BEBERAPA SEGI DALAM SPIRITUALITAS IMAM [*]
Oleh : Mgr. Petrus
Boddeng Timang
Membina
spiritualitas imamat dewasa ini
merupakan kesulitan tersendiri bagi imam, baik yang biarawan maupun yang
diosesan. Bagaimana pun juga selalu harus ada empat dimensi pokok dalam
kehidupan seorang imam, yaitu triniter, ekslesial, misioner dan marian.
Dimanakah letak kekhasan spiritualitas
imam? Menurut hemat saya, itu terletak pada sikap hidup dan kepekaan
imam tersebut dalam menghadapi situasi jemaat di mana ia ditugaskan. Dibutuhkan
kreativitas yang terus menerus dari imam tersebut untuk menghayati hidupnya
dalam melayani umat. Jaman dan umat, menuntut seorang pastor menjalankan tugas
perutusannya dengan sebaik-sebaiknya serta berani mengesampingkan apa yang
menjadi kepentingan dan keinginan
pribadinya.
1. SPIRITUALITAS PELAYANAN
“Dengan
menerima tahbisannya imam menjadi serupa dengan Kristus” ( PO
12 ). Maka hidup seorang imam berpola dan bersumber pada Yesus, pada ajaran dan apa yang telah
diperbuat olehNya. Ia wafat dan bangkit untuk menyelamatkan umat manusia.
Titik
tolak pelayanan para imam adalah Yesus sendiri. Pola dan dasar pelayanan
seorang imam adalah Yesus. Para imam telah
“ditangkap” oleh Yesus. Sehingga karena pengenalannya dengan Yesus itu, yang
dahulu dianggap berharga kini dianggapnya sampah ( bdk Flp 3 : 7 – 8 ). Pelayanan imam berpangkal pada daya tarik pribadi Yesus
sendiri. Maka apa yang diwartakan oleh
para imam bukan sekedar pewartaan
tentang ini dan itu; pewartaan itu hendaknya ditimba dan mengalir dari dalam,
dari cinta Yesus sendiri ( bdk Luk 22 : 24 – 26; 1 Ptr 5 : 1 – 3 )
2. DOA PRIBADI DAN KESUCIAN IMAM
Doa
merupakan sumber dan puncak kehidupan
seorang imam. Dalam kenyataan banyak imam cenderung kurang memperhatikan
kebutuhan yang satu ini. Imam sering berdalih “doa saya ya bekerja ini”
atau “saya terlalu sibuk, jadi doa saya
ialah bekerja atau melakukan yang saya kerjakan ini”, dan masih banyak lagi. Tetapi apakah memang
demikian?
Apa
yang terpenting bagi seorang imam adalah adanya hubungan secara pribadi dan
mesra dengan Yesus sendiri; menimba kekuatan dari padaNya, dan mohon berkat
atas karya yang dilakukannya. Seorang imam perlu belajar menyisihkan waktu di
terngah segala kesibukannya untuk “bertemu dan berkcakap-cakap dengan Yesus”.
Apabila doa sudah hidup dalam diri seorang imam, maka wujudnya pun akan
dirasakan oleh umat, dan dari sinilah
umat dapat pula
mengalami kesucian seorang
imam. Maka perlu
ditumbuhkan dalam diri seorang
imam rasa tergantung pada Tuhan dan kebutuhan untuk selalu mohon bimbinganNya
dalam melaksanakan tugas panggilannya.
3. KENDALA PSIKOLOGIS DALAM
MEMPERJUANGKAN KESUCIAN IMAM
Dalam
menanggapi panggilan dan tawaran Allah, hidup seorang imam tentu diperhadapkan
pada berbagai kendala atau rintangan.
Untuk dapat mengatasi dan memanfaatkan kendala-kendala tadi dalam penghayatan
hidup yang khusus itu, dituntut pengorbanan dan pengingkaran diri, perlu dibina
sikap lepas bebas, hal mana membutuhkan waktu dan proses yang panjang.
Rasa
ingin selalu dihormati, berhasil, dipuji dan diperhatikan, takut gagal,
kebutuhan akan teman khusus dan lain sebagainya, selalu ada dalam diri dan
merupakan kebutuhan setiap orang. Namun demikian, seorang imam diharapkan mampu
menguasai perasaan-perasaan itu dan bukan sebaliknya perasaan-perasaan dan
keinginan itu menguasai dirinya. Apabila telah hanyut dalam situasi itu,
panggilannya boleh dikatakan tidak murni lagi. Karena dalam menjalakan tugas,
sesungguhnya kepentingan dirilah yang terus-menerus dicari.
Dari
seorang imam dituntut sikap mawas diri, selalu melihat dan merefleksikan
kembali motivasi panggilan yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Imam perlu
juga terus-menerus memohon kepada Tuhan rahmat selibat, kemiskinan dan ketaatan
sebagai konsekwensi hidup imamat supaya dapat menjalaninya bukan dengan
keterpaksaan tetapi dengan penuh syukur
dan kegembiraan.
Sikap
lepas bebas itulah yang terus menyadarkan
imam bahwa dirinya pun hanyalah sekedar salah satu alat yang dipakai
Tuhan. Dia telah memberi hidup dengan cuma-cuma, maka pelayanan dan pengabdian
imam hendaknya juga diberikan dengan
cuma-cuma sebagai wujud nyata cinta Tuhan kepada umatNya, yang sangat mendambakan uluran kasih.
4. ONGOING FORMATION DAN UPDATING
Dalam
menanggapi tuntutan jaman yang berkembang demikian pesatnya, dari seorang imam
dituntut suatu sikap mau belajar terus-menerus. Dengan belajar terus menerus,
dia tidak lagi terpaku pada apa yang diyakininya sendiri tetapi berani terbuka
pada kenyataan-kenyataan misalnya bahwa
semakin banyak awam yang semakin dan lebih pandai. Maka menanggapi hal yang
demikian itu dituntut kearifan seorang imam bagaimana melibatkan kaum awam
sebagai mitra kerja dalam membangun umat Allah. Tidak berarti seorang imam
kehilangan “kuasanya”. Para imam tetap menjadi
motor dan inspirator dalam perkembangan dan pendalaman iman umat.
Tetapi
untuk menunjang itu semua, dari seorang imam dituntut adanya sikap rendah hati, mau dikritik serta
menerima saran dari umat. Lebih dari itu, seorang imam hendaknya terus menerus
menggali sumber yang tak pernah kering yaitu Yesus sendiri dalam rangka menjalin hubungan secara lebih pribadi dalam pelayanan rohani
kepada umat.
Petrus Boddeng Timang
Uskup Keuskupan Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar