Selasa, 09 Agustus 2011

Ke Gereja: membawa Alkitab atau Puji Syukur? (Merenungkan peran Sabda Allah dalam Ekaristi)



Dulu, ketika masih mahasiswa, saya sering bertanya kepada teman saya,”Apa yang membedakan orang Katolik dengan orang Kristen lainnya?” Ada banyak jawaban teologis yang sering disampaikan oleh teman-teman saya, namun dengan sedikit guyon tanpa maksud merendahkan salah satunya saya katakan bahwa yang membedakan adalah apa yang mereka bawa saat hari minggu pergi ke Gereja. Orang Katolik biasanya membawa Puji Syukur, sedangkan orang Kristen membawa Alkitab di tangannya.
Mungkin itu adalah nampak sebagai joke saja, namun bila kita amati secara jujur, kenyataannya adalah memang demikian. Hal ini lantas membuat kita bertanya,”Konon Alkitab adalah kitab sucinya semua orang Kristen (termasuk juga orang Katolik). Kok orang Katolik menggantikannya dengan Puji Syukur?” Bukankah menjadi lebih baik ketika berlangsungnya misa kudus, umat Katolik mengikuti bacaan-bacaannya langsung dari Alkitab. Alasannya memang cukup masuk akal. Diharapkan bahwa dengan membawa kitab suci ke Gereja, umat akan semakin mengenal buku itu dan terbiasa dengannya.
Akan tetapi, bila hal tersebut didalami secara serius, permasalahannya akan menjadi lebih dalam. Apa si nilainya Puji Syukur bila dibandingkan dengan Alkitab? Bukankah Alkitab bernilai abadi, bahkan ilahi, sedangkan Puji Syukur hanyalah sebuah buku yang pada suatu saat pasti akan diganti dengan buku yang lain (seperti nasibnya Madah bakti)? Bukankah sudah waktunya umat Katolik mengubah kebiasaan mereka, dan mulai membawa Alkitab ke Gereja, seperti umat Kristen lainnya?
Menjelang akhir-akhir tahun kuliah, hal tersebut saya tanyakan kepada dosen Kitab Suci saya. Jawabannya membuat saya semakin yakin untuk tetap tidak tertarik membawa Alkitab ke Gereja pada waktu Ekaristi. Saya juga malah semakin bersyukur saat hal ini tidak diharuskan, dan mudah-mudahan tetap demikian. Puji Syukurpun sebenarnya kurang menarik bagi saya, tetapi kadang saya tetap membawanya. Bukan karena lebih baik atau lebih bernilai, tetapi karena memang dibutuhkan untuk dapat mengikuti beberapa lagu yang saya belum tahu.
Mengapa beberapa umat Katolik tertentu menghendaki agar Alkitab dibawa ke dalam perayaan Ekaristi? Salah satu alasannya sudah disampaikan di atas: agar umat lebih memperhatikan dan akrab dengan Alkitab. Alasan ini memang nampak positif sekali.
Kita perlu melihatnya secara seksama. Persoalannya adalah bukan soal boleh tidaknya membawa Alkitab pada waktu Ekaristi, akan tetapi persoalannya yang tepat adalah perlu atau tidak membawa Alkitab dalam Ekaristi. Konteksnya adalah “dalam Ekaristi”!
Misa kudus pada hakekatnya adalah sebuah perjamuan.
Bila seseorang diundang untuk menghadiri suatu perjamuan, apakah ia membawa buku-buku? Ibadah Kristen non Katolik lain sama sekali dari perayaan Ekaristi, dan hal ini kiranya yang kurang begitu disadari oleh umat Katolik. Ibadah mereka hampir selalu bukan perjamuan, melainkan ibadah sabda semata, dan karena itulah maka peran Alkitab sangat penting bagi mereka.
Allah hadir dalam Sabda.
Dalam perayaan Ekaristi-pun ibadah sabda berperan sangat penting, bahkan nilainya sama dengan ibadah Ekaristi/ Perjamuan. Hampir semua teks Ekaristi dikutip dari Alkitab, atau setidak-tidaknya diilhami olehnya. Namun, peranan sabda dalam Ekaristipun perlu dipahami dengan tepat. Semua teks Alkitab yang dibacakan dalam Ekaristi lebih berperan sebagai pemberitaan daripada bacaan belaka. Konstitusi Liturgi (SC) no 7 menandaskan bahwa Allah hadir dalam SabdaNya, karena Ia sendirilah yang berbicara bilamana di dalam Gereka Kitab Suci dibacakan. Maka teks-teks itu pertama-tama perlu didengarkan sebagai sabda Tuhan, bukan dibaca. Gereja bukan ruangan baca, melainkan tempat mendengarkan dan meresapi sabda Tuhan.
Hal tersebut sesuai dengan dokumen Gereja Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Illahi (Dei Verbum) no 21 yang menyatakan: “Di dalam Kitab Suci Bapa yang ada di surga dengan penuh kasih sayang menjumpai putera-puteriNya dan berbicara kepada mereka. …” Dokumen ini dengan jelas kembali menekankan peranan Sabda Allah (=pembacaan Kitab Suci dalam Ekaristi) sebagai sebuah jalan Allah untuk menyapa/berbicara dengan kita. Sabda Allah yang lantas memberi kekuatan iman, santapan jiwa, serta sumber murni dan abadi kehidupan rohani putera-puteri Gereja. Karena Sabda Allah itu hidup dan berdaya guna (Ibr 4:12). Ia mampu membangun dan menganugerahkan warisan kepada semua yang telah dikuduskan (Kis 20:32).
Yesus sendiripun tentu saja akan lebih senang bila umatNya dengan penuh konsentrasi mengikuti perjamuan suci yang diadakan atas undanganNya, daripada umat itu membaca buku, termasuk Alkitab pada waktu menghadiri undangan perjamuanNya. Bila setiap orang yang menghadiri perjamuan Ekaristi membaca sesuatu, sejauh manakah mereka sungguh bersatu? Mungkin mereka bersatu karena membaca teks yang sama, namun tidak adakah jenis persatuan yang lebih tinggi nilainya daripada persatuan karena membaca teks yang sama? Kita harus senantiasa menyadari bahwa kedatangan kita ke dalam perjamuan Ekaristi adalah sebagai tamu-tamu yang menerima undangan Yesus. Sebagai tamuNya, umatNya, seharusnya kita bersatu denganNya dan dengan umat yang lain. Umat adalah layaknya sebuah keluarga, dan sebuah keluarga tidak bersatu karena membaca teks yang sama.
Lantas bagaimana dengan alasan yang tadi dinilai “positif”? Memang  kita juga harus mengakui bahwa dengan membiasakan umat membawa dan membaca Alkitab di dalam Gereja, umat akan lebih cepat mengenal Alkitab. Namun membaca Alkitab dalam perayaan Ekaristi kiranya bukanlah hal yang tepat dan pas. Ekaristi adalah sebuah liturgi. Seluruh liturgi-pun adalah sabda Allah dan seharusnya dihargai sebagai Allah yang bersabda. Maka, sudah sepatutnya kita berdiam dan memperhatikan serta mendengarkan dengan seksama Allah yang sedang bersabda, Allah yang sedang berbicara kepada kita melalui seluruh perayaan Ekaristi. Mendengarkan dengan baik berarti memperhatikan setiap kata, menyimpan kata-kata itu dalam hati dan terus merenungkannya. Hal itu dilakukan oleh Maria, ibu Yesus. Ia jago sebagai seorang pendengar. Iapun tumbuh tahap demi tahap. Tepatlah kalau kita bersikap seperti Samuel yang menjawab sabda TUHAN dengan mengatakan, “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengarkan.” (1 Sam 3:9-10).

 (c):Mo_ny

Tidak ada komentar:

Posting Komentar