EKARISTI SEBAGAI
PUSAT HIDUP KELUARGA
Judul
di atas merupakan tema pertemuan kedua dalam Pertemuan Pra Sinode Tingkat
Komunitas. Yang melatar belakangi pemilihan tema tersebut sebagai titik awal
refleksi bidang liturgi adalah beberapa hal berikut: dari hasil kuesioner
terungkap bahwa pemahaman umat akan Ekaristi belum seragam, di sisi lain
kerinduan umat akan perayaan Ekaristi begitu tinggi. Ada sebagian umat yang
merasa tidak sreg kalau anak-anak
ikut dalam Ekaristi secara penuh, padahal mereka tahu akan kewajibannya untuk
mendidik anak secara Katolik. Adanya juga trend
yang muncul: Ekaristi itu kaku, membuat ngantuk, kurang “kreatif”, membosankan,
dan lain sebagainya. Berlatar belakang asumsi-asumsi tersebutlah saya mengajak
anda sekalin untuk merenungkan makna Ekaristi dan pentingnya bagi keluarga. Apa
yang saya tulis ini saya maksudkan juga sebagai sebuah eksplorasi atas apa yang
dibahas dalam pertemuan kedua PPSTK.
Ekaristi kaya akan makna dan simbol
Sebagai
seorang Katolik, lebih-lebih yang dibaptis sejak bayi, pasti sudah terbiasa
dengan yang namanya Ekaristi. Bahkan karena terlalu biasa, kita melakukannya
sudah dengan setengah otomatis. Tahu kapan harus bilang “Amin”, tahu kapan
harus “berdiri atau duduk” dan lain sebagainya. Semuanya lantas nampak sungguh-sungguh
mekanis.
Tetapi,
ketika orang (kita – saya) ditanya apa arti dari yang kita katakan atau lakukan
itu? Mungkin tidak banyak yang memahaminya. Ketidaktahuan inilah yang kiranya
tak jarang lantas membuat orang (kita) merasa “kering”, “jenuh”, “lama” pada
waktu mengikuti Ekaristi.
Kalau
mau kita telisik, sebenarnya Ekaristi itu sangat kaya akan makna dan simbol. Pada
titik inilah, saat kita menyadari makna dari bagian-bagian Ekaristi itu, kita
akan menyadari keagungannya. Kita akan masuk dalam misteri yang kita rayakan.
Saya akan menguraikan beberapa bagian saja, harapannya adalah menjadikan kita
semakin memahami makna Ekaristi itu sendiri.
a. Tanda Salib
Hal
pertama yang kita lakukan untuk membuka Ekaristi adalah dengan membuat tanda
salib. Sambil membuat tanda salib kita berkata: “Dalam nama Bapa dan Putera dan
Roh Kudus”. Ini adalah tindakan sederhana. Tapi, dengan membuat tanda salib ini
sebenarnya kita sedang menyebut nama Tuhan.
Menyebut
nama Tuhan berarti kita mengundang Tuhan untuk hadir serta terlibat dalam
kehidupan kita dan menyerahkan semua yang kita lakukan dalam Ekaristi kepadaNya
(cf. Kej. 4:26; 12:8, 26:25; 1Raj. 18:24, 32). Dalam Kitab Yehezkiel, suatu
simbol berbentuk salib memiliki fungsi sebagai tanda perlindungan illahi dan ikatan
perjanjian dengan Allah (9:4). Dalam Kitab Wahyu, tanda salib mempunyai arti
bahwa orang yang mengenakannya akan dikhususkan menjadi umat Allah dan
dilindungi dari penghakiamn ilahi (7:3). Jadi, dengan membuat tanda salib
berarti kita juga mohon Allah melindungi kita.
b. “Tuhan bersamamu”
Kata
ini menyajikan suatu undangan kepada Allah untuk menyertai kita, hadir dalam
hidup kita. Kalau kita memahami arti kata “Tuhan” bagi orang-orang Yahudi kuno,
kita akan meraga bergetar menerima salam ini.
Dalam
sejarah keselamatan, kata-kata kudus “Tuhan menyertai engkau”, diucapkan Allah
ketika Ia mengutus umatNya untuk mengemban suatu tugas yang sulit mengatasi
kemampuan manusiawi. “Aku menyertai kamu…” inilah kata-kata yang Allah
sampaikan saat mengutus Musa keluar dari Mesir (Kej. 3:12), mengutus Yosua
untuk menuntun umat memasuki tanah terjanji (Yos 1:5), memanggil Gideon untuk
membela orang-orang Israel dari musuh yang kuat (Hak. 6:12), dan juga saat
memanggil Maria menjadi Bunda Yesus (Luk 1:28).
Dengan
mendengar dan menerima salam “Tuhan bersamamu” kita sebenarnya dipanggil untuk
suatu tugas yang penting, dan kepada kita Allah senantiasa menyertai kita.
Allah tidak membiarkan kita sendirian.
c. “Tuhan Kasihanilah Kami”
Menyapa
Allah dengan memohon belas kasihNya merupakan suatu kebiasaan yang sudah lama.
Dalam Perjanjian Baru kita mengenal orang-orang datang memohon belas kasih
Allah dalam pribadi Yesus. Dua orang
buta yang datang kepada Yesus berseru,”Kasihanilah
kami, hai anak Daud” (Mat 9:27; 20:30,31). Orang tua yang anak perempuannya
kerasukan setan (Mat. 15:22). Terhadap orang yang sakit ayan (Mat. 17:15).
Dalam setiap kejadian, setiap kali orang memohon belas kasihNya, Yesus serta
merta menanggapi dan melakukan mukjijat dalam kehidupan umat.
Dalam
Ekaristi, ketika kita mengatakan “Tuhan, Kasihanilah kami”, maka berarti kita
berseru kepada Tuhan agar Ia menyembuhkan segala kelemahan dan kebutaan rohani
kita.
d. Madah Kemuliaan
Saat
kita bernyanyi madah Kemuliaan, madah ini dibuka dengan kata-kata: “Kemuliaan bagi Allah di surga, dan damai di
bumi kepada orang yang berkenan kepadaNya”. Kalimat ini sama dengan yang
dimadahkan para bala Malaikat di hadapan para gembala pada malam Natal pertama,
“Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di
antara manusia yang berkenan padaNya” (Luk. 2:14).
Jadi,
saat kita menyanyikan Kemuliaan, kita sedang bersama-sama dengan bala Malaikat
di surga memadahkan pujian kepada Allah yang mahatinggi. Ini adalah madah
surgawi!
e. Bacaan-Bacaan
Bacaan
Ekaristi kita mencakup empat kelompok utama Kitab Suci: Perjanjian Lama,
Mazmur, surat-surat Perjanjian Baru (atau Kisah Para Rasul atau Kitab Wahyu),
dan Injil. Liturgi kita diatur dalam lingkaran tiga tahun. Jadi, setiap tiga
tahun, orang Katolik yang menghadiri Ekaristi tiap minggu mendengarkan hampir
seluruh Kitab Suci.
f. Syahadat
Bagi
sebagian orang ketika menyatakan Syahadat mungkin akan serasa mengulang-ulang
suatu pernyataan doktrinal semata.
Orang-orang
Yahudi kuno mengenal yang namanya shema
(shema – dengarlah). “Dengarlah, hai
orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Ul. 6:4-5). Kata-kata tersebut memngungkapkan syahadat
bangsa Israel. Kata-kata ini harus didaraskan beberapa kali dalam satu hari.
Tujuannya adalah untuk menyatakan visi-misi pribadi dan nasional: Saya adalah
seorang Israel yang mengikat perjanjian dengan Allah yang Esa dan benar, Allah
seluruh bumi.
Bagi kita, syahadat juga mengungkapkan jati diri kita. Syahadat
memberi makna yang mendalam akan hidup kita: Bapa mengutus PuteraNya untuk mati
demi dosa-dosa kita dan mencurahkan RohNya ke dalam hati kita.
g.
Doa Syukur Agung
Doa
ini mengungkapkan syukur atas kebaikan Allah, atas ciptaan Allah, dan atas
campur tangan Allah dalam kehidupan umat manusia: atas karya keselamatanNya
yang agung. Kata Ekaristi sendiri berarti syukur.
h. “Kudus – Kudus – Kudus”
Dengan
menyanyikan/ mengucapkan Kudus – Kudus – Kudus, kita turut serta dalam paduan
Malaikat di Surga (Yes 6:3, Why 4:8). Dalam madah ini surga dan bumi bersatu.
Sehingga, melalui madah ini Ekaristi semakin diteguhkan sebagai suatu peristiwa
illahi: partisipasi dalam liturgi surgawi.
Apa
yang sudah diuraikan di atas adalah sebagian saja dari apa yang dinamakan
Perayaan Ekaristi. Dari yang sebagian itu kita lantas bisa sadar, ternyata
Ekaristi itu sungguh bernilai luhur. Karena nilainya yang luhur itu, maka
Ekaristi perlu senantiasa dihidupi dan diwariskan. Pertama-tama dan yang utama
adalah pada putra-putri kita.
Keluarga
Kristiani
Keluarga merupakan unit terkecil dalam
masyarakat, sebagai “persekutuan hidup dan cinta”. Keluarga kristiani adalah
“Gereja rumah tangga” atau “Gereja mini” yang ikut serta dalam tugas Gereja
mewartakan Injil, pertama-tama dan terutama kepada anak-anaknya. Berdasarkan
tugas imamatnya, keluarga Kristiani bersatu dengan Allah lewat doa, ibadat dan
penerimaan sakramen: secara khusus dan istimewa dalam dan melalui Ekaristi.
Model cara hidup Gereja Perdana (Kis.
1,2) kiranya bisa menjadi contoh menjadikan keluarga sebagai sebuah Gereja
Kecil. Bagaimana keluarga-keluarga dipanggil untuk membangun persekutuan di
dalam keluarganya: sehati dan sejiwa, saling menghormati satu sama lain,
bertekun dalam firman Tuhan (mendengar dan merenungkan bersama firman Tuhan),
bertekun dalam doa bersama, dan secara khusus hadir bersama dalam perayaan
Ekaristi.
Keluarga
mempunyai panggilan untuk menjadikan Ekaristi ini sebagai pusat hidupnya. Yohanes Paulus II dalam Sacramentum
Caritatis no 79 mendorong agar keluarga-keluarga kristiani memetik ilham dan
kekuatan dari sakramen Ekaristi ini. Kasih antara laki-laki dan perempuan,
keterbukaan kepada kehidupan, dan pendidikan anak-anak adalah iklim khusus di
mana Ekaristi dapat mengungkapkan kekuatannya untuk mengubah hidup dan
memberinya maknanya yang penuh. Kita sekalian diajak untuk semakin mencintai
Ekaristi sejak dini.
Sering kita menjumpai bagaimana
anak-anak terkesan keleleran saja
saat orang tuanya ikut Ekaristi: entah bermain-main di luar, jalan sana-sini,
bermain game di Gereja atau juga “sembunyi” di kamar saat ada Ekaristi
komunitas di rumahnya. Ada kesan beberapa orang tua seolah-olah membiarkan saja
hal itu. Sementara itu, di lain tempat, saya pernah menjumpai sesuatu yang
sungguh berbeda: saat Ekaristi anak-anak duduk manis bersama orang tuanya.
Mereka mengikuti gerak dan kata yang diucapkan orang tuanya. Ini artinya
adalah, mengajak anak-anak kita untuk mencintai Ekaristi bukanlah hal yang
mustahil. Tergantung bagaimana cara kita (orang tua) mengajarinya. Mengajak
anak-anak kita ikut Ekaristi, duduk bersama mereka, memberikan penjelasan, saya
rasa adalah cara yang terbaik dibandingkan membiarkan mereka begitu saja.
Para orang tua perlu senantiasa
menyadari panggilannya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi
putra-putrinya. Pendidikan (iman) anak tidak cukup kita serahkan kepada Paroki,
Sekolah, maupun Guru Agama semata. Orang tua itu sendirilah yang bertanggung
jawab serta berkewajiban menjamin pendidikan (iman) anak. Keteladanan dan
dorongan kiranya masih menjadi kekuatan utama. Keluarga-keluarga yang
menjadikan doa bersama sebagai pusat hidupnya perlu selalu dikembangkan. Mari
kita semakin mencintai Ekaristi. Kalau tidak dari diri kita sendiri serta
keluarga kita masing-masing, lantas dari siapa?
Inspirasi:
Catholic
for a reason III (Scripture and the
Mystery of the Mass)
Scott
Hahn, Ph.D., and Regis J. Flaherty (ed)
Emmaus
Road Publishing, 1998
Ernest
Mariyanto (terj.)
Malang:
Dioma, 2008.