Kamis, 04 Agustus 2011

LUAR BIASA…




Ada pepatah Latin yang mengatakan De mortuis nihil nisi bene. Secara etimologis, pepatah itu berarti tentang yang sudah berpulang/meninggal, tak ada dikatakan kecuali yang baik. Terhadap mereka yang sudah meninggal hendaknya kita mengatakan yang baik-baik saja, kurang lebih demikian maksudnya. Entah untuk menjaga perasaan keluarga yang ditinggalkannya ataukah untuk menghormati yang sudah meninggal.

Bukan demikian pula maksud tulisan (bolehlah dikatakan refleksi) saya selama satu bulan tiga belas hari tinggal di Paroki SPM Yang Terkandung Tanpa Noda Kelayan ini. Hal-hal baik yang saya tangkap semoga menjadi pendorong untuk terus maju, dan hal-hal yang mungkin tidak mengenakkan, jikalau itu salah, mohon dimaafkan. Jika itu benar? Semoga dapat menjadi cambuk untuk terus maju dan berkembang.

Disambut dengan CD
Ketika di Seminari Menengah,di saat seminaris mau mengakhiri masa pembinaannya, mereka diwajibkan untuk mengikuti Colloquioum Doctum (CD). CD adalah semacam test wawancara, untuk menguji sejauh mana seminaris mampu mencerap pembinaan yang telah dijalaninya, khususnya sisi intelektualitasnya. Itu yang dulu saya alami. Tapi itu juga yang saya alami ketika pertama kali menginjakkan kaki di bumi Banjarmasin ini.

Saya mendapat informasi bahwa akan ada seseorang yang menjemput saya di bandara. Ketika tiba di bandara memang ada seseorang yang mengaku seorang bapak menghubungi saya. Saya tidak ingat persis namanya. Ketika di dalam mobil, selama dalam perjalanan meninggalkan bandara, banyak hal yang ditanyakan oleh bapak tersebut. Mulai dari apa itu imam, sampai dengan materi-materi kuliah yang didapat. Dengan gaya layaknya seorang dosenpun saya jawab semuanya dengan lancar dan meyakinkan. Bukankah rasul Petrus menghendaki kita agar mempertanggung jawabkan iman (baca: keyakinan, pengetahuan) kita terhadap mereka yang memintanya dengan lemah lembut dan hormat (bdk. 1 Ptrs 3:15)?

Sesampainya di Pastoran, yang baru kemudian saya ketahui sebagai Pastoran Paroki Kelayan, saya baru tahu bahwa bapak tadi ternyata Rm Allpharis Pr, Romo Kepala Paroki sekaligus Ketua UNIO Keuskupan Banjarmasin. Yah…kami semua (Saya, Rm Fut, Rm Allpharis) lantas tertawa. Hari itu kedatangan saya disambut dengan CD dan sukacita. Semoga ini menjadi awal yang indah untuk karya-karya saya (kita) selanjutnya. Lakukanlah segala pekerjaanmu dalam kasih! (1 Korintus 16:14).

Jangan Hanya Sekedar Hobby
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), hobby adalah (n) kesenangan istimewa pada waktu senggang, bukan pekerjaan utama. Secara etimologis kata ini berarti positif. Suatu kesenangan pasti akan selalu dikejar, diraih. Karena itu di dalam kesenangan pasti ada unsur ‘keinginan untuk terus mendapatkannya’. Adanya kebutuhan besar yang ingin dipenuhinya. Ada kerinduan. Ada ‘kehausan’.

Adalah kagum bercampur terkejut ketika saya mengetahui bahwa umat di paroki ini begitu antusias untuk mengikuti ekaristi. Indikasinya apa? Jumlah umat yang hadir dalam perayaan ekaristi harian (lebih-lebih saat sore) relatif banyak. Hampir tiap sore, selalu ada permintaan misa, entah misa arwah, midodareni, pemberkatan-pemberkatan, misa komunitas, misa syukur, dan lain sebagainya.

Ada komunitas yang begitu “hidup”. Walau ada juga yang “seadanya”, sebagai kebalikannya dari yang pertama. Hidup dalam pemahaman saya adalah ketika yang datang banyak dan beragam. Mulai dari anak-anaknya sampai dengan oma-oma, pria dan wanita. Semuanya nampak guyub, akrap (bdk Kis 4: 32, ..mereka sehati dan sejiwa…). Dan memang bukankah demikian karakter Gereja seperti itu? Gereja adalah persekutuan orang-orang beriman yang percaya pada Yesus Kristus (bdk. LG 9, Why 21:3, 1Kor 3:16, 1Kor 3:9, 1Ptr 5:2) . Gereja adalah Tubuh Kristus dengan Kristus sebagai kepalanya (Ef 1:22-23).

Gereja menyatakan bahwa Perayaan Ekaristi adalah perayaan luhur yang diwariskan Kristus kepada kita. Sejak Gereja Perdana, umat Kristen senantiasa bertekun “memecahkan roti” (Kis 2:42.46) untuk mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Sekaligus dalam Ekaristi ini kita menantikan kedatangan-Nya yang mulia pada akhir zaman (bdk. 1 Kor 11:26). Perayaan Ekaristi juga merupakan perayaan luhur dan penting karena melalui Ekaristi kita menerima “paket lengkap” kehadiran Tuhan (SC 7), yakni melalui:
[•] Umat yang berhimpun dalam nama-Nya,
[•] Imam, pemimpin perayaan Ekaristi, yang bertindak dalam nama Yesus,
[•] Kitab Suci yang diwartakan,
[•] Tubuh (dan Darah) Kristus yang kita sambut dalam komuni.

Akan tetapi, jangan sampai Misa/ Ekaristi lantas menjadi hobby semata. Menjadi kesenangan saja. Kesenangan itu hanya bersifat sesaat. Kesenangan adalah apa yang kita peroleh selama berlangsungnya kegiatan itu (Misa/ Ekaristi). Hal ini berbeda dengan kebahagiaan, walau nampak sama. Kebahagiaan adalah apa yang kita alami sesudah tindakan. Dapat dikatakan kebahagiaan itu lebih mendalam dan bersifat tetap, bahkan bisa sampai akhir hayat. Kebahagiaan itu membutuhkan usaha. Aeschylus mengatakan, “Happiness is a choice that requires effort at times.” Kebahagiaan berkaitan dengan pikiran dan menyentuh kedalamam diri/hati seseorang, “"Happiness is an inner state of well being. A state of well being enables you to profit from your highest: thoughts, wisdom, intelligence, common sense, emotions, health, and spiritual values in your life," demikian kata Lionel Ketchian.

Kebahagiaan sejatilah yang menjadi tujuan hidup manusia dan yang harus dicarinya dalam hidup. Dan itu terjadi dalam tindakan-tindakan kebaikan, kebajikan, dan keutamaan-keutamaan hidup.

SC 10 mengatakan liturgi sebagai puncak dan sumber kehidupan Gereja. Puncak berarti seluruh kegiatan liturgi pada akhirnya bermuara pada perayaan ekaristi, misteri Tubuh dan Darah Tuhan Yesus Kristus. Ekaristi juga menjadi sumber kehidupan Gereja. Anugerah-anugerah yang diperoleh dalam ekaristi menjadi sumber hidup Gereja.

Secara nyata anugerah-anugerah itu hadir jika umat semakin dinamis,terbuka pada kehendak Allah, tanggap terhadap persoalan-persoalan dunia secara kritis dan realistis (bdk. Kis 1:14, Rom 12:1-2).

Karena itu, adalah sebuah permenungan terus menerus bagi kita. Betapa “sering” kita merayakan Ekaristi, namun apakah kita sungguh-sungguh mau menjadi pribadi yang ekaristis? Mau berbagi (bdk. Memecah roti)? Hidup sebagai communio, persekutuan di komunitas? Secara dinamis (baik dalam komunitas maupun paroki)? Sebagai pribadi tanggap terhadap persoalan-persoalan dunia (di luar diri, keluarga, kelompokku)?

Dari Meja Ping-Pong Membangun Gereja (Paroki)
Mungkin kedengarannya terlalu mengada-ada, terlalu berlebihan statement saya itu. Membangun Gereja (Paroki) kok dari meja ping-pong.

Suatu saat ada pertandingan tenis meja yang begitu wah. “Wah” karena memang permainannya seru dan karena yang main adalah Rm Allparis, P Anton, P Willy, Petrus. Para “pejabat-pejabat teras” di Paroki ini. Mereka sangat kompak dengan pasangannya masing-masing, ulet dan kerja keras memainkan permainan, mempunyai strategi permainan.

Kekompakan merupakan dasar dalam membangun hidup bersama. Gereja merupakan suatu hidup bersama, karena itu kekompakan juga menjadi faktor penting di dalamnya. Kompak tidak berarti harus seragam, tetapi kompak berarti masing-masing memainkan peranannya secara harmonis dan dinamis. Secara indah hal ini diajarkan oleh Paulus dalam 1Kor 12:12-30. Setiap orang mendapat peranannya sendiri-sendiri (Rom 12:4-6a). Demikian juga di dalam membangaun Gereja (Paroki) setiap orang mempunyai peranannya sendiri-sendiri sesuai karunia (peran) yang diberikannya. Semuanya bekerja sebagai anggota-anggota yang tetap terikat pada satu tubuh (Gereja/ Paroki).

Ulet dan kerja keras. Kedua hal ini memang syarat mutlak. Membangun Gereja (Persekutuan/ Paroki) bukanlah hal yang gampang. Kita harus merelakan waktu dan tenaga kita. Juga materi dan pikiran kita. Belum lagi harus berhadapan dengan sekian banyak umat yang berbeda karakter dan kebutuhannya. Niat mau membangun Gereja (Paroki) memang membutuhkan kerja keras dan usaha serta pengorbannan. Yesus sendiri berbicara, "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat 16: 24).

Memiliki strategi. Membangun Gereja, jemaat, Paroki merupakan suatu karya Pastoral. Sebagai sebuah karya pastoral, maka dibutuhkan strategi agar tercapai tujuannya. Ada empat tahap/ langkah pengaktualan yang harus dilakukan apabila mau mengadakan suatu proyek pembangunan umat. Proyek (latin: pro dan iadico) berarti melempar ke muka atau ke depan. Oleh karena itu proyek berhubungan dengan sesuatu di masa depan atau di masa yang akan datang. Atau dapatlah dikatakan proyek merupakan studi pastoral dengan mengajukan sasaran jangka panjang.
1. Sasaran : mengadakan usulan-usulan ideal yang jelas, tepat, memungkinkan dan diinginkan.
2. Analisa : mempelajari secara mendalam realitanya.
3. Programasi : menetapkan suatu seri tindakan yang dapat menggerakkan apa yang nyata menuju apa yang ideal.
4. Evaluasi yang berkelanjutan.

“Menuju ke suatu citra paroki baru”. Suatu proyek memang sebenarnya dimulai dari masa mendatang. Orang tidak dapat mengadakan perjalanan pastoral tanpa mengetahui terlebih dahulu tujuan yang akan dicapai, yang telah dicanangkannya.
Motivasi yang menguatkan mengapa harus memulai dari masa mendatang untuk hal itu adalah:
• Masa mendatanglah yang mengembangkan masa kini.
• Yang ideallah yang membuat realita bergerak.
• Puncak gununglah yang menarik seorang pendaki, artinya tujuanlah yang mengarahkan semua aktivitas yang dikerjakan itu.

Kedudukan pastor kepala adalah berada di pusat lingkaran (bukan puncak piramida). Ia menjadi tanda, realisator, fasilitator dan dinamisator di dalam persekutuan pribadi-pribadi dan komunitas gerejani kecil lainnya. Demikian juga peran DPP (Dewan Patoral Paroki), ia merupakan badan konsultatif dalam persoalan2 besar penentu arah paroki.

Namun, harus selalu dipegang dan disadari bahwa pembangunan umat adalah masalah iman juga. Gereja adalah karya pembangunan Roh Kudus. Pembangunan adalah karya Roh Kudus. Hal ini dapat ditemui dalam 1 Petrus 2:5. Persekutuan/ Gereja/ Paroki umat pertama-tama adalah hasil karya Roh Kudus. Ini mendorong kita untuk memandang pembangunan umat pertama-tama sebagai hal iman dan sebagai paham teologis. Pembangunan Jemaat menantang iman kita untuk dapat melihat berkaryanya Roh Allah.

Jangan pernah meninggalkan karya Roh Kudus dalam membangun jemaat.

Ab
Imo Pectore…
Dari lubuk hati yang paling dalam, demikianlah secuil permenungan saya selama 44 hari tinggal di Paroki ini. Banyak syukur dan terimakasih atas segala pengalaman dan penyambutannya. Semoga kita (Gereja) semakin mampu mewujudkan diri untuk menjadi sacramentum salutis (Sakramen keselamatan) di tengah masyarakat. Dan untuk dapat menjadi sakramen keselamatan, kita harus mempunyai relasi yang mendalam dengan Yesus (tinggal dalam Allah, Yoh 1:39-42).

Kita tidak hanya banyak bicara tentang Allah, tetapi sangat perlu berbicara dengan Allah dan kepada Allah. Membangun “Persekutuan kasih Allah dengan manusia, manusia satu sama lain (bdk. LG 1) dan juga manusia dengan lingkungan alam sekitar”. Karena itu, senantiasa ingatlah bahwa tugas panggilan Gereja Katolik yang utama yaitu membangun persekutuan cinta yang inklusif dengan semua orang.

Di mana ada persekutuan kasih, pengampunan dan dialog yang iklas di sana ada keselamatan, di situ ada keadilan dan damai.

Ad Maiorem Dei Gloriam.
©: Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar