Orang Samaria yang murah hati |
Setiap kali kita berhadapan dengan fakta kematian, maka kita akan melihat bahwa segala sesuatu yang insani/ duniawi yang kita miliki pada akhirnya akan sirna. Kegagahan diri kita, kemolekan tubuh, harta benda yang kita kumpulkan selama ini, semuanya akan hilang ketika kita mati. Semuanya akan selesai. Habis. Fakta ini sebenarnya seharusnya lantas membuat kita berpikir untuk mencari sesuatu yang tidak fana, sesuatu yang tidak habis, sesuatu yang kekal. Pertanyaan ahli Taurat dalam Injil hari ini mungkin lantas menjadi pertanyaan kita bersama: "Guru, apakah yang harus aku lakukan untuk memperoleh hidup yang kekal?"
Dari dialog antara Yesus dengan ahli Taurat tersebut, kita bisa merekonstruksi bahwa ia merasa bangga sebagai orang yang paham seluk beluk Taurat dan lantas menganggapnya sebagai pelaku sejati. Dengan rasa bangga yang demikian, ia datang kepada Yesus, dan berharap Yesus akan menganggap ia memiliki hidup kekal. Tetai melalui perumpamaan orang Samaria yang murah hati, Yesus membongkar anggapannya dan menunjukkan makna Taurat yang sesungguhnya.
Makna Taurat tidak terletak dalam sikap imam dan orang Lewi dalam perumpamaan itu. Tapi makna Taurat yang sejati hadir melalui sosok seorang Samaria yang murah hati itu. yang walaupun ia dipandang rendah, dimusuhi oleh orang Yahudi, namun ia mau menolong orang Yahudi yang sedang menjadi korban perampokan itu. Makna Taurat sesungguhnya tidak terletak pada orang yang anggap dirinya tau - tetapi pada orang yang taruh belas kasih pada sesama, bahkan yang memusuhinya.
Yesus melalui perikop ini menunjukkan kepada kita bahwa hidup kekal, dapat diperoleh jika orang mau "mengasihi Tuhan" dan "mengasihi sesama". Mau menjadi sesama bagi orang lain. Kedua hal ini tidak hanya untuk diketahui, melainkan untuk dilaksanakan. Seperti yang telah dicontohkan oleh orang Samaria itu. Seperti yang dikatakan Yesus sendiri, "Pergilah, dan perbuatlah demikian."
Seringkali dosa kita adalah ketika kita hanya berhenti pada "tahu": hanya mengetahui yang baik. Kalau kita hanya berhenti pada "mau": hanya mempunyai niat saja. Contohnya: "Aku sebenarnya berniat tidak mencuri, tapi ....". Tanpa sampai pada "mampu": artinya mampu berbuat sesuatu yang diketahui baik - yang dikehendaki diperbuat baik itu.
Jika orang mengasihi Allah, maka dia tahu siapa dia di hadapan Allah. Dalam prefasi umum IV misa dikatakan: "..sungguh merupakan kehormatan bahwa kami boleh mengucap syukur kepadaMu, sekalipun Engkau tidak memerlukan pujian kami. Kami menyadari bahwa sembah bakti kami tidak menambah kemuliaanMu, namun sangat berguna bagi keselamatan kami..." Orang yang mengasihi Allah juga tahu bagaimana ia memperlakukan sesamanya. Sehingga dia tidak bertanya siapa sesamanya, namun sebaliknya: bagaimana aku menjadi sesama bagi orang lain. Inilah ibadah yang sejati
selamat berhari minggu bersama keluarga
Tuhan memberkati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar