Senin, 25 Juli 2011

DI DALAM SEBUAH BUS 1



Bus yang aku tumpangi baru saja keluar dari terminal Tirtonadi Solo, rasa kantuk yang menyerangku sepertinya sudah mulai tidak tertahankan lagi. Kebetulan waktu itu sudah tidak ada lagi orang yang duduk di sebelahku, jadi aku bisa seenaknya sendiri. Matakupun mulai terpejam, deru bus semakin lama semakin sayup-sayup kudengar. Udara dingin yang keluar dari AC buspun kian membuat aku terlelap. Dalam keadaan yang setengah sadar itu terdengar seorang atau dua orang pengamen menyanyikan lagu, setelah sebelumnya berbasa-basi sejenak. Entah apa yang mereka nyanyikan, aku tidak memperhatikan, yang terdengar cuman deru bus bercampur klakson yang sekali-kali terdengar dan suara gitar yang rasanya kurang pas, entah karena stemnya atau karena memang sudah tua dan tidak layak lagi untuk dimainkan, cuman layak untuk digunakan mencari sesuap nasi. Tiba-tiba aku tersentak dari setengah tidurku, ya… aku mengenal lagu ini. Lagu ini tidak asing lagi bagi teliangaku karena memang aku suka menyanyikannya, dan lebih-lebih karena punya makna tersendiri bagiku. Akupun mulai membuka mata, pendengaranku mulai kutajamkan, dan memang benar ini adalah lagu kesukaanku.

…pulang ke kotamu,
ada setangkup haru dalam rindu.
Masih seperti dulu,
tiap sudut menyapaku bersahabat,
Penuh selaksa makna…


Tanpa kusadari mulutkupun bergerak mengikuti setiap kata dari lagu itu, bayang-bayang indah sekaligus tidak mungkin kulupa melintas di kalbuku. Ah…, mengapa harus muncul sekarang? Pikirku. Di saat aku tidak mengharapkannya, bayang-bayang itu malah kembali muncul. Kucoba untuk menghilangkannya, namun hanya kesia-siaanlah yang aku temui. Semakin aku coba singkirkan, semakin kuat pula ia melintas dalam benak dan nuraniku.

…ijinkanlah aku untuk slalu pulang lagi,
bila hati mulai sepi tanpa terobati…


Syair lagu itu begitu tajam menusuk kalbuku, mungkin yang menyanyikannya sendiripun tidak tahu kalau ada yang cukup tersiksa oleh syair lagunya. Hanya aku dengan diriku sendiri yang mengetahuinya, sedangkan Tuhan? Entah, aku juga ragu apa Ia mengetahuinya. Dan kalaupun Ia tahu, apakah Ia akan tahu dan mengerti keinginanku?
Aku sekarang memang sedang rindu, sepi menghantui jiwa. Entah di mana akan kutemukan obatnya, mungkin dengan kepulangan ini aku akan menemukannya, namun sekali lagi aku juga tidak tahu pasti. Seseorang mungkin sedang menungguku, tapi apakah masih ada kesempatan untuk saling bertemu? Ataukah masing-masing sudah malu dengan dirinya sendiri? Merasa tidak pantas untuk ditemui sehingga benar-benar tidak bertemu? Haruskah gelora hati terbendung oleh rasa malu? Tidak bisakah masa itu terulang lagi? Atau memang segala-galanya telah lain sekarang?
“Mas.’
“Numpang ngamen mas!”
“Eh…”, kataku tergagap. Segera kurogoh sakuku dan kusodorkan uang lima ratusan ke dalam dompet kumal yang disodorkannya.
“Makasih mas”, katanya tanpa diikuti oleh jawaban yang terlontar dariku.
Mulutku terkatup rapat, seolah terkunci tidak dapat bersuara lagi. Kota Jogja mulai kumasuki. Geliat kehidupan malam mulai terasa. Di pinggir-pinggir jalan nampak orang-orang mulai menata dagangannya. Di sudut lain nampak seorang anak gadis belasan tahun sedang menyapu trotoar, mungkin sedang menyiapkan tempat untuk menjajakan dagangannya. Tak jauh darinya nampak sepasang suami istri sedang mendorong gerobak, entah apa yang dijualnya. Sekilas kulihat segerombolan tukang becak sedang duduk-duduk di dalam sebuah warung. Tampak beberapa orang sedang makan, entah makan malamnya ataukah makan pagi, karena memang setelah seharian, baru sekarang bisa membeli makan. Di tengah-tengah gedung-gedung megah yang berdiri di kanan-kiri jalan, ternyata masih ada orang yang memperhatikan mereka, ya pedagang makanan itu sendiri. Orang kecil yang melayani orang kecil. Dengan uang sebesar lima ratus rupiah orang masih bisa mendapatkan nasi kucing, cukuplah untuk menenangkan perut. Namanya juga nasi kucing, isinya ya cuman sesentong nasi ditambah dengan sesendok sayur kacang dan secuil ikan asin atau tempe goreng. Tak banyak bedanya memang dengan mereka yang menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk makan di restoran mewah dengan mereka yang makan di emperan jalan maupun toko itu, mereka toh akhirnya sama-sama mengejar rasa kenyang, memuaskan sang perut.

Senja yang baru saja datang seolah-olah menyambut kedatanganku di terminal Umbul Harjo. Segera kulangkahkan kakiku keluar dari bus yang seharian telah membawaku. Semua terasa masih nampak sama, hanya waktu dan peristiwa-peristiwa yang memngiringinya sajalah yang membuatnya berbeda. Sejenak aku berdiri di samping pilar-pilar terminal, membuang kepenatan karena telah duduk seharian. Rasa capek dan pegal sepertinya belum terobati dengan hanya tiduran di atas sebuah kursi. Kucoba hilangkan kepenatan dengan berjalan ke arah ruang tunggu, sesampainya di sana segera kusandarkan tubuhku ke pilar. Sengaja aku nggak mau duduk, karena memang rasanya sudah terlalu capek pantat ini untuk duduk, sudah tiada kuasa lagi untuk menyangga tubuhku. Ah… megapa bayangan itu kembali muncul? Tiang pilar ini sepertinya memantulkan peristiwa beberapa bulan lalu yang aku alami di sini. Semuanya terasa begitu jelas, dan nyata.
“Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku mau ke wc dulu”. Segera kulangkahkan kakiku ke sudut terminal, mencari wc umum.
“Lama banget, banyak ya?”, tanyanya sambil diiringi dengan ketawanya yang begitu renyah.
“Enak aja, emangnya buang apa? Pas kebetulan lagi banyak yang antre, jadi harus nunggu agak lama.”
“Bawaanmu banyak amat sih, mau pindah rumah ya?”
Aku diam saja. Mataku menerawang bus-bus yang keluar masuk terminal, orang-orang yang berduyun-duyun ke luar masuk bus. Entah apa yang mereka pikirkan, mungkin ingin lekas bertemu dengan keluarganya masing-masing. Mungkin rasa gembira yang ada dalam hati mereka. Ah, seandainya aku dapat merasakan hal yang sama.
“Hayo… melamun aja ya? Udah susah-susah ditemani, eh malah melamun. Aku tinggal pergi lho!”
“Eh..”, sahutku terbata,”Sorry, aku nggak bermaksud demikian kok. Swear, aku cuman lagi…”.
“Tahu nggak, aku belain ngebolos demi nganter kamu. Tahu nggak?”
“Iya deh, aku yang ngaku salah. Yok duduk di situ sebentar, masih terlalu pagi sih, ntar aja berangkatnya. Di sana juga mau ngapain. Mendingan di sini nemani kamu, tul nggak?”
“Sialan lu”, jawabnya sambil mencubit pinggangku. Aku Cuma mengernyitkan bibir, menahan sakit.
“Kapan kamu pulang lagi?”, katanya membuka pembicaraan.
“Entahlah, aku juga nggak tahu. Mungkin nanti kalau liburan semester lagi.”
“Wah, lama banget. Bisa mati ntar aku karena kangen kamu.”
“Enaknya aja mau mati. Ntar kalau kamu mati, trus yang nganter aku ke sini lagi siapa? Kalau aku ngajak cewek lain emangnya kamu rela?”
Kembali bukan kata-kata yang keluar dari mulutnya, melainkan cubitan keras yang mendarat di lengankulah yang dia berikan.
“Sakit tahu! Emangnya aku ini Tyson, dicubit pake guntingpun tak merasa sakit?”, kataku sambil menarik lengan.
“Biarin aja. Kalau aku mati dan kamu selingkuh, aku bakalan jadi hantu yang selalu nakut-nakuti kamu. Biar kamu nanti nggak bisa tidur. Kalau ada cewek yang jadian sama kamu, pasti akan aku ganggu, biar dia ngacir. Rasain kamu!”, katanya dengan penuh kemenangan.
“Tapi kamu janji akan selalu sayang aku ya? Cuman aku aja ya?”, katanya dengan nada melemah dan penuh iba.

Aku hanya diam saja, kupandangi matanya, kucoba meyakinkannya bahwa dia bisa memegang kata-kataku. Kujabat tangannnya, dia hanya tertunduk diam. Sejenak kami diam, terbawa oleh pikiran kami masing-masing.

“Kamu tahu nggak, kadang aku takut. Takut kalau suatu saat nanti kita harus berpisah. Aku nggak tahu harus bagaimana?”, katanya dengan mata menerawang jauh. Bola matanya yang biasanya bersinar, sekarang nampak mulai sembab. Butiran-butiran air mata mulai menetes di pelupuk matanya. Raut mukanya berubah menjadi sendu. Kepalanyapun mulai tertunduk pelan. Terasa begitu berat beban yang harus ia tanggung. Tak ada kata yang bisa aku ungkapkan. Untuk beberapa saat aku terhanyut oleh kesedihan hatinya. Tanpa kusadari, matakupun mulai terasa berat. Tak kuasa aku pandangi matanya.
“Eh, mau beli koran nggak?’, kataku mencoba mengalihkan pembicaraan setelah beberapa saat aku bisa mengusai kembali keadaan.
“Ndak”, jawabnya singkat. Rupanya dia masih terbawa oleh perasaannya.
“Udah ya, aku nggak ingin kepergianku kali ini diiringi oleh kesedihanmu. Aku ingin senyummulah yang mengiringinya. Aku berjanji akan selalu setia. Kamu bisa memegang kata-kataku ini, swear. Dah, jangan menangis lagi”, kataku sambil mencoba meyakinkannya.
“Tuh ada anak kecil ngliatin, masak nggak malu?”, kataku disambut pukulan tangannya di pundakku. Ah…, ternyata aku bisa meyakinkannya. Sejenak aku merasa lega.
“Aku ada titipan barang sedikit, mungkin bisa kamu pakai buat bekal di perjalanan nanti.”
“Makasih ya, wah… kok kayaknnya semakin menambah jumlah kerepotan yang aku berikan padamu.”
“Nggaklah, malahan aku merasa mempunyai kesempatan untuk membuktikan cintaku. Kalau kamu menolaknya, mungkin…”
“Udah-udah,” kucoba menghentikan katanya,” Makasih ya. Aku nggak bakal deh menolak pemberian seseorang yang selama ini aku kagumi, aku cintai, aku…”
“Ha! Mau merayu ya?”, katanya sambil menyeringai.

Ternyata suasana telah kembali seperti biasa. Dan seperti biasa, ia mulai banyak ngomong, cerita sana-sini. Dengan setia kucoba mendengarkannya. Kesenduan yang beberapa saat yang lalu hinggap di hatinya rupanya telah hilang. Dia telah kembali seperti semula. Seorang gadis manis yang banyak omong, murah senyum dan….
“Hayo! Mulai mikirin siapa lagi”, sergahnya membuyarkan lamunanku, ”Pasti ngelamunin ceweknya di Malang ya. Ayo, ngaku terus terang aja!”
“Ah… ndak, ada aja kamu ini. Mulai cari gara-gara ya?”
“Sapa tahu udah ada yang nunggu di sana, akukan tidak tahu”.
“Udah siang ya,” kataku sampil berpaling melihat jam tangan yang melilit di tangan mungilnya, “ Aku berangkat sekarang aja ya, takut kalau kemalaman nih?”
“Takut kemalaman atau takut yang nunggu ngambek?”
“Huh mgacau”, jawabku sambil mencoba memasang tampang marah. Tapi rupanya jurusku tidak berhasil. Dengan senyum mungilnya ia seolah-olah mau mengerjaiku habis-habisan.
“Dah ya, aku berangkat sekarang? Lagian pas tuh ada bus yang ber AC”, kataku setengah meminta.

Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Kedua matanya menatap jauh kedepan, memandangi setiap orang yang turun masuk ke dalam bus. Kembali yang terdengar hanyalah deru mesin bus dan orang yang lalu lalang. Aku tidak berani menyapanya, sengaja aku biarkan ia terbawa oleh bayangannya. Aku tidak ingin kepergianku ini membawa luka yang mendalam baginya.
“Yah…,” katanya di antara desah nafas panjang dan berat,” Aku cuma ingin kamu mengingat-ingat kata-kataku ini, bahwa aku sangat takut kalau harus kehilanganmu. Aku rela kalau kamu harus pergi, tapi aku tidak rela kalau harus kehilanganmu.”
“Kamu bisa memegang kata-kataku”, hanya kata itu yang bisa aku lontarkan. Segera aku beranjak berdiri, meraih tasku dan memandangnya sejenak. Tak ada kata yang keluar, hanya mata yang saling berpandangan, membawa sejuta bahasa yang mungkin tidak bisa diungkapkan lagi oleh kata-kata. Dunia seakan berhenti dari peredarannya, suara-suara mesin sekan pula tenggelam dalam kegalauan hati. Semua menyanyikan kidung sendu perpisahan.
“Selamat tinggal”, kataku memecah keheningan sambil mencoba meraih tangannya. Kugenggam erat, tak ingin kulepaskan lagi.

Segera kulangkahkan kakiku memasuki bus, dengan perasaan yang sengaja kutegar-tegarkan aku melangkah. Dari dalam bus kulihat ia masih setia menunggu di luar, berdiri mematung. Bus segera berangkat. Kulambaikan tanganku kearahnya, iapun membalasnnya dengan secuil senyum yang menghias di bibirnya. Pelan tapi pasti bus melaju meninggalkan terminal, ia semakin jauh dan tidak kelihatan. Selamat tinggal Jogjakarta, selamat tinggal kawan, semoga lain hari kita akan bersua lagi, membawa kisah kita masing-masing.

“Permisi mas” , kata seorang ibu tua sambil menggendong dagangannya di pundak.
Ah…, ternyata aku telah hanyut dalam perasaanku. Kulihat jam di tanganku, ternyata sudah jam enam sore, berarti aku sudah cukup lama duduk termangu di situ. Diiringi temaramnnya lampu terminal aku melangkah keluar, melanjutkan perjalananku, meninggalkan kenangan yang pernah bersamaku di terminal ini, menuju kehidupan nyata yang telah menunggu di sana. Selamat malam masa lalu.



seperti yang kutulis 5 tahun yang lalu.
This entry was posted on Monday, October 6th, 2008 at 8:14 pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar