Rabu, 27 Juli 2011

Lima tahun telah berlalu….




Semuanya nampak baru…begitu cepat kota ini bergeliat. Setelah diterpa gempa yang begitu dasyat, baru kali ini aku kembali menginjakkan kakiku di kota ini. Sisa-sisa kehancuran memang sudah tidak terlihat lagi. Sepanjang jalan solo, yang dulu Nampak begitu porak poranda, sekarang sudah tidak meninggalkan jejak bekasnya. Hanya luka di hati saja mungkin yang masih membekas dalam diri mereka yang mengalaminya waktu itu. Yah…,ibarat luka, bila luka itu di tubuh maka akan dapat dan lebih mudah diobati. Namun, bila yang terluka adalah hati, maka sungguh akan susah mengobatinya.

Ada yang mengatakan bahwa “Tubuh adalah penjara jiwa”. Mungkin benar. Tapi bagiku…tidak selamanya benar. Kadang malah bisa sebaliknya, “jiwa yang memenjarakan tubuh”. Ambil contoh saja, ketika sesorang mengalami luka yang mendalam di hatinya, maka rasa sakit ini akan mampu membuat tubuhnya enggan bertemu dengan orang yang membuatnya terluka. Berhari hari…bahkan juga bisa bertahun-tahun. Atau juga yang paling sering dan gampang ditemukan adalah seringkali kita menjumpai orang yang mengatakan, “Ah…aku lagi tidak mood, malas ni.” Rasa “menyetir” gerak seseorang. Jiwa menghalangi gerak tubuhnya.

Hari ini aku juga merasakan hal yang sama…
Tubuhku rasanya begitu kaku duduk di dalam kendaraan. Begitu banyak hal yang berkecamuk di dalam otakku…rasa-rasanya mereka mencengkeram diriku begitu kuat, sehingga aku tidak mampu berbuat banyak. Serasa ada sesuatu yang membebat tubuhku, mengikatnya begitu kuat.

Kumainkan Hp-ku untuk membuang rasa penat. Aku pegang, aku putar-putar di tangan, aku pencet-pencet keypad -nya tanpa tahu mau ngapain. Timbul keinginan untuk membuka-buka message. Sederet nama lantas muncul dalam kotak inbox-ku. Dengan asal-asalan aku buka satu…namun betapa terkejutnya aku ketika kata demi kata, kalimat demi kalimat yang tertera di monitor aku baca. Aku menjadi berkeringat, jantungku rasanya berdegup kencang…nafasku tersengal…dan tanganku turut bergetar.

Dari: M’brot
Tong..maafkan aq..
Aq dah bnyak slah ma km..
Aq tau km ga akn prnh
memaafkan aq..
Tp aq brsyukur blh
mengenalmu..blh mencintai
n menyayangi km..


Kata-kata itu begitu menghunjam hatiku. Begitu perih rasanya ketika aku harus membacanya kembali. Ketegaran diriku kiranya tidak bisa menutupi rasa sakit, pedih yang sebenarnya begitu kuat mencengkeram hatiku. Aku ingin marah menumpahkan kejengkelanku, tetapi kenapa hatiku malah terasa teriris-iris. Aku ingin menghilangkan bayangannya dalam benakku..tetapi kenapa malah wajah itu begitu kuat mencengkeram otakku?

Aku ingin berlama-lama dengan bayangan itu…kembali aku baca SMS itu. Tanpa terasa air mata mulai membasahi pelupuk mataku. Dadaku semakin sesak…Semakin lama semakin banyak kenangan-kenangan yang hadir dalam benakku. Peristiwa demi peristiwa bersliweran seolah-olah tidak mau peduli dengan apa yang aku rasakan. Dalam hati aku hanya bisa bergumam,”Aku kangen….” Sudah sekian lama kata itu aku coba singkirkan. Aku coba hilangkan. Tapi entah kenapa, hari itu kata itu tiba-tiba muncul bibirku.

Awalnya memang begitu indah. Seindah sunset di Kuta Bali, atau juga seindah sunrise di puncak Bromo. Seindah anak manusia yang lagi saling memadu kasih. Akan tetapi, benarlah bahwa tidak selamanya dunia ini terang. Ada malam, ada siang. Benar jugalah ada hitam, ada putih. Ada terang, ada gelap. Ada sukacita, ada kesedihan. Dan benar jugalah kiranya kalau hidup ini berputar ibarat roda pedati yang terus berjalan. Kadang nasib kita bisa di atas, tapi tiba-tiba juga bisa di bawah.

Masih lekat dalam benakku, peristiwa yang mengubah seluruh hidupku –lebih tepatnya hubunganku dengannya – terjadi pada akhir bulan Januari tahun ini. Aku dan dia bertemu di sebuah taman, dan ternyata akhirnya itu menjadi perjumpaan terakhirku dengannya. Keegoisan, harga diri, keras kepala membuat kami berteguh dengan sikap masing-masing. Walau sebenarnya kadang menyiksa. Tapi keangkuhan telah membuat kami enggan untuk mengalah. Membuat hubungan semakin buruk dari hari ke harinya.

“Aku mau bicara sebentar.” Katanya waktu itu.

“iya…ada apa? Kok kayake kamu serius amat ta. Ada apa?”

“Aku harap kamu tidak marah ya dengan apa yang akan aku katakana. Aku minta kita menyikapinya secara dewasa.”

Tiba-tiba saja hatiku merasa tidak enak. Tidak seperti biasanya dia berkata seperti ini. Begitu serius. Suasana sore yang sepi membuat situasi serasa semakin mencekam. Hatiku serasa berdebar.

“iya..,” sahutku lirih.

Mulut ini seperti terkunci begitu kuat. Takut sesuatu yang buruk bakal terjadi. Saat ini situasiku sedang jatuh. Aku lagi terpuruk oleh masalahku yang belum selesai. Aku belum siap kalau harus menanggung masalah lagi. Lebih-lebih dari orang yang aku cintai. Orang yang selama ini menjadi satu-satunya temanku berbagi.

“Kamu pasti tahu kalau selama ini aku sayang kamu. Aku juga tahu betapa kamu menyayangi dan mencintai aku. Begitu banyak hal yang telah kamu berikan ke aku. Perhatianmu yang begitu besar. Kasih sayangmu…...”

Dia berdiam sejenak.

“Iya…aku tahu,” sahutku. “Kamu juga sudah menjadi bagian dari diriku. Di saat orang lain, bahkan kedua orang tuaku belum aku beritahu, kamu sudah lebih dulu tahu segala-galanya. Kamu sudah menjadi tempat berbagiku.”

“Aku tahu…,” dia berhenti sejenak. Nampak bahwa ada sebersit keraguan dalam dirinya untuk meneruskan kata-katanya.

“Tong…maafkan aku. Aku belum bisa mengatakannya sekarang,” lanjutnya lantas mendekapku erat. Air mata mulai membasahi pelupuk matanya. Ia mulai menangis menjadi-jadi. Tubuhnya berguncang-guncang dalam dekapanku. Nafasnya menjadi tersengal-sengal. Jantungnya berdetak kencang.

“udah-udah..,” kataku meredam gejolak emosinya.

“Tidak enak diliat atau didengar orang. Dikira ada apa-apanya entar. Kalau kamu memang belum siap ya tidak apa-apa. Aku bersedia kok menunggunya. Aku cukup sabar untuk menantinya.”

Kembali aku dekap erat dia. Dalam hatikupun sebenarnya aku sudah tidak sabar, pengen tahu apa yang akan dikatakannya. Tapi aku juga tidak bisa memaksa. Dia kelihatan berat sekali untuk mengatakannya. Aku coba menutupi kegalauan diriku. Aku bersikap tegar. Sejenak kami berdiam. Membiarkan angan kami terbang bersama semilir angin di sore itu.

***

(c):malang, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar