Selasa, 19 Juli 2011

DI SEBUAH SENJA



Pagi ini aku sengaja bangun agak siang, karena memang badanku masih terasa sangat capek setelah kemarin seharian duduk di dalam bus. Udara dingin pegunungan terasa masih menusuk tulang, sebuah sweater warna putih yang aku kenakan rupanya tidak juga mampu untuk mengusir dinginnya udara pagi itu. Sinar sang surya yang mulai menembus masuk ke dalam kamarku lewat sela tirai-tirai seakan membawa kabar yang lebih baik bagiku pagi itu. Dua ekor burung gereja yang sedang bercengkrama di atas pohon mangga di sebelah kamar kiranya menggodaku dengan mengatakan,” Hai anak manusia, bangkitlah dari tidurmu. Lihat, sang surya telah menampakkan sinarnya, kehidupan telah dimulai, dunia telah siap menyambutmu.” Dan bila mereka dapat berkata-kata, mungkin mereka akan semakin mengejekku dengan kata-kata yang akan mengurangi kebahagiaanku pagi itu. Dan untunglah, mereka tidak dapat berbicara.

Hari yang sangat cerah, gumanku dalam hati. Belum ada rencana yang aku buat untuk mengisi hari pertamaku ini. Yang ada di dalam benakku adalah menghilangkan segala kepenatan bangku kuliah dengan segala tetek bengek tugas-tugas yang mengiringinya. Untuk menghilangkan rasa capek yang berlarut-larut aku segera mandi. Guyuran dinginnya air pegunungan rasanya membawa kesegaran yang baru dalam diriku. Selesai mandi, segelas teh panas telah menungguku di ruang makan. Ah, kebetulan sekali, aku memang sudah lama merindukan teh buatan ibuku. Belum selesai aku minum teh, ibuku datang menemuiku.
“Gimana tidurnya? Kayaknya pulas banget ya?”
“Ya bu, capek banget rasanya. Tak tahulah, biasanya ya ndak kok.”
“Tapi janjinya gimana? Jadi ndak? Adikmu udah menunggu lho dari tadi.”
O iya, aku baru sadar. Semalam aku telah berjanji dengan adikku untuk mengantarnya kembali ke tempat kostnya pagi ini. Sejenak kulihat jam tanganku. Sekarang udah jam sepuluh, artinya aku molor satu jam dari yang aku janjikan semalam. Wah gawat!
“Ya udahlah bu, aku akan ngantar adik dulu. Dia di mana sekarang?”
“Tuh udah menunggu dengan wajah cemberut di depan sana. Nggak sarapan dulu?’, tanya ibuku.
“Nggaklah, ntar dia menunggu lama,” kataku sambil menyambar jaket dan helm terus berlari keluar menemui adikku yang sudah menunggu.



Siang itu udara terasa begitu panas, apalagi matahari barusan melintas tepat di atas kepala. Udara yang terasa kering di awal musim kemarau ini semakin membuat kepala ini pening. Tak ada banyak pembicaraan yang terjadi, rupanya aku dan adikku sama-sama terbawa oleh pikirannya sendiri. Entah apa yang dipikirkannya, aku nggak tahu, atau malah nggak mau tahu ya? Aku sendiri sibuk dengan pikiranku sendiri, sesuatu yang terus membayang di batinku semenjak aku pulang kemarin, malahan semenjak aku memasuki kota Jogjakarta.

Selesai mengantar, aku tidak segera pulang. Sengaja aku putar-putar dulu, mencoba menyegarkan ingatanku lewat sudut-sudut jalan yang aku lewati, yang rasanya hanya aku saja yang dapat memaknai setiap sudutnya. Semua masih nampak sama, tidak banyak yang berubah. Mungkin hanya waktu dan peristiwa yang mengiringinya saja yang banyak berubah. Sudut makam, tempat aku duduk-duduk menunggu adikku kalau pas menjemput juga masih nampak sama. Di depannya sebuah Sekolah model Belanda masih berdiri megah, masih menampakkan kejayaannya. Dan mungkin memang benar, banyak orang yang sampai sekarangpun masih mengakui kehebatannya. Banyak orang dari penjuru pulau ini, bahkan dari luar pulau yang menyekolahkan anak atau kerabatnya di sana. Warung dawet pun masih ada di sana. Ah, memang tidak banyak yang berubah.

Matahari sudah nampak mulai melintas ke arah barat, namun panasnya masih terasa menyengat. Ah…, terlalu siang untuk segera pulang, pikirku. Mendingan aku putar-putar dulu, siapa tahu dapat kenalan baru, hitung-hitung bisa untuk dijadikan teman mengisi hari-hari liburku. Tapi siapa yang libur ya? Semua masih pada masuk, yang libur ya cuman kampusku aja. Di luar kebiasaan memang. Segera kupacu sepedaku membelah ramainya kendaraan yang hilir mudik memadati jalan-jalan siang itu. Waktupun terus berjalan seiring dengan berputarnya roda sepeda motorku. Panasnya matahati yang tadi menyengatpun lama-lama menampakkan kelembutannya. Cahyanya yang merah meronapun mulai nampak, menandakan bahwa ia akan segera berangkat ke peraduannya, setelah seharian menemani insan di bumi dengan sinarnya.

Ah, kok sembrono banget aku ini? Seperti tersentak dari lamunan aku baru sadar bahwa aku pasti sudah dinanti-nanti kedua orang tuaku di rumah. Mereka pasti bertanya-tanya mengapa aku tidak segera sampai rumah? Tak ingin membuat hati mereka cemas, akupun segera mengarahkan sepedaku menuju rumah.
“Dari mana saja?” tanya ibuku sesampainya aku di rumah.
“Muter-muter dulu bu, sekalian liat-liat kalau-kalau ada yang berubah. Eh…ternyata semuanya kok masih nampak sama”.
“Ya sudah kalau tidak ada apa-apa. Mandi dulu sana, makan malamnya juga belum siap ini”.



Malam baru saja datang. Simponi malam mulai menggema di ujung-ujung jalan. Dunia yang setelah seharian diisi oleh bisingnya suara manusia sekarang telah diganti oleh suara-suara alam dan binatang-binatang malam. Rembulan mulai menampakkan sinarnya, memasuki peredarannya menggantikan sang surya. Bintang-bintang yang bertebaran di angkasa, semakin menambah semaraknya malam. Mereka seolah berseru, mengagungkan begitu dasyat dan mengagumkan karyaMu, wahai Sang Pencipta!

Kusandarkan tubuhku di atas tempat tidur. Hari memang masih terlalu sore untuk tidur, tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dari sini terus kupandangi ujung langit, mencoba menangkap setiap titik cahaya yang nampak di pelupuk mataku. Di tempat ini, ya beberapa tahun yang lalu aku menghabiskan hari-hariku, bergelut dengan buku-buku pelajaran. Kamar ini adalah sahabat yang paling setia menemaniku, saksi di kala aku sedih maupun senang. Di tempat ini kadang aku tumpahkan segala perasaanku.

Kutatap sebuah cermin yang terpampang di salah satu sudut kamar, kupandangi diriku yang nampak di dalamnya. hei kau, apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu menjadi seperti ini? Masih ingatkah kamu denganku? Cermin itu seolah mengajakku berbicara. Lihatlah, ada apa? Apa kamu lupa, hanya aku yang dapat mengerti dirimu? Hanya aku yang dapat melihat dirimu seutuhnya? Aku tidak bisa kamu tipu! Aku bisa melihat semuanya! Ah…, segera kubuang wajahku dari cermin itu. Kugapai radio tape yang ada di atas tempat tidur. Hai sobat, kita jumpa lagi, gumanku.

Satu persatu mulai kuputar canelnya, kucari yang pas dengan hatiku. Sejenak kuhentikan ketika terdengar lagunya Katon, entah judulnya apa, tapi yang jelas aku sepertinya kenal. Dan tanpa dikomando lagi, segera mulutku komat-kamit mengikuti setiap penggalan syair lagu tersebut.

Di relung-relung kamarku
Kulihat kau tersenyum
Berangkaian kata rindu
Puisiku untukmu
Kasih … adakah waktu tersisa
Untuk dapat saling bicara
Tentang …

Ah, syet…, gila! Aku kan malam ini ada janji untuk bertemu dengan temanku. Ah…, mengapa begitu bodohnya aku ini? Mengapa sampai bisa lupa? Jangan-jangan dia sudah pergi karena menungguku terlalu lama. Atau, dia akan marah atas perlakuanku ini? Apa yang harus aku perbuat? Di tengah kekalutan, segera kulangkahkan kaki keluar kamar, yah… aku tidak tahu apa yang bakal terjadi, tapi yang jelas aku harus ke sana. Aku yakin ia masih setia menungguku. Aku tahu betul bagaimana dia, dan dia pasti akan menunggu. Aku begitu yakin. Kulangkahkan kakiku melewati temaramnya jalan, dan bayangan lagu itu terus terlintas di benakku, seolah telah terpatri di dalamnya.
………
Tidakkah kau tahu
Kuselalu mencari waktu
Tuk bertemu denganmu
Lihatlah kedua mataku
Bersinar resah dan jiwaku tlah lelah
Ataukah karna
Slalu kubersikap seperti adanya
Yang lemah dan berhias kesalahan
Tiada sempurna



“Udah lama menungguku?”
Tak terdengar jawaban, yang ada hanya suara burung malam diiringi angin lembut menerpa wajah ini.
“Sendiri saja?”
“St…, jangan berisik. Aku sedang mengamati kedua burung itu.”
Segera kulayangkan pandanganku ke samping. Tak jauh dari tempatku ada sepasang burung sriti yang sedang bertengger di dahan pohon beringin. Rupanya mereka sedang asyik menikmati buah-buah beringin yang mulai berwarna hitam, pertanda sudah tua. Aneh memang, jarang bisa ditemui burung sriti mau bertengger diam begitu lama. Biasanya ia dengan lincahnya bergerak ke sana ke mari, hinggap di satu ranting, dan kemudian pergi ke ranting lainnya.
“Udah liatnya?” Tanyaku.
“Malam ini rasanya kok begitu dingin ya?”
“Biasalah kalau musim kemarau,” jawabku sekenanya saja. Sepertinya saat ini hujan masih sering turun, tapi…ah, dia sepertinya juga tidak memperhatikan itu.
“Kapan pulang? Jadi kemarin?” Tanyanya.
“Jadi…, sorry ya, nggak ada oleh-oleh.”
“Uh!”
“Acara week end-nya?”
“Yah lancar. Aku pulang duluan, udah nggak sabar ingin ketemu kamu,” kataku mencoba menggodanya.
“Aku ada fotonya kalau kamu mau lihat apa aja yang aku lakukan. Asik juga lho, banyak kenal sama orang.” Segera kukeluarkan sebuah album kecil yang memang sudah aku persiapkan dari tadi, hitung-hitung sebagai oleh-olehlah.
Lembar demi lembar mulai dibukanya album itu. suasana yang temaram di bawah pohon asem itu seakan tidak menghalanginya untuk terus membalik setiap lembaran foto yang ada di tangannya. Sekali-kali dia berhenti sejenak, menatap cukup lama, terus tersenyum sendiri sambil menatapku. Entah apa yang ada di benaknya waktu itu.
“Ini siapa?”
“Yang mana?”
“Ini lho, yang duduk di sampingmu waktu kamu niup lilin.”
“O…, itu anak sana. Pas waktu mereka ngerayain ulang tahunku. Aku sebenarnya nggak ngomong juga lho kalau aku ulang tahun, tapi…, yah dasar anak muda, mereka masuk seenaknya ke kamarku, liat-liat bukuku, trus ketahuan kalau….”
“Kalau ini pas ngapain lagi?”
“Kalau itu sih pas lagi rujak-an, waktu itu kan ada yang….”
“Yang ini?” Dia kembali bertanya.
“Mana?” Kudekatkan wajahku untuk melihatnya.
“Orangnya kok terus sama ya? Aku jadinya malah curiga, jangan-jangan ada apa-apanya nih?” Katanya dengan disertai tatapan mata yang penuh selidik. Temaramnya lampu taman kiranya tidak bisa menyembunyikan pancaran matanya yang pengin tahu. Sejenak aku tidak menjawab, malah aku tertawa sendiri.

“Kok tertawa, apanya yang lucu? Apa pertanyaanku salah? Apa aku salah bertanya demikian? Kalau salah ya udah, lebih baik aku pulang saja….”
“Lho…, kok malah marah. Aku ketawanya karena geli melihat sikapmu itu. Kamu ngawur deh!” Kataku membela diri.
“Malah marahin lagi, udah tahu bersalah masih aja membela diri.”
“Eit…, yang salah itu siapa?” Kataku nggak mau kalah, “Aku kan ngatakan yang sebenarnya. Yang ngalami kan aku, jadi aku yang tahu. Masak kamu sudah tidak percaya lagi sama aku?”
“Hei, mulai merayu ya?”

Tak ada jawaban yang keluar dari bibirku. Sengaja aku mendiamkannya saja, aku tidak ingin suasana malam yang begitu indah ini menjadi rusak oleh kesalah pahaman saja. Pertemuan yang sudah lama kunantikan ini, dan mungkin dia juga menantikannya.

Malam terus berlalu, gumpalan awan hitam bergelayutan di langit, di antara gemerlapnya taburan bintang-bintang. Dinginnya malam kembali menusuk tubuh ini, selembar kaos dagadu ternyata tidak dapat menahan dinginnya. Burung-burung sriti terus beterbangan ke sana-ke mari, seolah-olah berlomba dengan kelelawar untuk mendapatkan biji-biji buah beringin yang mulai hitam karena tua.

“Kamu sudah mantap ya untuk ngelanjutin sekolah di Malang?” Tiba-tiba dia mulai membuka pembicaraan.
“Ya jelaslah, khan aku udah di Malang. Kamu ini gimana sih, mulai ngelantur ya…?” Jawabku sekenanya.

Kembali sunyi yang terdengar, hembusan angin malam yang kian dingin terasa menyapu wajah ini. Belaiannya cukup membuat hati ini bergetar merasakan begitu agung dan indahnya karya Sang Pencipta. Begitu dalam rahasia alamnya.

“Aku serius nih”, katanya tiba-tiba membelah kesunyian. Duduknya semakin didekatkan ke arahku, seolah-olah ingin agar aku serius memperhatikannya. Kedua matanya menatapku tajam, seakan-akan ingin menembus hatiku yang paling dalam, ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya.

“Yah…,” kataku diiringi desah nafas yang panjang,”Aku tidak tahu apakah itu pilihan terbaikku saat ini. Aku juga tidak tahu apakah hatiku juga ada di sana. Aku sendiri juga bingung.”
Sejenak tidak kulanjutkan kata-kataku, tidak tahu lagi apa yang mesti kukatakan.
“Yang aku sadari betul adalah bahwa apa yang aku jalani sekarang rasanya semakin membuatku jauh saja darimu. Tapi entah kenapa, semakin jauh darimu, aku malah semakin tidak bisa melupakan dirimu”.
Kembali aku terdiam, menyusun untaian kata yang telah hilang, mencoba merajutnya kembali.

“Aku kadang juga heran, mengapa aku memilih jalan ini. Mungkin kamu tidak menyetujuinya, dan hal itu bisa aku pahami. Aku dulu juga telah lupa tidak memberitahumu mengenai keputusanku ini. Secara sepihak aku telah memutuskannya, dan ini tentu saja menyakitkan hatimu. Tapi sekedar kamu tahu saja, bahwa aku juga merasa sakit. Sakit atas keputusanku sendiri, atas apa yang telah aku pilih. Semuanya terasa berat bagiku, sungguh aku sebenarnya tidak bisa memilih di antara keduanya. Kalau sekarang aku di jalan ini, mungkin hal ini terjadi karena aku tidak berani memutuskan, memilih yang mana. Aku sungguh tidak mampu, semuanya terasa berat bagiku”, kembali tidak kulanjutkan kata-kataku.

Kata-kata yang meluncur dari mulutku seakan telah kembali habis. Aku terdiam, namun hatiku telah sedikit lega karena telah mengatakan itu semua. Apa yang telah aku pendam selama ini akhirnya dapat aku ungkapkan malam itu.

“Yah.., kadang aku mengatakan inilah takdir. Kata yang begitu mudah diungkapkan, yang kadang hanya sekedar untuk menutup luka, tidak lebih dari membohongi diri sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, karena aku juga sadar bahwa demikianlah yang terjadi.”
“Tapi, apa kamu tidak ingin merubahnya?”
“Sulit”, sautku semakin larut dalam suasana,”Aku merasa tidak mampu. Sungguh aku tidak mempunyai kekuatan untuknya. Kadang aku sadar juga bahwa aku telah membohongi diriku, menipu diriku sendiri, mengingkari suara hatiku. Namun harus bagaimana lagi?”

…………………………………………………………….. Bersambung: entah sampai kapan?
This entry was posted on Monday, October 6th, 2008 at 8:12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar