Sabtu, 16 Juli 2011

Agama menjadi sebuah tontonan?




“Menjadi orang Katolik itu harus berani menunjukkan identitasnya, walau ia hidup sendirian”, demikian kata Pak Paulus Suwandi Suryo Atmojo, atau lebih dikenal dengan panggilan Pak Paulus, seorang umat Katolik Paroki St Theresia Pelaihari, yang tinggal di Tanjung Dewa, sekitar 1 jam perjalanan dari Pelaihari arah pantai Batakan. Papan nama “Paulus S S” di pintu masuk dan sebuah topeng raksasa dengan tulisan “Singo Yuda” di bawahnya nampak mencolok serta menjadi ciri tersendiri ketika orang datang ke rumahnya.

Perawakannya boleh dikata kurus dan agak jangkung dengan otot tubuh yang kekar. Gigi sudah mulai ompong termakan usia. Namun sorot matanya sangat tajam, nada bicaranya masih lantang dan berapi-rapi di usianya yang sudah 60 th ini. Lebih-lebih kalau sudah ditanya soal agama dan iman.

Di Tanjung Dewa ini beliau satu-satunya keluarga Katolik. Hidup bersama dengan isteri dan 4 orang anak (dari 5 anak). Pengalaman hidupnya sungguh kaya. Baik yang kelam maupun yang telah mendapat pencerahan. Hampir seluruh pulau di Nusantara ini pernah dia tempati. Di tempatnya yang sekarang ia hidup dengan mengandalkan menggarap tanah yang tidak luas juga. “Berilah rejeki kami hari ini. Kalau dikasih Tuhan banyak, kami ya makan enak. Kalau tidak, kami ya prihatin. Yang penting anak-anak bisa lebih enak,” demikian katanya.

Pada tanggal 9 Februari yang lalu, bersama dengan anggota legio saya berkunjung ke sana. Seperti biasa kami disambut dengan ramah. Kebetulan waktu itu bapak lagi kerja di kebun, padahal sudah sekitar jam 17.300 WITA. Tidak selang berapa lama beliau sudah pulang, karena dijemput anaknya yang paling kecil.

Dengan duduk di atas tikar, kami lantas sudah terlibat dalam percakapan yang hangat. Mulai dari soal pertanian, mendidik anak, sampai dengan soal iman. Pembicaraan memang selalu menarik dan hangat. Ini adalah kedatangan saya yang ketiga.

Agama: antara Tuntunan dan Tontonan

“Dunia sekarang ini sudah kebalik Romo,”katanya.
“Kalau dulu agama itu menjadi tuntunan dan sinetron itu menjadi tontonan, sekarang ini dibalik. Agama menjadi tontonan, sedangkan sinetron menjadi tuntunan,” lanjutnya, yang disambut dengan gelak tawa spontan kami.
“Lihat saja. Di tv itu, orang rame-rame merusak atas nama agama. Jadi tontonan banyak orang. Menarik. Disiarkan berkali-kali. Agama tidak lagi menjadi tuntunan umatnya. Bagaimana menjadi tuntunan kalau yang terjadi adalah perusakan, penindasan, bahkan pembunuhan? Sedangkan sinetron, yang sebenarnya adalah tontonan, sekarang malah menjadi tuntunan. Berapa banyak orang saja yang lebih suka melihat sinetron/ tv dari pada ke Gereja, atau doa? Berapa orang saja yang bahkan juga meniru gaya hidup orang-orang yang ada dalam sinetron?”

Betul juga kata saya dalam hati. Betapa gampang anak-anak kecil sekarang bicara, “Menurut kata Bapak TB ….”, meniru salah satu dialog dalam sinetron, daripada mereka mengatakan, “Puji TUhan”. Orang juga tahan berjam-jam di depan televisi dari pada duduk tenang satu jam mengikuti Misa. Atau 20 menit mendoakan rosario. Atau 10-15 menit mendengarkan kotbah pastor. Lantas bagaimana?

Agama merupakan the way of life. Jalan hidup. Kata Yesus: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup…” (cf Yoh 14:6). Agama memberikan tuntunan dalam hidup. Agama, khususnya Gereja (umat Allah), dipanggil untuk memberikan corak manusiawi dan krisitiani kepada dunia (cf Paus Yohanes XXIII, MM no 256).

Panggilan Gereja (Umat Kristiani) untuk memberikan warna manusiawi dan kristiani inilah yang kalau dalam Injil dikatakan sebagai: “Kamu adalah terang dunia”, “Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13-14). Hidup kita sendiri inilah sebenarnya sarana bersaksi yang paling efektif. Kita telah diselamatkan oleh Kristus, kita juga dipanggilnya untuk ambil bagian dalam penyelesaian karyanya bagi keselamatan dunia. Kita tidak boleh menyembunyikan diri di tempat yang aman, jauh dari keramaian dunia. Bukankah pelita harus diletakkan di kaki dian, bukan di bawah gantang? Bukankah terangmu hendaknya bercahaya di depan semua orang sehingga mereka dapat memuliakan Bapamu yang ada di surga?

Kembali belajar dari seorang Pak Paulus. Kesaksian dirinya berangkat dari keberaniannya untuk mengakui di depan masyarakat bahwa dia adalah seorang katolik, bukan kristen “saja”. Pemasangan nama “Paulus” di pintu rumah. Pemasangan patung Yesus dan salib, serta gambar Maria dan Hati Kudus Yesus di dalam ruang tamu, menjadi sebuah tanda. Mungkin terasa sederhana. Atau mungkin dipandang dangkal. “Yah…itukan sangat artificial,” mungkin demikian penilaian sementara orang. Tapi bukankah dengan hal-hal yang sederhana dan “kecil” itu iman kita diungkapkan? Ditandai? Bukankah St Theresia dari Kanak-Kanak Yesus juga menunjukkan kepada kita bahwa jalan kekudusan itu juga melalui hal-hal yang kecil dan sederhana? Betapa sering orang membuat tanda salib saja malu atau malah takut ketika makan di warung. Memasang salib di rumahnya sendiri saja juga takut, takut tidak ada yang bertamu.

Keberanian untuk memberi kesaksian, sekecil apapun, kiranya lahir dari pribadi yang sungguh-sungguh menjadikan Agama sebagai sebuah tuntunan, bukan tontonan. Ketika kita membangun hidup dengan doa, tobat, sabda, Ekaristi, kita menjadikan Agama kita sebagai tuntunan. Tapi ketika kita bengong saja di Gereja, membiarkan Kitab Suci di rak buku, menghabiskan waktu dengan kesibukan, maka kita menjadikan Agama sebagai sebuah tontonan saja.

Selamat berjuang Pak Paulus. Terimakasih atas pelajaran kehidupannya. Dan juga kepada “Pak Paulus-Paulus” yang lain. Yang hidup jauh dari komunitas, dari Paroki, sendiri di tengah umat agama lain. Terimakasih atas kesetiaan iman Anda-Anda semua. Anda-Anda inilah pelita-pelita Kristus yang telah Tuhan sendiri sebarkan ke ujung-ujung bumi. Senantiasalah tetaplah bernyala. Biarlah kemuliaan Allah semakin dinampakkan di muka bumi ini.

“Bekerjalah bagi Yesus dan Yesus akan bekerja bersamamu. Berdoalah dengan Yesus, dan Yesus akan berdoa melaluimu.” (Beata Teresa dari Kalkuta)



Dipersembahkan bagi Saudara/I kita yang hidup jauh dari komunitas dan tetap setia kepada Kristus.
(Ro_ny)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar