Rabu, 14 Desember 2011

14 Desember: Peringatan St. Yohanes dari Salib

St. Yohanes dari Salib

St. Yohanes dari Salib
Sang Pembaharu


St. Yohanes dari Salib dilahirkan oleh sebuah keluarga miskin dengan nama Juan de Yepes. Ia dididik oleh Yesuit, tetapi kemudian memutuskan untuk masuk ke Ordo Karmel di Medina pada tahun 1563 dan ditahbiskan sebagai imam 5 tahun kemudian. Yohanes kemudian berjumpa dengan St. Teresa Avila yang mengajaknya bergabung memperbaharui semangat spiritualitas Ordo Karmel melalui hidup doa dan puasa/pantang yang keras.

Selama masa pergolakan antara kaum pembaharu dengan anggota ordo yang lain, Yohanes mengalami berbagai penekanan dari rekan-rekannya sesama anggota Ordo seperti dipermalukan, diculik, dipenjara, dll. Ketika berada di penjara, Yohanes mendapatkan berbagai pengalaman mistik yang membuatnya mampu menggubah kidung-kidung dan puisi mistik serta memperoleh hikmat pengertian yang luar biasa dalam memahami ajaran Kristus. Pengetahuan ini kemudian ditulis dalam buku-bukunya yang terkenal seperti "Malam Gelap Jiwa", "Mendaki Gunung Karmel", "Madah Rohani".

Akibat dari proses pembaharuan tersebut, Ordo Karmel Tak Bersepatu secara resmi dipisahkan dari Ordo Karmel Bersepatu pada tahun 1580. Selama beberapa tahun Yohanes sempat menjadi pembimbing di biara Karmel di Avila dimana St. Teresa menjadi pemimpin biara.

Yohanes meninggal dunia  pada tahun 1591 di Ubeda,  setelah mengalami sakit. St. Yohanes dikanonisasi pada tahun 1726 dan pada tahun 1926 dinyatakan sebagai Doktor Gereja oleh Paus Pius XI.

Jiwa pembaharuannya pantas kita teladani. bukankah Gereja senantiasa harus diperbaharuai? Ecclesia semper reformanda? Lantas, pembaharuan yang bagaimana? Yang asal merubah (mungkin seperti yang dialami oleh bangsa kita, sehingga akhirnya menimbulkan kekacauan - instabilitas - dengan bungkus demokrasi)? St Yohanes dari Salib menjadi seorang pembaharu karena keterbukaannya pada Allah. Pengalaman akan Allah-nyalah yang membuatnya mempunyai jiwa/ semangat pembaharuan.

inilah tugas kita bersama. Sinode bukan sebagai sarana asal "merubah" sehingga nampak ada yang baru. namun, keterbukaan akan kehendak Allah, (orang jawa mengatakan: 'neges kersaning Allah') menjadi landasan kita bersama. Oleh sebab itu, mari kita cermati 'kehidupan Keuskupan ini' dengan terang iman. Kuisioner, sensus, hasil pra-sinode, sumber2 lainnya harus kita lihat dalam terang iman. Karena itu, Sinode bukanlah hanya sekedar hasil musyawarah semata, namun lebih2 merupakan sebuah proses Rfleksi iman kita semua.

Bagaimana itu? Itu menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua.St Yohanes dari Salib bisa menjadi teladan pembaharuan kita.

Tuhan memberkati.

Selasa, 13 Desember 2011

Surat Gembala Natal 2011


Dibacakan pada waktu Perayaan Ekaristi Hari Minggu Adven ke IV, di seluruh Gereja/Kapel Katolik Keuskupan Banjarmasin.

”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat Terang yang besar.” (Yes 9:1a)

Surat Gembala Natal 2011
Mgr Petrus Boddeng Timang Uskup Keuskupan Banjarmasin

Para Pastor, Frater, Suster serta Saudara-saudari yang terkasih,

Sebentar lagi kita akan merayakan kembali peristiwa Natal, kelahiran Yesus Kristus Sang Juru Selamat dunia. KelahiranNya diharapkan menjadi tanda pembebasan yang menghancurkan akar kebencian, serta menumbuhkan damai dan keadilan.

Yesus lahir dalam masyarakat yang mengalami situasi sosial, politik, maupun ekonomi yang mencekam akibat penjajahan penguasa Romawi. Beban pajak begitu berat. Pemberontakan terjadi di mana-mana. Dalam situasi sosial yang seperti ini tidak ada suara kenabian. Allah seolah diam. Namun, kebisuan ini dipecahkan oleh suara Yohanes Pembaptis di padang gurun. Pesannya sederhana, namun tegas. "Allah murka terhadap umat-Nya dan mau menghukumnya.” Metafora yang disampaikannya sangat terkenal, dengan mempergunakan simbol kapak dan alat penampi yang siap menghancurkan umat manusia yang dikuasai dosa. Yohanes Pembaptis mengajak agar semua orang berubah dan mengarahkan hati kepada Allah! Dia mengajak dan menegur keras para pendosa, pelacur, pemungut pajak, dan militer untuk bertobat, meninggalkan masa gelap dan menatap masa depan (bdk. Luk. 3:12.14).

Kelahiran Yesus ibarat fajar keadilan di tengah kegelapan hati yang dikuasai kebusukan dosa. Kelahiran-Nya ke bumi menjadi tanda kasih sayang Allah kepada manusia. "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, maka Allah mengutus Yesus ke dunia, agar umat manusia memperoleh kehidupan yang kekal" (bdk. Yoh. 3:16).

Yesus lahir bagi mereka yang miskin, tertindas, tersingkir, telantar, para pendosa, orang-orang sakit dan susah. Setelah dewasa Yesus tampil di muka umum dan berkhotbah. Ia mengutip nubuat Nabi Yesaya 61:1-2 dan berkata, "Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung."

Meski Yesus lahir lebih dari 2000 tahun yang lalu, namun hingga hari ini aroma ’keprihatinan’ masih terus menyeruak dalam kehidupan kita. Kemiskinan, ketertindasan, kekejaman, pengungsian, dan berbagai keprihatinan masih mewarnai dunia.

Semua itu bukanlah sekadar kebetulan. Sebenarnya, kemiskinan dan kemalangan, pranata sosial yang tidak adil dan menindas, kebobrokan zaman dan tatanan ekonomi dunia yang tidak adil merupakan buah kedosaan. Tidak bisa dipungkiri, kondisi gelap kehidupan itu merupakan akibat penjarahan oleh segelintir minoritas yang menjadi lebih kaya dan serakah, sementara kaum miskin menjadi lebih miskin dan tertindas.

Beban kehidupan yang menindas rakyat miskin merupakan bentuk ketidakadilan yang tersembunyi di balik selubung modernitas, ketimpangan yang menunggangi kemajuan teknokratis, dan keserakahan akan pengendalian harta yang bercokol dalam diri segelintir penguasa, konglomerat, dan elite politik yang tidak pernah memikirkan nasib rakyat, selain diri sendiri dan kelompoknya.

Dalam situasi dan kondisi itulah setiap merayakan Natal sebenarnya umat Kristiani diajak untuk berefleksi, "Sejauhmana segala bentuk kegiatan perayaan Natal dapat kita jadikan momen istimewa untuk semakin menyelaraskan diri dengan-Nya?" Jika aroma keprihatinan masih begitu dominan dalam kehidupan di sekitar kita kita, tidakkah kita umat Kristiani tergerak hati sekaligus terpanggil untuk ”menghadirkan fajar keadilan dalam kehidupan bersama?” Berbagi dengan sesama, solider terhadap saudara-saudara yang berkekurangan, rela berkorban demi kesejahteraan bersama. Itulah tugas yang kita emban, untuk mewujudkan makna Natal yang sejati, demi mewujudkan keadilan dan perdamaian dalam kehidupan bersesama. Tentu saja kita lakukan itu semua dengan umat beragama lain, dengan siapa saja yang berkemauan baik.

Itulah makna pesan Natal Bersama KWI dan PGI tahun 2011 ini, ”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat Terang yang besar.” (Yes 9:1a). Dalam situasi kegelapan yang melanda kehidupan di dunai saat ini, Terang yang besar dan cemerlang sudah masuk ke dalam dunia. Terang itu Yesus Kristus, Juru Selamat, membawa pengharapan dan sukacita bagi semua orang.

Mulai bulan November tahun 2011 ini telah dilakukan sosialisasi sekaligus sensus umat dan pengisian kuesioner sebagai langkah awal pelaksanaan Sinode Keuskupan Banjarmasin tahun 2013 mendatang, untuk menyambut Perayaan Pesta Intan 75 Tahun Keuskupan Banjarmasin. Sinode tersebut bertujuan untuk menghasilkan keputusan-keputusan penting terkait arah dasar, visi misi serta perjalanan Keuskupan Banjarmasin di masa-masa yang akan datang. Kepada Para imam, suster, frater, biarawan/biarawati dan semua komponen umat Katolik di Paroki, Wilayah/Lingkungan/KBG hingga ke stasi-stasi di pedalaman Kalimantan Selatan, kami harapkan dukungan dan partisipasinya secara menyeluruh untuk menyukseskannya.
Di akhir November 2011 ini juga, bertepatan dengan permulaan Masa Adven 2011 telah dilaunching sekaligus disosialisasikan “Doa untuk Panggilan Calon imam”. Dukungan semua pihak pun sangat diharapkan untuk keberhasilan usaha ini demi kelangsungan pelayanan umat Katolik di Keuskupan kita. Karena di masa-masa mendatang, sangat dinanti-nantikan munculnya para imam dari daerah ini untuk melayani umat sekalian.

Akhirnya atas nama para imam, suster, frater, biarawan/biarawati yang berkarya di Keuskupan Banjarmasin ini saya mengucapkan ”Selamat menyambut Pesta Natal 2011 dan bahagia Tahun Baru 2012.”

Tuhan memberkati. Amin.



Banjarmasin, pada Pesta Pemberkatan Gereja Basilika Lateran, 9 November 2011



† Mgr Petrus Boddeng Timang
Uskup Keuskupan Banjarmasin

Materi Pelatihan I Team Input Data

Peserta dari Paroki Katedral
SINODE KEUSKUPAN BANJARMASIN

ALUR SINODE & TATA WAKTU






PROSES
KEGIATAN
WAKTU
INVENTARISASI DATA UNTUK POTRET KEUSKUPAN
Sosialisasi Alur Sinode, Sensus Umat dan Kuesioner oleh Tim SC ke paroki-paroki.
31 Oktober 2011
Pendistribusian dan  sosialisasi cara pengisian Blanko Sensus Umat & Kuesioner kepada umat.
Nopember 2011
Umat mengisi Blanko Sensus Umat & Kuesioner.
Nop – Des 2011
Ketua Komunitas/KBG/Stasi menyerahkan Blanko Sensus Umat & Kuesioner yang telah diisi umat ke Sekretariat paroki atau petugas input data yang telah ditunjuk paroki.
Paling lambat
15 Januari 2012

Paroki menyerahkan soft copy data sensus umat dan rekap jawaban kuesioner ke Tim SC
Paling lambat
30 Januari 2012
ANALISA & KLASIFIKASI
Berdasarkan data yang terkumpul, Tim SC melakukan pemetaan Realitas Keuskupan dalam 5 bidang.
-          Merumuskan situasi yang ada dan harapan-harapan umat.
-          Merumuskan masukan-masukan pastoral
Peb – Maret 2012

Tim SC mempersiapkan bahan untuk Pra-Sinode Tingkat Komunitas.
April 2012
PRA-SINODE
Pra-Sinode Tingkat Komunitas:
Berdasarkan Pemetaan Realitas Keuskupan, seluruh umat di komunitas/KBG/Stasi membahas akar persoalan di komunitas dan memberikan alternatif solusi atas persoalan tsb.
Peserta: Seluruh Umat di Komunitas/KBG/Stasi
Mei 2012
(4-5 kali pertemuan)

Pra-Sinode Tingkat Paroki:
Berdasarkan hasil Pra-Sinode Tingkat Komunitas, Paroki membahas akar persoalan di paroki dan memberikan alternative solusi atas persoalan tsb.
Peserta: Wakil Komunitas (2-4 orang)
Juni-Juli 2012

Pra-Sinode Tingkat Dekenat:
Berdasarkan hasil Pra-Sinode Tingkat Paroki, tiap Dekenat membahas akar persoalan di masing-masing dekenat  dan memberikan alternative solusi atas persoalan tsb.
Peserta: Wakil Paroki (15 orang)
Sep-Okt 2012

Pra-Sinode Biara
Peserta: Anggota Biara / Tarekat
Sept-Okt 2011

Pra-Sinode Kategorial
Peserta: Anggota masing-masing Kategorial
Sept-Okt 2011
SIDANG SINODE
Berdasarkan masukan-masukan dari hasil Pra-Sinode, dalam Sidang Sinode dilakukan pembahasan untuk menetapkan Arah Dasar, Visi dan Misi keuskupan Banjarmasin.
Peserta: Uskup, Vikjen, Dewan Imam, Wakil Paroki,     Deken, Pimpinan tarekat, Wakil Kategorial
Juli 2013
(3 hari)
PASCA SINODE
Menindaklanjuti hasil Sinode dan menjabarkannya pada tingkat paroki dalam rapat kerja.
Setelah Juli 2013


SENSUS UMAT

Ketentuan Sensus Umat:
A.   Siapa yang disensus:
1.          Seluruh umat Katolik (yang telah dibaptis) dan tinggal di Keuskupan Banjarmasin.
2.         Anak-anak yang bersekolah atau anggota keluarga yang karena pekerjaan/sekolahnya berdomisili di luar Keuskupan Banjarmasin tetap disensus, pada kolom alamat diisi alamat dimana ybs berdomisili.
3.         Umat yang berasal dari Paroki dalam Keuskupan Banjarmasin disensus di paroki asalnya
4.        Umat yang beragama Katolik dari luar Keuskupan dan sudah tinggal lebih dari 6 bulan juga disensus.

B.   Cara Sensus
Sensus dilakukan dengan cara mengisi blanko sensus umat.

C.    Ketentuan Pengisian Blanko Sensus Umat
1.     Satu blanko Sensus untuk satu jiwa (umat).
2.    Blanko sensus umat yang telah diisi, distaples per keluarga (KK).
3.    Yang dimaksud dengan KK adalah keluarga inti (ayah, ibu, anak) ditambah dengan orang lain yang tinggal di rumah tsb dan menjadi tanggungan dalam keluarga tsb.
4.    Umat yang tidak menjadi tanggungan dalam suatu keluarga dianggap 1 KK tersendiri sehingga dalam 1 rumah bisa saja terdiri dari beberapa KK.
5.    Yang dicantumkan sebagai Kepala Keluarga adalah salah satu anggota keluarga yang beragama Katolik. Contoh: pada keluarga dengan perkawinan campur, suami: non Katolik, istri Katolik. Yang menjadi kepala keluarga adalah istri, dan suami tidak disensus.

D.   Cara Pengisian Blanko
1.     Blanko diisi pada kolom yang disediakan secara benar, jelas dan lengkap. Contoh: pada point tempat baptis, krisma, pernikahan agar diisi nama Paroki & kota.
2.    Setiap ada perubahan pada data di balnko, umat diminta segera melapor ke ketua komunitas/ stasi/wilayah atau sekretariat paroki. Contoh: Kematian, pindah, pernikahan, dll.


KUESIONER

Ketentuan pengisian kuesioner:
1.        1 (satu) kuesioner untuk 1 keluarga dan diisi oleh salah satu anggota keluarga.
2.       Kuesioner diisi tanpa menyebutkan identitas/ nama keluarga yang mengisi sehingga rahasia dipastikan dapat terjaga.
3.       Diisi nama Paroki, Wilayah, Komunitas pada isian yang disediakan.
4.      Untuk pertanyaan yang memerlukan jawaban “Ya” atau “Tidak” (contoh: No. 1a. 1 hal.1), umat cukup memberikan tanda silang (x) pada kolom yang disediakan.
5.       Untuk pilihan jawaban “Lain-lain” (contoh: hal 7), mohon disebutkan uraiannya.
6.      Untuk pertanyaan-pertanyaan yang memerlukan jawaban terbuka (contoh: 1a. 3 hal 1) agar diisi secara jelas dan tidak bertele-tele. Bila kolom yang disediakan dirasa kurang, dapat diisi pada lembar tersendiri.
7.       Jawaban atas pertanyaan dalam kuesioner hendaknya diberikan secara jujur serta sesuai kondisi yang ada.


 PETUNJUK INPUT JAWABAN KUESIONER

Untuk merekap jawaban kuesioner telah disediakan file dalam bentuk Excel. Petugas input data diminta untuk memasukkan/meng-input jawaban-jawaban yang diberikan umat dalam kuesioner ke dalam file tersebut. Langkah-langkah input jawaban kuesioner adalah sbb:
1.       Isi nama Paroki, wilayah, komunitas/KBG/Stasi ke kolom yang disediakan.
2.       Ganti nama Sheet1, Sheet2, Sheet3…..dst dengan nama komunitas/KBG/stasi.
3.      Pada Sheet “REKAP”, ganti angka 1,2,3….dst pada baris/row ke-11 dengan nama komunitas/KBG/Stasi sesuai urutan Sheet.
Contoh: Sheet1 diberi nama Agustinus. Maka di sheet “REKAP” angka 1 pada baris “12” kolom “D” diganti dengan nama Agustinus.
4.      Mulai mengisi pada Sheet komunitas/KBG/Stasi dengan:
-          Angka “1” pada jawaban yang dipilih.
-          Bila yang diminta adalah jawaban kualitatif, seperti berapa….kali, berapa….orang, dll maka tuliskan angkanya, contoh pada baris/row “462-475”.
-          Untuk pertanyaan terbuka, isikan jawaban responden pada kolom yang disediakan. Contoh: pertanyaan pada baris/row “17”
5.      Sheet “REKAP” secara otomatis akan menampilkan total jawaban di paroki karena diperoleh dari hasil penjumlahan jawaban Sheet komunitas/KBG/Stasi. Oleh karena itu jangan mengisikan data pada Sheet “REKAP.”
6.      Jawaban kuesioner yang telah selesai diinput dikirim dalam bentuk soft copy dengan media CD ke Tim SC Sinode Keuskupan Banjarmasin di Wisma Immaculata atau di-email ke: sekr.uskupbjm@ymail.com. atau  sinode1kbj@ymail.com  
7.      Bila ada kesulitan dalam input jawaban kuesioner dapat menghubungi: Nining di email: margining@yahoo.co.id atau HP. 0816212300.









Minggu, 04 September 2011

GERAKAN SATYAGRAHA GANDHI SEBAGAI SEBUAH TEOLOGI PEMBEBASAN


Add caption

 Kemiskinan, ketidakadilan, penindasan merupakan suatu realitas yang telah ada sekian ribu tahun yang lalu. Sebuah realitas yang kiranya tidak bisa dipisahkan dari hidup manusia di dunia ini, persoalan yang tidak pernah ada habisnya. Agama sebenarnya diharapkan bisa membawa orang untuk keluar dari situasi seperti itu. Namun, tak jarang agama malah menjadi semacam tiket untuk melegitimasi ketidakadilan yang terjadi. Hal ini terjadi ketika agama berpihak pada para penguasa dan pemilik modal.
Di tengah situasi seperti itu, yang dialami juga oleh masyarakat Amerika Latin, lahirlah apa yang dinamakan sebagai Teologi Pembebasan pada tahun 1971. Teologi ini lahir dari keprihatinan para teolog Amerika Latin melihat situasi bangsanya. Kekerasan yang semakin melembaga terjadi di mana-mana, yang tidak hanya menimbulkan penderitaan, melainkan sudah menjadi sebuah kedosaan manusia. Para teolog pembebasan berpendapat bahwa penebusan dan Kerajaan Allah mesti diwujudkan sekarang dan di dunia ini. Dalam merumuskan perjuangannya, para teolog pembebasan berusaha membongkar tradisi-tradisi religius yang telah dimaknai secara salah sehingga melegitimasi ketidakadilan. Dari situ para teolog berusaha menemukan tradisi religius apa yang telah dilupakan sehingga dapat lahir sebuah teologi yang membebaskan.
Beberapa puluh tahun sebelum Teologi Pembebasan itu lahir dan terumus, ada seorang tokoh pembebasan dari India yang sangat terkenal sampai dengan saat ini. Ia adalah M. K. Gandhi. Gandhi adalah pemimpin politik dan spiritual paling terkemuka pada abad kedua puluh. Ia disebut Mahatma (Jiwa Agung). Gandhi hidup di tengah-tengah ketidakadilan yang ditimbulkan oleh diskriminasi rasial atas orang-orang Asia (India) oleh orang-orang Eropa (Inggris), di tengah-tengah penderitaan para buruh tani dan buruh pabrik yang ditindas oleh para tuan tanah dan pemilik perusahaan. Keadaan menjadi semakin kacau ketika tradisi-tradisi religius yang seharusnya mampu membawa mereka kepada pembebasan, ternyata malah menjadi semacam alat untuk melegitimasi ketidakadilan. Situasi seperti itulah tempat di mana Gandhi tumbuh dan berkembang. Situasi yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami juga oleh negara-negara di Amerika Latin, tempat di mana Teologi Pembebasan lahir.
Gandhi adalah bukan seorang pendiri sekte baru. Sekalipun demikian, ia mengumpulkan ide-ide dari semua tradisi religius, khususnya dari Hinduisme, dan membentuk suatu falsafah hidup yang unik dan kuat. Hidupnya adalah perwujudan dari falsafahnya. Pencapaiannya yang terbesar adalah penciptaan alat untuk aksi sosial, untuk membebaskan orang-orang India dari ketidakadilan dan penindasan yang membelenggu mereka, yaitu gerakan yang ia namai gerakan Satyagraha.
Gerakan Satyagraha merupakan gerakan pembebasan yang digunakan oleh Gandhi untuk memerangi penindasan. Jalan yang diambil adalah jalan tanpa kekerasan (ahimsa), jalan cinta universal. Karena jalan cinta universal, maka untuk melaluinya dibutuhkan pengorbanan (tapasya). Di dalam menemukan dasar gerakan Satyagraha, Gandhi juga menggali tradisi-tradisi religius Hindu yang telah dilupakan, di samping juga kemudian ia memunculkan prinsip-prinsip barunya tersebut (Satya, ahimsa, dan tapasya).
Di dalam Hinduisme ada konsep-konsep kunci, yaitu dharma, moksa, samsara, dan karma. Untuk dapat menemukan “superstruktur” apa yang telah ambil bagian dalam penindasan dan ketidakadilan, maka perlu melihat dan menganalisa konsep-konsep kunci di dalam Hinduisme tersebut. Berdasarkan dharma Hindu kuno, manusia dilahirkan tidak sama. Mereka dilahirkan dalam status kehidupan berdasarkan karma mereka di masa lalu. Konsekuensinya, ketidakadilan yang diterima seseorang cenderung tidak dilihat sebagai tidak adil, melainkan sebagai sesuatu yang pantas diterimanya. Konsep dharma yang ada di balik sistem kasta maupun varnas menyatakan bahwa orang melakukan apa yang menjadi kewajibannya, bukan haknya. Akibatnya, hak seseorang sering dilupakan karena memberi penekanan yang berat sebelah. Ketidakadilan yang sering terjadi akibat sistem kasta semakin ”termaklumi”. Penekanan yang kurang tepat akan moksa juga bisa membuat orang tidak peduli pada persoalan orang lain, yaitu jika seseorang untuk sampai padanya hanya melalui jalan pengetahuan (jnana) dan jalan devosi (bhakti) saja.
Setelah merumuskan “superstruktur” tersebut , Gandhi menilai perlu untuk melihat dan menemukan kembali nilai-nilai dari tradisi-tradisi Hindu yang telah dilupakan, sehingga darinya dapatlah lahir suatu teologi yang membebaskan. Sehubungan dengan dharma, Gandhi melihat adanya perpecahan yang mencolok antara dharma abadi (sanatana dharma) dengan apa yang kini dianggap sebagai dharma buatan manusia dan yang sanksinya ada dalam sistem sosial. Kelas sosial ataupun kasta merupakan hasil suatu sistem sosial, dan seharusnya tidak dicampuradukkan begitu saja dengan dharma, karena dharma yang ada dalam kelas sosial itu hanyalah dharma buatan manusia saja. Terhadap kharma Gandhi mempunyai pendapat bahwa antara kharma dan pelayanan orang-orang yang miskin maupun tertindas bukannya tidak ada hubungannya. Semua orang tertuju ke hidup yang baik, karenanya tidak ada alasan untuk membiarkan orang lain hidup dalam penindasan. Bagi Gandhi, kharma adalah sebuah pelayanan untuk hidup yang baik. Mengenai moksa, Gandhi mempunyai pendapat bahwa jalan untuk keselamatan atau pembebasan tak lain dan tak bukan adalah melalui pelayanan kepada sesama yang didasari oleh cinta (ahimsa). Ini didasari pada keyakinan bahwa Tuhan hadir dalam segala ciptaan.
Pemahaman, pemaknaan yang baru akan tradisi-tradisi yang hakiki dalam Hinduisme ini menjadi inspirasi, motivasi, dan dasar bagi gerakan pembebasan Gandhi. Sebuah praksis pembebasan yang lahir dari refleksi iman atas situasi konkret yang dihadapi. Sebagai jalannya, Gandhi memilih jalan Satyagraha. Di dalam jalan ini ada tiga pilar utama yang membangunnya, yaitu satya, ahimsa, dan tapasya. Satya (kebenaran) merupakan norma yang pertama dan utama. Kebenaran harus menjadi jiwa, tujuan, sekaligus kerangka seluruh perjuangan. Untuk sampai ke sana, satu-satunya jalan adalah melalui jalan ahimsa, jalan cinta kasih universal. Orang tidak akan sampai pada kebenaran kalau ia tidak didasari oleh cinta. Untuk mampu berpegang teguh pada ahimsa, orang perlu keberanian, jiwa yang besar. Keberanian dan jiwa yang besar ini berarti juga kesiapan dan kesediaan untuk berkorban, menanggung segala penderitaan (tapasya). Demikianlah, untuk sampai pada perjuangan Satyagraha seperti yang Gandhi tawarkan, orang harus memiliki tiga pilar tersebut sebagai dasar berpijaknya.
Dari pola-pola gerakannya, maka kita dapat mensejajarkan Gandhi dengan para teolog pembebasan lainnya. Gandhi berangkat dari praksis, yaitu persoalan-persoalan ketidakadilan, sebagai locus theologicus –nya. Ia mencoba mengkoreksi tradisi-tradisi religiusnya, yang secara sadar atau tidak telah mengafirmasi ketidakadilan yang terjadi. Gandhi mencoba menemukan dan memaknai secara baru tradisi-tradisi tersebut, dan menjadikannya sebagai dasar untuk suatu teologi yang membebaskan. Dan demikian, terumuslah Satyagraha sebagai bentuk teologi pembebasannya.