Selasa, 26 Juli 2011

dalam sebuah bus2




M A A F K A N A K U….

Seuntai bunga kembali tergeletak di lantai depan kamar kost Rany, entah sudah yang keberapa kalinya dalam seminggu ini, Rany sendiri sepertinya sudah bosan mengingatnya, atau malah sudah tidak peduli lagi. Dan sama seperti hari-hari kemarin, segera diambilnya bunga itu dan dimasukkan ke dalam tempat sampah di samping pintu. Setangkai bunga mawar merah dibalut selembar pembungkus kado, dengan disertai sepucuk surat yang kata-katanya tidak pernah berubah….

Untuk Rany tersayang,
Aku sungguh mencintaimu,
Aku tidak bisa hidup tanpamu di sisiku
Dengan apa lagi aku harus membuktikan cintaku ini?
Kamu adalah segala-galanya bagiku.

Singkat memang kata-katanya. Dari situ sepertinya Rany sudah bisa menebak siapa pengirimnya. Seseorang yang belakangan ini menunggu-nunggu jawaban darinya. Seseorang yang dulu adalah teman baiknya, dan sekarang ingin menjadi orang pertama di hatinya. Untuk menjadi sekedar teman, Rany memang tidak keberatan, ia adalah tipe orang yang supel, banyak kenalannya, banyak temannya. Banyak orang yang menjadi “adiknya”, entah yang berumur lebih muda maupun yang lebih tua juga. Begi teman-temannya Rany adalah sosok yang begitu dewasa. Ia mampu menjadi figur kakak yang baik, ia begitu care dengan mereka. Keakrapan inilah yang sering disalahmengerti oleh orang lain. Namun harus bagaimana lagi, karena memang begitulah tipe dirinya.

Beberapa bulan yang lalu, Rany sepertinya adalah sosok wanita biasa. Wanita yang sudah merasa cukup usianya, pergi merantau mengadu nasip di luar pulau. Tak ada yang istimewa sepertinya. Mungkin orang yang mengenalnya hanya akan heran, mengapa orang sepertinya mempunyai tekat yang bulat untuk merantau sejauh ini? Jauh dari orang tua maupun sanak saudara? Tinggal sendirian jauh dari rumah? Wanita muda lagi, apa tidak takut? Dan seabrek pertanyaan lagi yang mungkin terlintas di benak orang yang baru pertama kali mengenalnya. Keheranan-keheranan yang terus menjadi misteri, karena dia selalu menolak untuk menceritakan alasan kenekatannya itu. Sepertinya ada sesuatu yang berusaha disembunyikannya. Sesuatu yang hanya ingin dimilikinya sendiri saja, entah sampai kapan.

Tinggal di sebuah kota pusat industri sendirian adalah suatu hal yang sepertinya kurang menguntungkan, apalagi bagi wanita secantik dia. Bahaya setiap saat bisa saja menghantuinya. Cerita-cerita kriminalitas yang menyeramkan sudah menjadi hiasan rutin setiap halaman surat kabar di kota itu. Namun harus bagaimana lagi, ini sudah menjadi pilihan hidupnya. Keinginannya sudah bulat, hatinya sudah mantap, ia harus pergi jauh dari kotanya, meninggalkan semuanya. Situasilah yang membuatnya menjadi sosok wanita yang sangat tegar, dan hal inilah sepertinya yang menjadi daya tariknya sehingga banyak teman-teman kerjanya yang suka padanya.

Hari ini Rany dapat jam pagi, dia harus sudah siap di tempat kerja sebelum jam tujuh. Seperti biasa, setelah beres-beres rumah dan segalanya telah siap, ia segera berangkat kerja. Jarak tempat kerja dari rumahnya memang lumayan jauh. Sekitar 20 menit kalau dia memakai angkutan kota. Kelihatan jauh memang, namun kalau sudah dijalani setiap hari pasti akan terasa begitu dekat. Datang ke tempat kerja, berjumpa dengan teman-temannya merupakan sebuah penghiburan baginya. Kepenatan kerja seharian akan sedikit tidak terasa ketika bertemu dengan mereka. Orang-orang yang saat ini cukup membuatnya tidak merasa sendirian, asing di perantauan. Rasa senasib bahwa mereka berada di tanah orang semakin membuat mereka akrab saja.

“Hai Ran, ada surat nih buatmu, “ kata Dewi teman sekerjanya,” Hayo, dari siapa lagi? Dari pacarnya ya?” goda Dewi.

Rany tertegun sejenak menerima sepucuk amplop putih polos di tangannya siang itu. ia heran dari siapa surat ini? Di depan tertera namanya. Ah…, Rany masih ingat tulisan siapa ini. Ya, tidak salah lagi! Segera ia mencari sebuah nama di baliknya, namun ia tidak menemukan apa-apa, yang ia temukan hanya tulisan Dari temanmu.

Sudah tidak sabar ingin segera dibukanya surat itu. Beruntung jam istirahat sudah tiba. Segera dia duduk di sudut ruangan, sengaja menjauh dari teman-temannya yang mungkin akan berbuat usil mengganggunya. Sejenak masih terus ditatapnya amplop putih itu. hatinya berdegub kencang, aliran darahnya seolah-olah mengelir begitu deras, sehingga jantungnya terasa semakin cepat terpacu. Pelan-pelan dirobeknya ujung amplop, seolah tidak ingin melihatnya nampak tercabik-cabik. Ditariknya kertas putih di dalamnya. Setengah terperanjat dia melihat gambar sebuah wajah konyol mengintip dari balik kertas,

He…he…, sebelum baca, senyum dulu dong!

Yah, tidak salah lagi. Kali ini Rany begitu yakin seratus prosen bahwa ini adalah tulisan yang selama ini dinanti-nantikannya. Gambar kocak wajah seorang anak kecil di balik kertas itu tidak bisa menipu lagi, ini benar-benar darinya.

Dear Rany yang caem….(duile, awas kalau GR lho!)
Sorry ya, aku baru sekarang bisa membalas suratmu. Bukannya aku lupa, cuman akhir-akhir ini penyakitku rada kambuh. Kamukan pasti sudah tahu sendiri kalau aku punya penyakit kronis…. Eit, jangan salah mengerti dulu, maksudku penyakit malasku itu lho. Gak tau ada apa, mungkin karena pergantian “cuaca” kali ya? Tapi ya sudah, yang jelas sekarang akukan sudah nepati permintaanmu, bahwa aku harus membalas suratmu (walau tidak sesegera mungkin, he…, he…)
Gimana kabarmu? Masih tetap seperti dulu kan? Masih agak gemuk (ha..ha…, membuat aku ingat waktu SMP dulu, saat kita harus ikut gerak jalan. Kulihat kamu agak kepayahan harus jalan sekitar empat kilometer, ha…ha, rasanya pengen aku gendong aja, tapi sayang aku agak langsing sih…) murah senyum? Dan satu lagi, masih tetap cerewet? Satu hal yang membuat banyak orang tertarik, termasuk aku kali ya? Ha…ha…, jangan GR gitu dong. Awas kalau tersenyum sendiri, ntar dikira gila lho?


Rany baru sadar, ternyata dia barusan tertawa sendiri. Matanya mencari-cari kalau-kalau ada yang melihatnya. Namun untunglah, rupanya tidak ada yang memperhatikannya. Semuanya lagi sibuk menikmati makan siangnya. Kembali matanya tertuju ke secarik surat yang masih ada di genggamannya.

Aku lama ngebalasnya karena jujur aja, banyak hal yang harus aku kerjakan di sini. Ya tugas ini itulah. Biasa, dosen-dosen sekarang rupanya rajin-rajin, maksudku rajin memberi tugas mahasiswanya. Balas dendam kali ya? Di samping itu, aku juga merasa bahwa berat sekali aku harus menjawab pertanyaanmu waktu itu.. aku tak tahu harus berkata apa….
Sebelas tahun memang bukan waktu yang singkat untuk membangun suatu persahabatan (maaf aku menggunakan kata persahabatan saja). Waktu yang cukup panjang untuk saling mngenal satu sama lain. Aku sangat bahagia karena kelanggengan persahabatan ini. Siapa to orangnya yang tidak ingin seperti kita? Semua orang pasti akan iri melihatnya. Dan semua orang yang mengalaminya seperti kita pasti tidak akan mau persahabatan yang telah lama terjalin itu kandas di tengah jalan, demikian juga dengan aku, dan tentunya kamu juga sependapat denganku.


Sejenak dihentikannya membaca surat itu. Nafasnya ditarik dalam-dalam. Seolah segala kesesakan di dada ini ingin segera dibuangnya bersama dengan hembusan udara yang keluar dari hidungnya.

Namun aku ingin mencoba melihatnya lebih jelas, tanpa dihantui oleh emosi. Dan semoga kamunya mau menerima segala keputusan yang telah aku buat ini, walau berat memang, namun aku telah berusaha membuat yang terbaik bagi kita berdua, bagimu dan juga bagiku.
Aku berterima kasih atas persahabatan yang telah kita lalui selama ini, dan aku tidak ingin persahabatan kita putus di tengah jalan. Aku ingin kamu bahagia. Yah…, kebahagiaan itulah yang aku inginkan dan juga tentunya kamu juga. Waktu sepertinya memang telah membawa kita ke jalan kita masing-masing. Aku telah memutuskan untuk mengambil jalanku sendiri (maaf kalau aku sebelumnya tidak memberi tahumu akan keputusanku itu), maka saatnya juga kamu mengambil keputusan terpenting dalam hidupmu. Aku tidak ingin dibilang pria yang egois, yang semaunya sendiri, yang mau menang sendiri. Bagiku, lebih baik kamu terima saja cintanya. Aku tidak tega kalau kamu harus terkatung-katung terus, tidak punya kepastian. Sepertinya memang sudah tidak ada yang perlu ditunggu lagi. Memang keputusan sebenarnya ada di tanganmu. Kamu yang lebih mengenalnya. Apakah dia benar-benar mencintaimu ataukah dia hanya lelaki bejat yang ingin mempermainkanmu, aku tidak tahu. Sekali lagi semuanya aku kembalikan kepadamu, ambillah yang terbaik bagimu, namun jangan sia-siakan hal yang terbaik itu hanya karena emosi belaka. Aku ingin kamu memutuskannya dengan kepala dingin. Jangan kawatir dengan persahabatan kita. Aku masih seperti dulu, tetap dan akan terus menjadi sahabatmu. Aku harap, kamu bisa menerima keputusanku ini, maaf aku tidak bisa merangkainya dengan kata-kata yang indah.


Terima kasih atas persahabatan kita selama ini, semoga kita masih bisa bertemu di lain waktu. Aku tetap menanti kabar darimu. Ingat,ini semua demi kebaikan kita. Selamat tinggal.
Dari seseorang yang selalu menyayangimu


Tanpa terasa air mata telah membasahi mukanya. Tangannya masih menggenggam erat secarik kertas itu. tiba-tiba tubuhnya terasa berat untuk bergerak. Tak kuasa ia menggerakkan kedua tangannya, kaki-kakinya juga terasa tidak mempunyai kekuatan untuk membuatnya beranjak dari kursi. Makan siang dan sebotol aqua di depannya tidak disentuhnya. Dunia seolah berputar, dan menjadi gelap.

“Ran, yok udah habis.”

Tiada terdengar jawaban, Rany masih terpaku di tempat duduknya. Suara Dewi temannya yang mengajak kembali bekerja rupanya tidak didengarnya.

“Kok nggak makan? Lho, matamu sembab gitu, habis menangis ya?” tanya Dewi.

“Ah tidak,” sahut Rany tergagap. Segera diusap wajahnya dengan sapu tangan.

“Yuk,” lanjutnya.

“Makanmu?”

“O iya.” Segera Rany beranjak dari duduknya.

Waktu rasanya berjalan makin lambat aja. Sisa waktu tiga jam terasa bagai seharian. Sudah tidak sabar Rany pengen segera pulang dan tidur, membuang segala perasaan yang menumpuk di hatinya. Ya kecewa, marah, bingung… dan seabrek lagi yang tidak dapat terkatakan. Ah, mengapa surat itu harus nyampai di tangannya? Apakah tidak lebih baik kalau surat itu nyasar ketangan orang lain biar Rany tidak membacanya?

88888888

Ah sial, baru enak-enaknya tidur kok diganggu. Segera diraihnya HP di atas meja. Rupanya ada sms yang masuk. Dari siapa ya? Apa Dewi mau ngajak Dugem, tapi dia kan udah punya pacar? Pasti dia akan pergi dengan pacarnya. Lagian kalau aku diajak, aku juga tidak akan mau, nggak enak, pikir Rany. Dari Bagas? Mau apalagi orang satu ini.

Hai Ran.
Ada acara tak mlm ini?
Ke Grj bareng yok?
Tak jpt jam 6 ya.
Bye.


Kalau sudah begini, bagaimana bisa menghindar lagi? Orang itu pasti datang, dan tidak mungkin tidak. Rany tak tahu harus buat alasan apa lagi. Sudah terlalu sering ia menolak ajakannya Bagas. Kekecewaan setelah membaca surat yang baru saja diterimanya membuat dia semakin tidak mampu menolak ajakan Bagas lagi. Toh sudah tidak ada yang perlu ditunggu lagi, semuanya sudah jelas bagi Rany. Dengan harapan akan mendapatkan obat penghibur lara, segera Rany beranjak dari tempat tidurnya menuju ke kamar mandi. Yah, mungkin sudah menjadi jalan hidupku? Desah Rany dalam hati.

“Masuk dulu yuk?”

“Dah siap?”

“Ntar tunggu sebentar lagi, aku belum sisiran.”

“Oke, tapi jangan lama-lama ya, ntar terlambat.”

Tanpa perlu menjawab lagi Rany sudah ngeloyor masuk ke kamar. Sebenarnya sudah tidak ada lagi yang perlu dikerjakannya, cuman Rany pengen menghindar aja dari Bagas. Saat ini dia masih malas kalau harus ngobrol berdua sama Bagas. Rany menerima ajakan Bagas hanya karena tidak tega aja sama maksud baiknya Bagas yang selama ini sudah terlalu sering ditolaknya. Lagian Rany memang lagi sebel hari ini.

“Yuk kita berangkat.”

Segera mereka meluncur di atas motor Bagas, menerobos dinginnya malam kota Malang. Tak banyak kata yang keluar dari mulut mereka. Bagas sendiri seolah tidak ingin memancing keributan. Berhasil mengajak Rany pergi malam itu saja sudah merupakan kemenangan yang luar biasa baginya. Kemenangan yang barangkali akan menjadi jalan bagi terbukanya kemenangan-kemenangan lainnya.

“Kita makan malam di mana?” tanya Bagas membuka pembicaraan malam itu sepulang dari Gereja.

“Kamu belum makan kan ?” lanjutnya.

“Terserah kamu aja”, jawab Rany singkat. Hatinya rupanya masih sakit, sakit atas sesuatu yang selama ini ditakutinya akan terjadi, dan siang tadi hal itu benar-benar terjadi.

“Kalau ke Pulosari aja gimana? Ayam gorengnya enak lho. Lagian malam ini pasti ramai, kan malam minggu.”

“Yah…, ikut aja.”

Kembali tidak terdengar pembicaraan di antara dua insan ini. Mereka terbawa oleh pikirannya sendiri-sendiri. Nampak di kanan-kiri jalan keramaian kota Malang semakin nampak. Di sepanjang jalan terlihat berpasang-pasang muda-mudi naik sepeda motor menuju ke arah pusat kota atau ke arah Batu. Memang kedua tempat ini biasa menjadi tujuan mereka untuk menghabiskan malam minggunya.

“Kamu mau pesan apa?” kata Bagas sambil menyodorkan daftar menu.

“Soto Kudus aja. Trus minumnya Juice Alpukat.”

“Dah itu aja?”

