat, maka hidup kitapun tidak bisa dilepaskan dari yang namanya pencobaan, dosa. Tubuh kita adalah lemah (Mrk 14:38). Akan tetapi, perjumpaan dengan Kristus hendaknya mengubah hidup kita, membawa kita pada suatu pertobatan semangat dan hati yang mendalam (cf. Mat 15: 19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat).

Menghidupi iman berarti  menyambut rahmat Allah, yang diwujudkan dalam panggilan membiara yang telah Saudari terima, dengan rendah hati dan senantiasa memupuk sikap membaharui diri. Hal ini berarti juga kita menyatukan diri kita dengan Yesus sahabat, guru dan Tuhan kita. St Vinsensius dalam suratnya kepada Sr Marie-Madeleine di Valpuiseaux mengatakan bahwa Yesus sendirilah yang akan menjadi teman Suster tersebut (SV IV, 232-233).

Iman adalah suatu anugerah yang menuntut suatu tanggapan yang terus menerus dan diperbaharui. Setiap hari iman mengundang kita untuk membuka diri terhadap hembusan Roh. Iman bertumbuh, menjadi lebih kuat melalui masa-masa gelap dan terang, seperti dalam contoh iman St Louisa.

Kehidupan yang dipenuhi dengan kelimpahan iman perlu dibagikan. Para Suster PK diajak untuk melihat suatu keagungan mesianis Yesus yang mewahyukan Kerajaan Allah kepada mereka yang dipandang paling kecil (cf. Luk 10:21). Orang-orang kecil, miskin itulah dengan caranya sendiri mereka menginjili kita. Dokumen antar Musyawarah menegaskan agar para suster menjadikan komunitas lokal juga sebagai komunitas di mana para Suster sungguh-sungguh mensharingkan pengalaman iman (cf. Inter-Assemblies Document 2009-2015, p.11).

Karena dan melalui iman inilah kita akan mampu merasakan kesetiaan Allah di dalam hidup panggilan kita. Merasakan kesetiaan iman akan menghantar kita kepada sebuah komitmen hidup, konsisten dengan anugerah yang diterima.

Membangun Keberakaran dalam Yesus: Relevansinya dalam Pembaharuan Kaul

Kehidupan iman perlu diperdalam dan disuburkan (bahasanya Paulus: ditanam – disiram – diberi pertumbuhan  1Korintus  3:6). Dokumen antar Musyawarah menganjurkan para Suster untuk menyuburkan iman dengan menjadikan Sabda Allah sebagai pusat, untuk “mengakui bahwa Tuhan berbicara kepada kita melalui Kitab Suci …untuk menemukan kembali kekuatan Sabda yang bekerja di dalam diri kita.” (Inter-Assemblies Document 2009-2015, p.9). Paus  Benediktus XVI menegaskan bahwa Pembaharuan Hidup Bakti secara mendalam, mengalir dari Sabda Allah sebagai pusat. “Injil yang dihidupi setiap hari adalah elemen yang memberi keindahan dalam hidup bakti…”. “Masyarakat dan Gereja jaman sekarang ini membutuhkan dan mengharapkan anda menjadi Injil yang hidup.” (Benedict XVI, General Superiors November 26, 2010).

St Louisa dan St Vinsensius memberi para Suster sebuah spiritualitas di mana Kristus adalah pusat panggilan dan misi para Puteri Kasih. “…menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan Dia; mencintai apa yang Dia cintai, memuji apa yang Dia puji ….” (Saint Vincent, November 2, 1655, Coste X, p. 121).

Bagi St Louisa, mengikuti Yesus Kristus adalah berusaha terus menerus menjadi seperti Dia sehingga hidup kita adalah kelanjutan hidupNya (Saint Louise to Sr. Jeanne Lapintre, L.328, Spiritual Writings, p.371). Dan Konstitusi menunjukkan kepada anda sekalian pelayanan kepada orang miskin sebagai “visi iman dan ekspresi cinta yang konkret, yang sumber dan modelnya adalah Kristus” (C.16b).

Selanjutnya, kemurnian seorang Puteri Kasih dihayati sebagai “tanggapan cinta pada panggilan Sang Cinta, kemurnian melibatkan partisipasi dalam misteri Paskah, misteri kematian dan kehidupan” (C.29b). Konstitusi ini menegaskan kepada para Puteri Kasih bahwa persembahan dirinya secara total dalam pelayanan sebagai suatu partisipasi iman, partisipasi dalam kesatuan dengan Yesus. Sangatlah indah kita merenungkan perkataan Paulus ini, “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Galatia  2:20). Paulus menolong kita untuk memahami letak kesatuan itu: dalam ‘representasi’ Allah dalam hidup dan karyaku, dalam pengalaman akan kasih Allah bagiku.

Kemurnian menuntut hidup rohani yang mendalam: dikuatkan oleh Sabda Allah, Ekaristi, dan Sakramen Rekonsiliasi, serta doa dan askese, menjamin kesetiaan para Suster (C.29d).

Kemurnian mengarahkan kita mempunyai sikap lepas bebas: tidak mementingkan diri sendiri, total dalam pelayanan, tidak berpusat pada diri sendiri (kebutuhan akan perhatian, penghargaan).

Kemiskinan Puteri Kasih sebagai sebuah ‘peneladanan’ akan Yesus Kristus sendiri, “Putera Allah yang telah memilih kemiskinan dengan semangat penyerahan diri kepada Bapa dan sebagai tanda perutusanNya ke dalam dunia” (C30a). Hati yang miskin adalah hati yang gembira, bebas, dan bersyukur.

Ketaatan seorang Puteri Kasih berpola pada sikap Yesus sendiri, yang melaksanakan rencana Kasih Bapa dengan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib (c. 31a). sebuah ketaatan yang terungkap dalam sebuah pemberian total terhadap rencana Allah. St Vinsensius menekankan bahwa satu-satunya cara untuk mempunyai ketaatan seperti ini adalah dengan senantiasa memohonnya dari Yesus Kristus sendiri (St Vincent, Conference of August 7, 1650, Coste IX, p.428).

Pertanyaan Refleksi (tertulis):
1.    Renungkan dan hadirkan kembali pengalaman – pengalaman akan “kesetiaan Tuhan” dalam hidupku selama ini.
2.    Tindakan konkret apa yang akan aku buat untuk mewujudkan Kaul “pelayanan Kristus dalam diri orang miskin” selama setahun ini?
3.    Sikap penyangkalan diri, lepas bebas apa yang akan aku wujudkan tahun ini, agar aku mampu memberikan diri secara total pada Allah?
4.    Tindakan konkret apa yang akan aku lakukan setahun ini agar aku lebih setia pada Kaul Ketaatan?

“Ya Allahku, kami memberi diri sepenuhnya kepadaMu. Berilah kami rahmat agar kami hidup dan mati dalam kemiskinan sejati …hidup dan mati dalam kemurnian … hidup dalam menghormati ketaatan secara sempurna. Kami memberi diri kepadaMu juga, ya Allahku, untuk menghormati dan melayani, sepanjang hidup kami, majikan-majikan kami, orang-orang miskin” (S. Vincentius, 19 Juli 1640, “Tentang Panggilan Puteri Kasih”, [SV. IX, Konf. 3]).

“Apakah ada yang mau menjadi kaya, setelah Anak Allah sendiri rela menjadi miskin! … Puteri-puteriku, kalian telah memilih Dia semenjak masuk dalam Serikat, kalian sudah mengungkapkan janji kepadaNya, dan seperti Dia telah memilih cara hidup yang miskin, perlu diteladani dalam hal ini” (S. Vinsentius, 20 Agustus 1656, “Tentang Kemiskinan”, [SV. X, Konf. 76]).

“Yesus Kristus telah menunjukkan kasih yang besar terhadap ketaatan, yang telah diikrarkanNya kepada BapaNya, karena akan dimanfaatkanNya untuk keselamatan dunia. Maka saya mau mencintaiNya sebagai sarana untuk mengikuti teladan guru ilahi ini” (S. Louisa, Gabillon, ed. 1676, Buku V, bab 5 § 4, hal. 289]).


Tulisan ini hanyalah sedikit pemantik untuk merefleksikan hidup panggilan dan pelayanan Anda. Selamat berefleksi – selamat memperbaharui diri – Berkat Allah menyertai Anda Semua.

19 Maret 2011 Hari Raya St Yusuf suami Maria
Salam Dalam kasih Kristus.
Ro_ni pr
Sumber:
Sirkuler 2 Februari 2011
Buku Konstitusi
Surat-surat St Vinsensius
KAUL (sr joyce Ridick SSC)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar