Add caption |
Kemiskinan, ketidakadilan, penindasan merupakan suatu realitas yang telah ada sekian ribu tahun yang lalu. Sebuah realitas yang kiranya tidak bisa dipisahkan dari hidup manusia di dunia ini, persoalan yang tidak pernah ada habisnya. Agama sebenarnya diharapkan bisa membawa orang untuk keluar dari situasi seperti itu. Namun, tak jarang agama malah menjadi semacam tiket untuk melegitimasi ketidakadilan yang terjadi. Hal ini terjadi ketika agama berpihak pada para penguasa dan pemilik modal.
Di tengah situasi seperti itu, yang dialami juga oleh masyarakat Amerika Latin, lahirlah apa yang dinamakan sebagai Teologi Pembebasan pada tahun 1971. Teologi ini lahir dari keprihatinan para teolog Amerika Latin melihat situasi bangsanya. Kekerasan yang semakin melembaga terjadi di mana-mana, yang tidak hanya menimbulkan penderitaan, melainkan sudah menjadi sebuah kedosaan manusia. Para teolog pembebasan berpendapat bahwa penebusan dan Kerajaan Allah mesti diwujudkan sekarang dan di dunia ini. Dalam merumuskan perjuangannya, para teolog pembebasan berusaha membongkar tradisi-tradisi religius yang telah dimaknai secara salah sehingga melegitimasi ketidakadilan. Dari situ para teolog berusaha menemukan tradisi religius apa yang telah dilupakan sehingga dapat lahir sebuah teologi yang membebaskan.
Beberapa puluh tahun sebelum Teologi Pembebasan itu lahir dan terumus, ada seorang tokoh pembebasan dari India yang sangat terkenal sampai dengan saat ini. Ia adalah M. K. Gandhi. Gandhi adalah pemimpin politik dan spiritual paling terkemuka pada abad kedua puluh. Ia disebut Mahatma (Jiwa Agung). Gandhi hidup di tengah-tengah ketidakadilan yang ditimbulkan oleh diskriminasi rasial atas orang-orang Asia (India) oleh orang-orang Eropa (Inggris), di tengah-tengah penderitaan para buruh tani dan buruh pabrik yang ditindas oleh para tuan tanah dan pemilik perusahaan. Keadaan menjadi semakin kacau ketika tradisi-tradisi religius yang seharusnya mampu membawa mereka kepada pembebasan, ternyata malah menjadi semacam alat untuk melegitimasi ketidakadilan. Situasi seperti itulah tempat di mana Gandhi tumbuh dan berkembang. Situasi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami juga oleh negara-negara di Amerika Latin, tempat di mana Teologi Pembebasan lahir.
Gandhi adalah bukan seorang pendiri sekte baru. Sekalipun demikian, ia mengumpulkan ide-ide dari semua tradisi religius, khususnya dari Hinduisme, dan membentuk suatu falsafah hidup yang unik dan kuat. Hidupnya adalah perwujudan dari falsafahnya. Pencapaiannya yang terbesar adalah penciptaan alat untuk aksi sosial, untuk membebaskan orang-orang India dari ketidakadilan dan penindasan yang membelenggu mereka, yaitu gerakan yang ia namai gerakan Satyagraha.
Gerakan Satyagraha merupakan gerakan pembebasan yang digunakan oleh Gandhi untuk memerangi penindasan. Jalan yang diambil adalah jalan tanpa kekerasan (ahimsa), jalan cinta universal. Karena jalan cinta universal, maka untuk melaluinya dibutuhkan pengorbanan (tapasya). Di dalam menemukan dasar gerakan Satyagraha, Gandhi juga menggali tradisi-tradisi religius Hindu yang telah dilupakan, di samping juga kemudian ia memunculkan prinsip-prinsip barunya tersebut (Satya, ahimsa, dan tapasya).
Di dalam Hinduisme ada konsep-konsep kunci, yaitu dharma, moksa, samsara, dan karma. Untuk dapat menemukan “superstruktur” apa yang telah ambil bagian dalam penindasan dan ketidakadilan, maka perlu melihat dan menganalisa konsep-konsep kunci di dalam Hinduisme tersebut. Berdasarkan dharma Hindu kuno, manusia dilahirkan tidak sama. Mereka dilahirkan dalam status kehidupan berdasarkan karma mereka di masa lalu. Konsekuensinya, ketidakadilan yang diterima seseorang cenderung tidak dilihat sebagai tidak adil, melainkan sebagai sesuatu yang pantas diterimanya. Konsep dharma yang ada di balik sistem kasta maupun varnas menyatakan bahwa orang melakukan apa yang menjadi kewajibannya, bukan haknya. Akibatnya, hak seseorang sering dilupakan karena memberi penekanan yang berat sebelah. Ketidakadilan yang sering terjadi akibat sistem kasta semakin ”termaklumi”. Penekanan yang kurang tepat akan moksa juga bisa membuat orang tidak peduli pada persoalan orang lain, yaitu jika seseorang untuk sampai padanya hanya melalui jalan pengetahuan (jnana) dan jalan devosi (bhakti) saja.
Setelah merumuskan “superstruktur” tersebut , Gandhi menilai perlu untuk melihat dan menemukan kembali nilai-nilai dari tradisi-tradisi Hindu yang telah dilupakan, sehingga darinya dapatlah lahir suatu teologi yang membebaskan. Sehubungan dengan dharma, Gandhi melihat adanya perpecahan yang mencolok antara dharma abadi (sanatana dharma) dengan apa yang kini dianggap sebagai dharma buatan manusia dan yang sanksinya ada dalam sistem sosial. Kelas sosial ataupun kasta merupakan hasil suatu sistem sosial, dan seharusnya tidak dicampuradukkan begitu saja dengan dharma, karena dharma yang ada dalam kelas sosial itu hanyalah dharma buatan manusia saja. Terhadap kharma Gandhi mempunyai pendapat bahwa antara kharma dan pelayanan orang-orang yang miskin maupun tertindas bukannya tidak ada hubungannya. Semua orang tertuju ke hidup yang baik, karenanya tidak ada alasan untuk membiarkan orang lain hidup dalam penindasan. Bagi Gandhi, kharma adalah sebuah pelayanan untuk hidup yang baik. Mengenai moksa, Gandhi mempunyai pendapat bahwa jalan untuk keselamatan atau pembebasan tak lain dan tak bukan adalah melalui pelayanan kepada sesama yang didasari oleh cinta (ahimsa). Ini didasari pada keyakinan bahwa Tuhan hadir dalam segala ciptaan.
Pemahaman, pemaknaan yang baru akan tradisi-tradisi yang hakiki dalam Hinduisme ini menjadi inspirasi, motivasi, dan dasar bagi gerakan pembebasan Gandhi. Sebuah praksis pembebasan yang lahir dari refleksi iman atas situasi konkret yang dihadapi. Sebagai jalannya, Gandhi memilih jalan Satyagraha. Di dalam jalan ini ada tiga pilar utama yang membangunnya, yaitu satya, ahimsa, dan tapasya. Satya (kebenaran) merupakan norma yang pertama dan utama. Kebenaran harus menjadi jiwa, tujuan, sekaligus kerangka seluruh perjuangan. Untuk sampai ke sana, satu-satunya jalan adalah melalui jalan ahimsa, jalan cinta kasih universal. Orang tidak akan sampai pada kebenaran kalau ia tidak didasari oleh cinta. Untuk mampu berpegang teguh pada ahimsa, orang perlu keberanian, jiwa yang besar. Keberanian dan jiwa yang besar ini berarti juga kesiapan dan kesediaan untuk berkorban, menanggung segala penderitaan (tapasya). Demikianlah, untuk sampai pada perjuangan Satyagraha seperti yang Gandhi tawarkan, orang harus memiliki tiga pilar tersebut sebagai dasar berpijaknya.
Dari pola-pola gerakannya, maka kita dapat mensejajarkan Gandhi dengan para teolog pembebasan lainnya. Gandhi berangkat dari praksis, yaitu persoalan-persoalan ketidakadilan, sebagai locus theologicus –nya. Ia mencoba mengkoreksi tradisi-tradisi religiusnya, yang secara sadar atau tidak telah mengafirmasi ketidakadilan yang terjadi. Gandhi mencoba menemukan dan memaknai secara baru tradisi-tradisi tersebut, dan menjadikannya sebagai dasar untuk suatu teologi yang membebaskan. Dan demikian, terumuslah Satyagraha sebagai bentuk teologi pembebasannya.