Hanya anggukan yang Bagas dapat. Malam itu suasana cafe di pinggir jalan Pulosari itu memang sangat ramai. Sangat pas bagi mereka yang ingin menghabiskan malam minggunya. Banyak berjajar cafe-cafe kecil yang menata suasanannya begitu asri, sangat bernuansa romantis, dengan dihiasi lampu yang berwarna-warni dan ditambah dentuman musik. Makanan dan minumannyapun relatif terjangkau oleh koceknya mahasiswa yang merupakan konsumen tetap tempat ini. Semua nampak beragam, namun ada yang sama dan menjadi ciri khas bagi tempat ini, yaitu menu jagung dan roti bakarnya. Kedua menu ini pasti tidak akan terlewatkan.

“Nih, makan ini dulu. Rugi kalau gak beli, udah nyampai sini”, kata Bagas sambil menyodorkan sebatang jagung bakar.

“Kamu sakit ya? Kok dari tadi gak banyak omong. Ntar aku ajak periksa aja…”

“Nggak-nggak,” serobot Rany, “ Aku baek aja.”

“Ya udah kalau gak apa-apa. Aku cuman takut kalau-kalau kamu kecapekan kerja. Tapi bener ya?”

“Bener”, jawab Rany sambil menatap Bagas, mencoba meyakinkannya bahwa ia baik-baik aja. Mata tajam yang begitu indah di bawah temaramnya lampu cafe.

“Ran, sebenernya aku mau minta maaf kalau perbuatanku kemarin membuatmu marah aja. Itu semua aku lakukan untuk membuktikan cintaku, kalau aku benar-benar mencintaimu. Tidak ada maksud lain. Bener.”

Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Bagas, dan hal ini membuat Rany terperanjat. Ia tidak mengira Bagas akan seberani dan secepat itu mengatakannya. Belum pulih benar kesadarannya karena kaget, tiba-tiba Bagas kembali mengatakan sesuatu yang membuat wajah Rany makin memerah.

“Aku sungguh mencintaimu Ran.”

Untung lampu ruangan itu begitu temaram, kalau tidak barangkali Bagas akan melihat perubahan yang terjadi pada mimik Rany.

“Maukah kamu menerima cintaku?” kata Bagas yang semakin berani.

Tiba-tiba saja Rani merasakan seolah-olah ada kayu berat yang menindih tubuhnya. Tak kuasa ia untuk menggerakkan mulutnya. Seluruh tubuhnya terasa lemas lunglai tak berdaya.

“Yuk makan dulu, aku udah lapar”, kata Rany mengalihkan pembicaraan ketika pesanan mereka datang. Untung saja, mungkin sudah diatur oleh yang di atas sana, pikir Rany.

Seolah tidak menghiraukan Bagas yang menungu-nunggu jawaban darinya, Rany segera menyantap soto yang ada di depannya. Rany tidak tahu harus berbuat apa kalau waktu itu pesanannya tidak datang. Untuk menerima Bagas ia masih merasa berat, namun bila harus menolaknya ia juga tidak kuasa menyakiti hatinya. Selama ini Bagas sudah mau menjadi teman baiknya di kala ia menjadi orang asing di tempat ini. Tidak mau menyakiti hati orang lain adalah salah satu kelebihannya, ataukah kebodohannya, khususnya untuk situasi seperti ini?

“Kalau kamu ada cuti, boleh gak aku maen ke tempatmu? Ya sore-sore aja, aku abis kerja juga. Hitung-hitung nemenin ngobrol, yah dari pada tidur sore. Katanya gak baik tidur sore-sore, banyak setannya,” kata Bagas mencoba memecah suasana.

Rany tetap diam saja. Ntah apa yang sedang dipikirkan anak ini. Seolah-olah ia tidak mendengarnya. Dengan santainya ia habiskan soto Kudus yang ada di depannya. Sekali-kali diusapnya keningnya yang mulai berkeringat karena kepedesen sambal.

“Mau nambah lagi?”

“Ah nggak, dah cukup. Terima kasih.”

“Ran, aku pengen ngatakan sesuatu padamu. Kamu keberatan nggak?”

“Em…, gimana ya. Ya udah ngomong aja,” jawab Rany ragu-ragu.

“Aku Cuma pengen dengar jawabanmu Ran. Udah terlalu lama aku menunggumu. Udah tidak sabar aku pengen denger jawabanmu. Please Ran. Kamu tentunya juga tidak ingin membuatku terkatung-katung kan? Membuat perasaanku tidak menentu? Aku tau benar itu bukan sifatmu. Aku ingin segera bisa bersamamu. Tolong aku, aku pengen dengar itu dari mulutmu malam ini,” kata Bagas memohon.

Rupanya Rany sudah menduga bahwa Bagas tidak akan mudah menyerah begitu saja. Dia pasti meminta jawaban darinya malam ini.

“Sorry Gas, aku belum bisa memutuskannya malam ini. Sungguh aku …. Aku masih belum bisa. Hari ini aku baru saja melalui hal terberat dalam hidupku. Aku masih bingung, tak tau harus bagaimana. Aku tidak ingin merusak semuanya. Kalau sudah siap pasti aku akan mengatakannya. Aku pengen keputusanku nantinya adalah yang terbaik bagi kita, ya bagiku dan bagimu. Sekali lagi sorry Gas, aku tau kamu pasti mau ngerti perasaanku.”

Bagas terdiam, perasaan kecewa karena harus kesekian kalinya ia harus mendengar kata-kata itu. Namun ia tidak mudah putus asa, karena memang itulah sifatnya. Kalau mudah menyerah, bukanlah Bagas namanya.

“Yuk, kalau gak pesan apa-apa lagi. Mau ke mana lagi abis ini? Masih sore nih, sayang kalau harus tidur duluan. Gimana kalau ke Payung aja, malam minggu gini pasti ramai.”

“Ah gak usah. Thanks. Lagian hari ini aku agak gak enak aja. Aku mau langsung pulang aja, kalau kamu gak keberatan. Mungkin lain kali aja.”

Gagal mengajaknya malam ini tidak begitu menjadi persoalan bagi Bagas. Ia masih tetap punya keyakinan bahwa suatu saat ia pasti berhasil. Bagas percaya bahwa maksud baiknya selama ini pasti akan bisa meluluhkan hati Rany. Sekeras dan setegar apapun itu.

*********

Malam semakin dingin. Jam di dinding sudah menunjukkan jam sepuluh malam, namun Rany masih nampak gelisah di pembaringan. Ia telah melalui hari ini dengan sangat berat. Kata-kata Bagas masih terngiang dengan sangat jelas di telinganya. Ah orang yang begitu baik. Di jaman sekarang mungkin akan sulit mencari orang sebaik Bagas. Mungkin banyak gadis yang sudah meliriknya. Namun mengapa malah aku yang dikejarnya? Tanya Rany dalam hati. Orangnya juga sudah punya pekerjaan yang mapan. Rumah juga sudah punya. Usianyapun sudah cukup untuk berumah tangga. Kurang apalagi? Wajah juga lumayan. Penampilannyapun tidak kalah dengan anak-anak kota, walau sebenarnya ia asli kampung. Gadis yang bisa mendapatkannya pasti akan sangat beruntung. Tapi, mengapa harus aku yang dikejarnya? Kembali tanya Rany pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba Rany bangkit dari tidurnya. Perlahan ia melangkah ke arah almari di samping tempat tidur. Dibukanya laci almari itu, lantas diambilnya sebuah album kecil berwarna hijau dari dalamnya. Sejenak ditatapnya dalam-dalam album itu. Agak ragu, kemudian dia duduk di pinggir tempat tidur. Wajah Rany nampak tersenyum ketika ia melihat seraut wajah yang nongol di lembar pertama. Terlihat wajah seorang anak kecil berusia sekitar belasan tahun. Agak kabur memang, karena sepertinya foto itu diambil dari jarak yang sangat dekat, sehingga nampak seperti di close-up saja. Seraut wajah yang sedang memakai blangkon.

Yah, foto yang mengingatkannya akan pada siapa cinta pertamanya berlabuh. Cowok yang di foto itu bernama Boy. Waktu itu mereka masih sama-sama di bangku SLTP, Rany satu tahun di atas Boy. Masa-masa di mana kata orang cinta antara dua insan mulai tumbuh bersemi, cinta yang sungguh suci. Banyak yang mengatakan itu semua hanyalah cinta monyet, cinta anak-anak. Tapi tidak begitu sepertinya dengan apa yang mereka alami. Sebelas tahun sudah setelah masa-masa itu, namun mereka ternyata masih bersama. Bukan waktu yang singkat bagi sebuah pertemanan. Banyak godaan dan cobaan yang telah mereka hadapi, tapi kesetiaan dan ketulusan cinta telah membuktikan bahwa mereka tidak dapat terpisahkan.

Masih teringat jelas dalam benak Rany saat-saat indah mereka bersama. Saat-saat bersama yang tidak mungkin terlupakan, sampai kapanpun. Mulai dari awal perkenalan mereka di dekat wc sekolah, saat pertama kalinya Boy apel dan harus menjawab pertanyaan Rany yang sampai sekarangpun Rany tidak tahu dengan pasti apa jawabannya. Saat Boy dengan malu-malu harus menjawab pertanyaan Rany apakah ia mencintainya? Ah…, masa-masa kecil yang menggemaskan.

Terlintas juga di benak Rany, saat-saat bersama di terminal Umbulharjo Jogjakarta. Saat ia harus ngrelain bolos kuliah demi ngantar sang kekasih kembali ke tempatnya untuk kuliah. Sudut-sudut terminal yang seolah-olah menjadi saksi hidup kisah mereka dan akan mematrinya entah sampai kapan. Keramaian Malioboro, jalan Mangkubumi, romantiknya suasana Jogja, sampai dengan depot kecil penjual Soto Kudus itupun juga terus terlintas dalam anggannya. Semua tempat, peristiwa, dan suasana yang tak mungkin terlupakan begitu saja. Bukan karena peristiwa atau suasananya pertama-tama, melainkan karena mereka yang ada di dalamnya. Kembali yang hadir adalah pengandaian-pengandaian. Seandainya waktu bisa berubah, seandainya ini, seandainya itu, seandainya…., seandainya…..

Bagi Rany, Boy adalah lebih dari pada sekedar seorang teman yang menyenangkan. Agak pendiam memang, tapi begitu mengenalnya ia akan enak diajak bicara. Waktu pertama kali melihatnya Rany memang sempat mengiranya orang yang sombong, namun setelah lama berlalu, ternyata tidak. Ia penuh pengertian, perhatian, dan setia lagi. Pernah suatu kali Boy harus bolos karena ia sudah terlanjur janji ketemu Rany di Jogja. Yah…, walaupun Rany harus menunggunya sendirian lama, namun ternyata Boy tetap memenuhi janjinya. Jauh-jauh ia rela pergi ke Jogja demi sebuah janji yang telah dibuatnya.

Rany tidak bisa mengingkari kata hatinya. Walaupun hari ini ia telah dibuat sakit hati setelah membaca surat Boy, namun ia masih tetap merasa sayang sama Boy. Sebenarnya Rany pengen marah, tapi tidak tahu harus melepas kejengkelan pada siapa? Pada Boy? Sangat sulit sekali, dia adalah tetap orang yang mampu mengisi hati Rany selama ini. Bagaimanapun juga, melupakan Boy setelah sekian lama bersama bukanlah hal yang mudah. Setiap kali Rany mencoba menghilangkan bayangan Boy, akibatnya malah akan semakin menyakitkan. Bayangannya akan semakin kuat terlintas. Ah…, apakah ini yang namanya cinta?

Tak terasa jam di dinding sudah menunjukkan tengah malam. Dentuman jarum jam terdengar keras memecah senyapnya malam. Semua orang sepertinya sudah terlelap dalam mimpinya masing-masing. Binatang-binatang malampun seolah-olah sudah payah untuk bersuara. Mata Ranypun mulai terasa berat. Perlahan dibaringkannya tubuhnya di tempat tidur. Alunan lagu Cinta Sejati milik Ary Laso seolah-olah mengiringinya tidur.

*******************
bersambung……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar