Jumat, 18 Mei 2012


EKARISTI SEBAGAI PUSAT HIDUP KELUARGA


Judul di atas merupakan tema pertemuan kedua dalam Pertemuan Pra Sinode Tingkat Komunitas. Yang melatar belakangi pemilihan tema tersebut sebagai titik awal refleksi bidang liturgi adalah beberapa hal berikut: dari hasil kuesioner terungkap bahwa pemahaman umat akan Ekaristi belum seragam, di sisi lain kerinduan umat akan perayaan Ekaristi begitu tinggi. Ada sebagian umat yang merasa tidak sreg kalau anak-anak ikut dalam Ekaristi secara penuh, padahal mereka tahu akan kewajibannya untuk mendidik anak secara Katolik. Adanya juga trend yang muncul: Ekaristi itu kaku, membuat ngantuk, kurang “kreatif”, membosankan, dan lain sebagainya. Berlatar belakang asumsi-asumsi tersebutlah saya mengajak anda sekalin untuk merenungkan makna Ekaristi dan pentingnya bagi keluarga. Apa yang saya tulis ini saya maksudkan juga sebagai sebuah eksplorasi atas apa yang dibahas dalam pertemuan kedua PPSTK.

Ekaristi kaya akan makna dan simbol
Sebagai seorang Katolik, lebih-lebih yang dibaptis sejak bayi, pasti sudah terbiasa dengan yang namanya Ekaristi. Bahkan karena terlalu biasa, kita melakukannya sudah dengan setengah otomatis. Tahu kapan harus bilang “Amin”, tahu kapan harus “berdiri atau duduk” dan lain sebagainya. Semuanya lantas nampak sungguh-sungguh mekanis.

Tetapi, ketika orang (kita – saya) ditanya apa arti dari yang kita katakan atau lakukan itu? Mungkin tidak banyak yang memahaminya. Ketidaktahuan inilah yang kiranya tak jarang lantas membuat orang (kita) merasa “kering”, “jenuh”, “lama” pada waktu mengikuti Ekaristi.

Kalau mau kita telisik, sebenarnya Ekaristi itu sangat kaya akan makna dan simbol. Pada titik inilah, saat kita menyadari makna dari bagian-bagian Ekaristi itu, kita akan menyadari keagungannya. Kita akan masuk dalam misteri yang kita rayakan. Saya akan menguraikan beberapa bagian saja, harapannya adalah menjadikan kita semakin memahami makna Ekaristi itu sendiri.

a.      Tanda Salib
Hal pertama yang kita lakukan untuk membuka Ekaristi adalah dengan membuat tanda salib. Sambil membuat tanda salib kita berkata: “Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus”. Ini adalah tindakan sederhana. Tapi, dengan membuat tanda salib ini sebenarnya kita sedang menyebut nama Tuhan.

Menyebut nama Tuhan berarti kita mengundang Tuhan untuk hadir serta terlibat dalam kehidupan kita dan menyerahkan semua yang kita lakukan dalam Ekaristi kepadaNya (cf. Kej. 4:26; 12:8, 26:25; 1Raj. 18:24, 32). Dalam Kitab Yehezkiel, suatu simbol berbentuk salib memiliki fungsi sebagai tanda perlindungan illahi dan ikatan perjanjian dengan Allah (9:4). Dalam Kitab Wahyu, tanda salib mempunyai arti bahwa orang yang mengenakannya akan dikhususkan menjadi umat Allah dan dilindungi dari penghakiamn ilahi (7:3). Jadi, dengan membuat tanda salib berarti kita juga mohon Allah melindungi kita.

b.      “Tuhan bersamamu”
Kata ini menyajikan suatu undangan kepada Allah untuk menyertai kita, hadir dalam hidup kita. Kalau kita memahami arti kata “Tuhan” bagi orang-orang Yahudi kuno, kita akan meraga bergetar menerima salam ini.

Dalam sejarah keselamatan, kata-kata kudus “Tuhan menyertai engkau”, diucapkan Allah ketika Ia mengutus umatNya untuk mengemban suatu tugas yang sulit mengatasi kemampuan manusiawi. “Aku menyertai kamu…” inilah kata-kata yang Allah sampaikan saat mengutus Musa keluar dari Mesir (Kej. 3:12), mengutus Yosua untuk menuntun umat memasuki tanah terjanji (Yos 1:5), memanggil Gideon untuk membela orang-orang Israel dari musuh yang kuat (Hak. 6:12), dan juga saat memanggil Maria menjadi Bunda Yesus (Luk 1:28).

Dengan mendengar dan menerima salam “Tuhan bersamamu” kita sebenarnya dipanggil untuk suatu tugas yang penting, dan kepada kita Allah senantiasa menyertai kita. Allah tidak membiarkan kita sendirian.

c.       “Tuhan Kasihanilah Kami”
Menyapa Allah dengan memohon belas kasihNya merupakan suatu kebiasaan yang sudah lama. Dalam Perjanjian Baru kita mengenal orang-orang datang memohon belas kasih Allah dalam pribadi Yesus.  Dua orang buta yang datang kepada Yesus berseru,”Kasihanilah kami, hai anak Daud” (Mat 9:27; 20:30,31). Orang tua yang anak perempuannya kerasukan setan (Mat. 15:22). Terhadap orang yang sakit ayan (Mat. 17:15). Dalam setiap kejadian, setiap kali orang memohon belas kasihNya, Yesus serta merta menanggapi dan melakukan mukjijat dalam kehidupan umat.

Dalam Ekaristi, ketika kita mengatakan “Tuhan, Kasihanilah kami”, maka berarti kita berseru kepada Tuhan agar Ia menyembuhkan segala kelemahan dan kebutaan rohani kita.

d.      Madah Kemuliaan
Saat kita bernyanyi madah Kemuliaan, madah ini dibuka dengan kata-kata: “Kemuliaan bagi Allah di surga, dan damai di bumi kepada orang yang berkenan kepadaNya”. Kalimat ini sama dengan yang dimadahkan para bala Malaikat di hadapan para gembala pada malam Natal pertama, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan padaNya” (Luk. 2:14).

Jadi, saat kita menyanyikan Kemuliaan, kita sedang bersama-sama dengan bala Malaikat di surga memadahkan pujian kepada Allah yang mahatinggi. Ini adalah madah surgawi!

e.       Bacaan-Bacaan
Bacaan Ekaristi kita mencakup empat kelompok utama Kitab Suci: Perjanjian Lama, Mazmur, surat-surat Perjanjian Baru (atau Kisah Para Rasul atau Kitab Wahyu), dan Injil. Liturgi kita diatur dalam lingkaran tiga tahun. Jadi, setiap tiga tahun, orang Katolik yang menghadiri Ekaristi tiap minggu mendengarkan hampir seluruh Kitab Suci.

f.       Syahadat
Bagi sebagian orang ketika menyatakan Syahadat mungkin akan serasa mengulang-ulang suatu pernyataan doktrinal semata.

Orang-orang Yahudi kuno mengenal yang namanya shema (shema – dengarlah). Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu (Ul. 6:4-5). Kata-kata tersebut memngungkapkan syahadat bangsa Israel. Kata-kata ini harus didaraskan beberapa kali dalam satu hari. Tujuannya adalah untuk menyatakan visi-misi pribadi dan nasional: Saya adalah seorang Israel yang mengikat perjanjian dengan Allah yang Esa dan benar, Allah seluruh bumi.

Bagi kita, syahadat juga mengungkapkan jati diri kita. Syahadat memberi makna yang mendalam akan hidup kita: Bapa mengutus PuteraNya untuk mati demi dosa-dosa kita dan mencurahkan RohNya ke dalam hati kita.

g.      Doa Syukur Agung
Doa ini mengungkapkan syukur atas kebaikan Allah, atas ciptaan Allah, dan atas campur tangan Allah dalam kehidupan umat manusia: atas karya keselamatanNya yang agung. Kata Ekaristi sendiri berarti syukur.

h.      “Kudus – Kudus – Kudus”
Dengan menyanyikan/ mengucapkan Kudus – Kudus – Kudus, kita turut serta dalam paduan Malaikat di Surga (Yes 6:3, Why 4:8). Dalam madah ini surga dan bumi bersatu. Sehingga, melalui madah ini Ekaristi semakin diteguhkan sebagai suatu peristiwa illahi: partisipasi dalam liturgi surgawi.

Apa yang sudah diuraikan di atas adalah sebagian saja dari apa yang dinamakan Perayaan Ekaristi. Dari yang sebagian itu kita lantas bisa sadar, ternyata Ekaristi itu sungguh bernilai luhur. Karena nilainya yang luhur itu, maka Ekaristi perlu senantiasa dihidupi dan diwariskan. Pertama-tama dan yang utama adalah pada putra-putri kita.

Keluarga Kristiani
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, sebagai “persekutuan hidup dan cinta”. Keluarga kristiani adalah “Gereja rumah tangga” atau “Gereja mini” yang ikut serta dalam tugas Gereja mewartakan Injil, pertama-tama dan terutama kepada anak-anaknya. Berdasarkan tugas imamatnya, keluarga Kristiani bersatu dengan Allah lewat doa, ibadat dan penerimaan sakramen: secara khusus dan istimewa dalam dan melalui Ekaristi.

Model cara hidup Gereja Perdana (Kis. 1,2) kiranya bisa menjadi contoh menjadikan keluarga sebagai sebuah Gereja Kecil. Bagaimana keluarga-keluarga dipanggil untuk membangun persekutuan di dalam keluarganya: sehati dan sejiwa, saling menghormati satu sama lain, bertekun dalam firman Tuhan (mendengar dan merenungkan bersama firman Tuhan), bertekun dalam doa bersama, dan secara khusus hadir bersama dalam perayaan Ekaristi.

Keluarga mempunyai panggilan untuk menjadikan Ekaristi ini sebagai pusat hidupnya. Yohanes Paulus II dalam Sacramentum Caritatis no 79 mendorong agar keluarga-keluarga kristiani memetik ilham dan kekuatan dari sakramen Ekaristi ini. Kasih antara laki-laki dan perempuan, keterbukaan kepada kehidupan, dan pendidikan anak-anak adalah iklim khusus di mana Ekaristi dapat mengungkapkan kekuatannya untuk mengubah hidup dan memberinya maknanya yang penuh. Kita sekalian diajak untuk semakin mencintai Ekaristi sejak dini.

Sering kita menjumpai bagaimana anak-anak terkesan keleleran saja saat orang tuanya ikut Ekaristi: entah bermain-main di luar, jalan sana-sini, bermain game di Gereja atau juga “sembunyi” di kamar saat ada Ekaristi komunitas di rumahnya. Ada kesan beberapa orang tua seolah-olah membiarkan saja hal itu. Sementara itu, di lain tempat, saya pernah menjumpai sesuatu yang sungguh berbeda: saat Ekaristi anak-anak duduk manis bersama orang tuanya. Mereka mengikuti gerak dan kata yang diucapkan orang tuanya. Ini artinya adalah, mengajak anak-anak kita untuk mencintai Ekaristi bukanlah hal yang mustahil. Tergantung bagaimana cara kita (orang tua) mengajarinya. Mengajak anak-anak kita ikut Ekaristi, duduk bersama mereka, memberikan penjelasan, saya rasa adalah cara yang terbaik dibandingkan membiarkan mereka begitu saja.

Para orang tua perlu senantiasa menyadari panggilannya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi putra-putrinya. Pendidikan (iman) anak tidak cukup kita serahkan kepada Paroki, Sekolah, maupun Guru Agama semata. Orang tua itu sendirilah yang bertanggung jawab serta berkewajiban menjamin pendidikan (iman) anak. Keteladanan dan dorongan kiranya masih menjadi kekuatan utama. Keluarga-keluarga yang menjadikan doa bersama sebagai pusat hidupnya perlu selalu dikembangkan. Mari kita semakin mencintai Ekaristi. Kalau tidak dari diri kita sendiri serta keluarga kita masing-masing, lantas dari siapa?

(c): Mo_ni 

Inspirasi:
Catholic for a reason III (Scripture and the Mystery of the Mass)
Scott Hahn, Ph.D., and Regis J. Flaherty (ed)
Emmaus Road Publishing, 1998
Ernest Mariyanto (terj.)
Malang: Dioma, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar