Dibacakan pada waktu perayaan
Ekaristi/Ibadat Hari Minggu Biasa V,
tanggal 9 dan 10 Februari 2013, di semua Gereja/ KapelStasi Keuskupan Banjarmasin.
“BEKERJA UNTUK
KEHIDUPAN DAN KEUTUHAN CIPTAAN”
Mgr
Petrus Boddeng Timang Uskup Keuskupan Banjarmasin
Para Pastor, Frater, Suster
serta seluruh umat Katolik di Keuskupan Banjarmasin
yang terkasih,
Salam sejahtera bagi anda
sekalian,
1. Pada
hari Rabu tanggal 13 Februari 2013, kita akan memulai Masa Prapaska, masa pertobatan.
Masa
Prapaska tahun ini sangat istimewa
karena dirayakan dalam Tahun Iman (11 Oktober 2012 sampai 24 November 2013) pada saat kita
sedang mempersiapkan perayaan 75 tahun usia keuskupan kita yang akan
dilangsungkan tanggal 20 Oktober 2013 yang akan datang. Selama
Masa Prapaska kita diingatkan dan
disadarkan kembali akan cinta Allah yang
luar biasa kepada kita umat manusia. Yohanes 3:16 menyatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia
ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang
yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”
Manusia memiliki kelemahan-kelemahan dan cenderung jatuh ke dalam dosa; dosa
yang berujung kepada kebinasaan kekal. Yesus Kristus telah turun ke dunia untuk
menebus dosa manusia dan membawa manusia kembali kepada keselamatan kekal lewat
sengsara, wafat dan kebangkitanNya yang dirayakan pada hari Paska. Masa Prapaska
merupakan saat istimewa untuk merasakan cinta Allah yang luar biasa itu lewat kerahimanNya
kepada manusia. Melalui laku tobat kita
mengungkapkan harapan dan kepercayaan akan belaskasih Allah yang mengampuni
dosa-dosa dan memulihkan kembali
martabat kita sebagai anak-anak Allah yang kudus. Nabi Yesaya dengan indah
mengisahkan kasih Allah tersebut, “Aku,
Akulah Dia yang menghapus dosa pemberontakanmu oleh karena Aku sendiri, dan Aku
tidak mengingat-ingat dosamu.” (Yes 43:25). Sabda Tuhan itu mendorong kita,
untuk membangun pertobatan yang sejati. Tuhan tidak pernah menghukum, namun
Tuhan selalu memberi kesempatan untuk
bertobat. Semangat dasar Masa Prapaska dengan puasa dan pantang serta laku
tobat, bukanlah sekedar ramai-ramai mempraktekkan askese, tetapi suatu
penyesalan yang lahir dari batin dan jiwa yang hancur. Bukan pula sekedar
pengganti kurban sembelihan, melainkan suatu kerinduan yang mendalam untuk
menyelaraskan batin dan jiwa kita dengan kehendak Allah seperti doa yang
diungkapkan oleh pemazmur : “Korban
sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak
akan kaupandang hina, ya allah” (Mzm 51:19).
2. Pertobatan selama Masa Prapaska adalah usaha untuk menyelaraskan
hidup dengan kehendak Allah. Seiring dengannya Gereja mengajak kita untuk
membuka diri terhadap situasi sosial kemasyarakatan di sekitar kita. Sebagai
bagian dari masyarakat dunia kita turut bertanggungjawab atas segala problema
dunia. Gereja menyadari adanya tantangan besar yang
dihadapi umat manusia yaitu perubahan iklim yang sangat mempengaruhi hidup dan
penghidupan umat manusia. Perubahan iklim telah menghadang dan menantang
pembangunan kesejahteraan hidup manusia. Perusakan lingkungan alam yang luar
biasa hebatnya sudah menimbulkan pelbagai kejadian luar biasa dalam hidup kita.
Banjir yang terjadi di Jakarta dan beberapa kota di sejumlah negara merupakan contoh konkrit
dari persoalan lingkungan yang telah rusak. Untuk wilayah Kalimantan Selatan
sendiri pada tahun ini tercatat 550 lokasi bencana banjir yang harus
diwaspadai, terutama pada puncak musim penghujan 2013 (Sumber dari Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai Wilayah Kalimantan Selatan (DAS Kalsel) dan Kalimantan
Tengah (Kalteng). Fenomena alam berupa cuaca ekstrim yang terjadi hampir di
seluruh belahan dunia juga menjadi permasalahan yang mulai dirasakan sebagai ancaman terhadap
kehidupan oleh banyak orang di Kalimantan Selatan. Hujan deras disertai angin puting beliung bisa terjadi dimana dan kapan saja di Kalimantan
Selatan ini dan dengan banyak kerugian: pohon besar bertumbangan, papan reklame
roboh, kerusakkan rumah dan sarana prasarana umum lainnya. Kerugian materiil
terbilang sangat besar, belum lagi korban
jiwa dan dampak buruk terhadap kesehatan. Perekonomian terganggu dan kenyamanan hidup manusia terancam.
Menyikapi
persoalan di atas, Gereja Indonesia
mengangkat tema “Mewujudkan Hidup Sejahtera” sebagai tema lima tahunan Aksi Puasa Pembangunan
(2012-2016). Hidup sejahtera adalah
hidup dalam kelimpahan. Bukan pertama-tama kelimpahan dalam hal barang-barang
duniawi, tetapi bagaimana menempatkan dan mengarahkan barang-barang duniawi itu
menjadi sarana menuju kepada hidup
ilahi. Allah menciptakan semua barang duniawi berupa alam semesta dan segala
isinya. Allah memberi tugas kepada manusia,”Penuhilah
bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung
di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1,28). Manusia
dipanggil untuk menaklukkan dan menguasai bumi dengan segala isinya dan dituntut
untuk mengerti bagaimana mengelola bumi
dan segala isinya dengan baik. Manusia juga ditentukan Allah sebagai penjaga
yang bijaksana atas alam ciptaan (bdk. Redemptor
Hominis, art.15).
Tema
“Mewujudkan Hidup Sejahtera” tersebut dijabarkan dalam tema APP 2012 menjadi ‘Panggilan Hidup dan Tanggungjawab’. Manusia
dipanggil untuk meningkatkan persatuan dirinya dengan Tuhan dan sesama sebagai
wujud tanggungjawab mitra kerja Allah
dalam menciptakan dan memperjuangkan kesejahteraan hidup. Pada tahun ini (2013) kita diajak mendalami sub tema APP
‘Menghargai Kerja.’ Usaha untuk mengelola bumi dan segala isinya serta menjaga
kelestariannya merupakan kerja manusia di bumi. Melalui kerjanya, manusia
dipanggil Allah untuk terlibat dalam pembangunan tata dunia. Manusia menjadi perpanjangan tangan
Allah dalam melaksanakan karyaNya di bumi. Manusia dimuliakan dan ditunjuk
Allah untuk ikut menciptakan bersama denganNya (co-creator). Oleh karena itu, kerja menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari hidup manusia. Bukan saja bahwa manusia perlu bekerja untuk
mencari nafkah, melainkan karena kerja adalah sesuatu yang kudus dan ilahi, merupakan panggilan dari Allah sendiri kepada
manusia.
3. Di depan sudah disinggung
bahwa perubahan iklim di bumi mengakibatkan munculnya berbagai bencana alam.
Disinilah dimensi kerja manusia itu berperan sangat besar baik untuk
menanggulangi atau meringankan bencana atau malahan semakin memperparahnya.
Allah memberi tugas kepada manusia untuk menaklukkan dan menguasai bumi beserta
isinya dengan sebaik-baiknya guna kelangsungan hidup di bumi. Manusia
diamanatkan untuk memenuhi kehendak Allah tersebut. Namun yang
sering terjadi : manusia cenderung
bekerja dan bekerja melulu untuk
mendapatkan keuntungan materiil belaka. Dengan demikian secara langsung manusia
sudah mengingkari tugas yang diperintahkan Allah. Manusia menjadi ciptaan yang
hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan tidak lagi peduli dengan ciptaan
lain. Keberlangsungan hidup seluruh ciptaan terancam. Di bumi Kalimantan Selatan
ini kenyataan serupa tidak asing. Pertanian monokultur dan pertambangan yang
tidak mengindahkan keutuhan dan kelestarian lingkungan marak
terjadi. Demikian pula pola pembangunan rumah dan gedung yang hanya mencari
kemudahan dan keuntungan sebesar-besarnya dengan tidak mengindahkan pentingnya
area peresapan air. Perilaku manusia yang malas bekerja untuk kebersihan
lingkungan juga begitu nyata dimana-mana.
Kerja merupakan
tindakan untuk memuliakan manusia bukan untuk menurunkan derajatnya
menjadi alat untuk meraih keuntungan semata-mata. Kerja juga merupakan
kegiatan manusia yang bekerjasama dengan Allah untuk memelihara lingkungan
hidup dan menjadikannya ruang yang nyaman untuk dihuni manusia. Bukan merusakkannya dengan akibat yang
menyengsarakan hidup manusia itu sendiri.
4. Ketiga bacaan pada hari Minggu
biasa V hari ini, 10 Februari 2013 (Yes. 6:1-8; 1 Kor 15:1-11; Luk 5:1-11)
menampilkan suatu pola dan tahap-tahap
serupa yang dialami tokoh-tokoh Yesaya, Paulus dan Petrus. Ada a)
pengalaman disapa oleh Allah, b)
perasaan tak layak sebagai manusia dalam menanggapi sapaan Allah, c) jaminan Allah bahwa perutusan itu akan
berhasil dan d) keputusan untuk maju terus.
Pengalaman para tokoh Kitab Suci itu, pengalaman kita juga. Semua yang ada pada
kita adalah anugerah Allah, panggilan kita sebagai anak Allah dan anggota
Gereja dan satu warisan dengan Yesus Kristus adalah melulu rahmat Allah. Kita
dipanggil untuk berjuang dengan gagah perkasa melawan dosa dan egoisme. Itu
juga suatu anugerah luar biasa. Demikian juga kemenangan akhir yang dijanjikan
adalah suatu rahmat istimewa.
Semangat
pertobatan selama Masa Prapaska merupakan upaya untuk menyelaraskan cara hidup kita dengan kehendak
Allah. Kita bertekad untuk mewujudkannya dengan langkah-langkah nyata. Kita
berani mengambil keputusan dan bertindak untuk tidak lagi merusak
lingkungan; sebaliknya menjaga keasrian
dan kelestarian lingkungan. Misalnya menanami
lahan kosong dengan tanaman yang tidak merusak lingkungan hidup.
Kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan dan membiarkan sampah bertumpuk di
sembarang tempat khususnya di sekitar aliran sungai kita berantas dengan menempatkan sampah
secara benar. Kecenderungan memperlakukan orang lain sebagai obyek kerja juga
kita rubah dengan memperlakukan mereka sama seperti kita memperlakukan dan
memuliakan diri sendiri; memberikan jam kerja yang layak dan upah yang layak
pula. Beberapa aksi konkrit lainnya perlu lebih dikembangkan lewat pendalaman
iman APP selama Masa Prapaska nanti.
Masa Prapaska
mengingatkan dan mendorong kita untuk kembali menyelaraskan hidup kita, cara kerja
kita, dengan kehendak Allah sendiri, yaitu dengan turut serta menyelenggarakan
kelangsungan hidup manusia dan keutuhan ciptaan. Selamat menjalani Masa
Prapaska yang penuh rahmat ini dalam semangat tobat sebagai ucapan syukur atas
cinta Allah yang luar biasa kepada kita. Selamat Hari Raya Imlek bagi umat yang
merayakannya. Tuhan memberkati . Amin.
Banjarmasin, pada Peringatan
Martir-martir Jepang, Paulus Miki, dkk.,06 Februari 2013
Mgr. Petrus Boddeng Timang
Uskup
Keuskupan Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar