Minggu, 28 Agustus 2011

Renungan Hari Minggu Biasa XXIIA

Yesus & Petrus

Suatu ketika ponakan saya dengan begitu polosnya berkata demikian kepada mamahnya, "Mah...mamah itu sudah tua, tapi kenapa tidak mati-mati ya?" Sebuah pertanyaan yang tentu saja membuat kaget mamahnya, dan juga setiap ibu yang mendengar kata yang serupa dari anaknya. Marah...bisa saja. Mangkel...tentu saja. Tapi, sebagai orang dewasa kita juga bisa mencoba memahami kata-kata anak kecil tersebut. Dia sebenarnya tidak bermaksut jahat, apalagi sampai berharap bahwa mamahnya agar segera mati. Namun kalimat itu diungkapkan karena memang pemahamannya yang hanay sampai di situ. Pemahamannya yang hanya sampai pada pengertian bahwa orang yang tua, akan mati. Titik, Tidak lebih dan tidak kurang. Batasan pemahaman membuat maksut dan arti ungkapan anak itu dipahami secara berbeda.

Hal yang kurang lebih mirip juga dialami oleh para murid dalam kisah Injil hari ini. Para murid merasa tidak bisa menerima, ketika Yesus menyampaikan bahwa diriNya akan menderita, mengalami penganiayaan. Para murid berpikir, bagaimana hal itu terjadi, karena Yesus bagi mereka adalah sosok yang datang untuk membawa pembebasan. Masak sang pembebas itu malah akan menderita, dianiaya, 'dikalahkan', bahkan sampai menemui ajal? Pikiran para murid tidak sampai pada apa yang Yesus kehendaki. Pada apa yang Tuhan telah rencanakan.

Reaksi yang sangat keras muncul dari sosok murid yang bernama Petrus. Dalam beberapa kesempatakan memang Petrus hadir sebagai sosok yang spontan, sedikit reaktif. Petrus diceritakan segera menarik Yesus ke samping dan berkata, "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau!"

Namun jawaban Yesus kiranya juga tidak kalah keras, Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus, "Enyahlah iblis! Engkau suatu batu sandungan bagiKu, sebab engkau memikirkan bukan yang dipikirkan Allah, melainkan yang dipikirkan manusia."  Perkataan Yesus memang terasa keras. Tapi, perkataan Yesus selanjutnya menjelaskan mengapa Yesus menegur Petrus begitu kerasnya. Petrus ditegur karena ia menghalangi kehendak Allah. Ia ditegur karena tidak mendengar kehendak Allah, ia menuruti apa yang dipikirkan oleh manusia. Ia mau lebih tahu dari pada Allah sendiri. Sikap-sikap seperti inilah yang seringkali diperbuat oleh iblis.

Selanjutnya Yesus lantas mengajar para murid, apa syarat untuk dapat mengikutiNya. Untuk dapat mengikutiNya, orang harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan kehilangan nyawanya.

Injil hari ini berbicara tentang misteri penderitaan Kristus dan maknanya bagi kita. Salib yang telah Yesus pikul menjadi tanda penolakan yang radikal dari kekuasaan politik dan agama (Yesus mati di tangan bangsa Yahudi dan ahli-ahli Taurat). Salib adalah tanda kemauan untuk mengabdi, memberikan diri, sekaligus juga penolakan atas segala macam egoisme. Egoisme memikirkan diri sendiri, salib mengajak kita untuk memiliki sikap altruis, memikirkan - peduli pada orang lain.

Kita mengikuti Yesus Kristus yang ditolak (salib itu merupakan tanda penolakan). Kita tahu dan dapat merasakan bagaimana jika kita mengikuti, hidup bersama dengan mereka yang ditolak itu. Kita mungkin (atau pasti lebih sering) akan ikut ditolak, atau setidak-tidaknya disingkiri. Namun, kita juga perlu membuka mata bahwa salib telah menjadi tanda yang mengubah dunia. Lihatlah para martir, yang rela memberikan nyawa demi Kristus. Theresia dari Kalkuta yang memberikan seluruh hidupnya untuk orang miskin. Petrus yang bertobat setelah perjumpanan denga Yesus.

Protes Petrus mungkin juga menjadi protes kita bersama. Ketidak mengertian Petrus, mungkin juga menjadi ketidak mengertian kita. Mungkin Tuhan juga akan menegur kita dengan keras. Tapi syukur kepada Allah karena kita hari ini sekali lagi mendengar injil ini, sehingga kita masih dapat bertobat. AMIN.

Selamat hari minggu
Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar